Senin, 08 Oktober 2012

Perdagangan dalam Siklus Krisis Global


Perdagangan dalam Siklus Krisis Global
A Prasetyantoko ;  Ekonom dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 8 Oktober 2012


Paling kurang, ada dua perkembangan positif pada perekonomian kita akhir- akhir ini. Pertama, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia mencetak rekor baru menembus level tertinggi dalam sejarah, mencapai 4.311. Kedua, setelah mengalami defisit selama 3 bulan berturut-turut, neraca perdagangan Agustus mencatat surplus sebesar 248,5 juta dollar AS.

Namun, benarkah perekonomian kita kokoh menghadang siklus krisis global jangka panjang? Para penganut teori siklus bisnis (business cycle theory) mengingatkan, dinamika naik-turunnya kinerja perekonomian harus dilihat dalam perspektif waktu yang panjang.

Para investor di pasar modal juga mengenal dua pendekatan, analisis teknikal (jangka pendek) dan fundamental (jangka panjang). Terkadang indikasi teknikal jangka pendek justru membuat bias proyeksi jangka panjang.

Ekspor Agustus dibandingkan dengan bulan sebelumnya masih tetap mengalami penurunan cukup besar, yakni 12,27 persen. Jika dibandingkan dengan Agustus 2011 (year on year/tahunan), turunnya lebih besar lagi, yaitu 24,30 persen. Sementara itu, impor Agustus terhadap Juli memang mengalami pelambatan sebesar 15,21 persen. Namun, bila dibandingkan dengan Agustus tahun lalu (tahunan) tetap naik sebesar 10,28 persen.

Artinya, meskipun dalam jangka pendek ekspor bisa mengungguli impor, dalam jangka panjang tetap menyimpan berbagai persoalan. Penurunan ekspor terjadi karena faktor-faktor struktural, seperti penurunan permintaan global dan rendahnya daya saing. Sementara penurunan impor bisa jadi lebih karena faktor musiman (cyclical), seperti konsumsi yang menurun pasca-Lebaran atau karena kebijakan Bank Indonesia yang melakukan relaksasi nilai tukar, sehingga kurs terdepresiasi agak tajam.

Sebenarnya lonjakan impor juga tidak selalu berarti negatif mengingat sebagian besar komponen impor adalah bahan baku (72,30 persen) dan bahan penolong (20,89 persen). Hanya sebagian kecil (6,81 persen) yang berupa barang konsumsi. Hal positifnya, paling tidak lonjakan impor akan meningkatkan rantai pasokan (supply chain) produksi ekonomi domestik. Namun, seberapa besar sebenarnya nilai tambah yang ditimbulkan?

Berdasarkan data BPS, kelompok barang yang melonjak paling tinggi adalah kelompok barang kapal terbang dan bagiannya (naik 61,44 persen), disusul barang dari besi dan baja (naik 41,47 persen) serta kendaraan bermotor dan bagiannya (naik 35,54 persen).
Data ini konsisten dengan data pertumbuhan sektoral, di mana sektor transportasi dan pengangkutan tumbuh sangat tinggi. Dari proporsinya terhadap total impor, jenis barang mesin dan peralatan mekanik menempati urutan tertinggi (sebesar 18,97 persen). Sektor telekomunikasi juga berkembang sangat pesat.

Bila lonjakan impor bahan baku dan penolong diikuti dengan peningkatan kapasitas ekspor nonmigas, tentu sangat positif. Namun, jika sebagian besar produksi berorientasi pada pasar domestik, persoalan akan muncul. Julius Baer Wealth Report 2012 mencatat, penambahan jumlah kelas atas (highly net worth individuals) Indonesia merupakan yang tercepat di Asia, mengungguli China.

Sementara jumlah penambahan kelas menengah (individu dengan pengeluaran 2 dollar AS-20 dollar AS per hari) juga tumbuh pesat. Suka atau tidak, kita adalah pasar yang begitu menggiurkan sehingga menarik minat investor asing. Kita berfungsi sebagai katup pengaman krisis di negara maju.

Perkembangan pada sisi global menunjukkan krisis tidak akan selesai dalam waktu dekat. Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Olivier Jean Blanchard menyatakan, krisis di Eropa dan negara maju paling kurang membutuhkan waktu 10 tahun untuk pulih. Artinya, baru tahun 2018 permintaan global akan kembali meningkat.

Sebaliknya, selama itu negara maju berupaya mempercepat pemulihan ekonomi dengan cara memacu ekspor dan meningkatkan investasi ke negara berkembang.

Sebenarnya, negara-negara Uni Eropa hanya menyerap sekitar 11 persen dari total ekspor kita. Sebagian besar ekspor kita mengalir ke China (13 persen) dan Jepang (12 persen). Kemudian disusul Amerika Serikat (9 persen) dan India (8 persen). Sementara proporsi ekspor ke negara-negara ASEAN juga tinggi (sekitar 21 persen).

Jika ekspor ke Uni Eropa dan AS digabungkan, hanya 20 persen dari total ekspor kita. Namun, jika penurunan itu terjadi secara simultan di hampir semua negara, koreksinya secara global juga akan tajam.

Memang defisit neraca perdagangan sangat mungkin bisa dikompensasi dengan surplus neraca modal. Jika negara-negara maju masih mengandalkan strategi pelonggaran likuiditas dalam menyelesaikan krisis, pasokan modal di pasar keuangan global masih akan tinggi sehingga arus modal masuk ke pasar domestik juga akan meningkat. Namun, mengandalkan surplus neraca modal secara berlebihan justru mendorong perekonomian kita terekspose secara lebih besar pada risiko krisis.

Pokok persoalannya adalah bagaimana melakukan penguatan ekspor dan tidak menggantungkan diri pada arus modal asing, baik langsung maupun tidak langsung. Sementara desakan arus barang, modal, dan jasa dari negara maju akan terus meningkat, kapasitas ekonomi domestik juga harus didorong. Jika tidak, perekonomian kita akan menjadi gelembung (bubble) yang sangat berbahaya.

Kita masih ingat, negara-negara maju adalah solusi krisis Asia dan Amerika Latin tahun 1990-an. Krisis yang sekarang mereka alami, paling tidak, karena dua hal: menjadi negara net importir dan mengandalkan sektor keuangan sebagai basis kompetisi. Sekarang, posisinya terbalik. Negara berkembang harus rela mengurangi ekspor dan menerima lebih banyak barang impor, sambil menerima aliran modal, baik berbentuk likuiditas maupun investasi langsung.

Perekonomian kita memiliki dua PR besar: meningkatkan daya saing produk ekspor dan memperluas basis investasi keuangan melalui pendalaman finansial (financial deepening). Jika dua hal ini gagal dilakukan, risiko krisis bisa datang sangat cepat dan tiba-tiba saja kita berada dalam situasi semuanya sudah terlalu terlambat dan krisis tak bisa dihindari lagi.

Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali lebih ekspansif membangun kapasitas 
produksi domestik melalui berbagai program struktural jangka panjang. Untuk itu, strategi fiskal harus lebih produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar