Negeri Tawuran
Azyumardi Azra ; Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah;
Anggota
Advisory Board, International Institute for Democracy and Electoral
Assistance (IDEA), Stockholm
|
KOMPAS,
8 Oktober 2012
Tawuran antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6
yang mengorbankan jiwa peserta didik, belum lama ini, hampir dipastikan
hanyalah gejala dari penyakit akut yang terus dan bahkan kian diderita negeri
ini. Lihatlah, sebelumnya seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia
Makassar juga tewas karena tawuran antarfakultas.
Pada saat yang sama, tawuran antarkampung dan
antardesa juga terus terjadi di berbagai tempat dari waktu-waktu. Kejadian
mengenaskan yang hampir selalu mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi tidak
hanya di desa-desa yang jauh dari jangkauan aparat keamanan, juga di
perkotaan—seperti Jakarta—yang lengkap dengan personel Polri yang semestinya
dapat bergerak cepat.
Sementara itu, berbagai ”tawuran” dalam
bentuk lain juga pada lapisan atas, misalnya adanya semacam ”tawuran politik”
antara kalangan Polri dan lingkungan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak
lain. Meski ”tawuran” ini tidak melibatkan kekuatan fisik, pergumulan kekuatan
jelas terlihat dalam ranah publik, yang menimbulkan kekacauan.
Kepengapan Pendidikan
Tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa,
selain merupakan cerminan kesumpekan masyarakat, sekaligus mengindikasikan
kepengapan dunia pendidikan kita. Memang berlebihan jika tawuran antarpelajar
dan antarmahasiswa dikatakan sebagai cerminan kegagalan pendidikan. Tetapi
jelas, gejala tak sehat ini indikasi dari berbagai masalah serius yang dihadapi
lingkungan sekolah dan kampus perguruan tinggi (PT) yang membuat dunia
pendidikan kita secara keseluruhan menjadi sangat pengap.
Salah satu sumber kepengapan itu adalah
lingkungan sekolah dan kampus yang tidak kondusif. Banyak sekolah dan kampus PT
tidak memiliki fasilitas memadai, khususnya untuk olahraga, kesenian, dan
berbagai medium penyaluran bakat lain. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini
sangat esensial tidak hanya untuk menyalurkan bakat dan minat, tetapi juga guna
melepas energi berlebih dan gejolak emosional yang bisa terus meningkat dalam
diri remaja dan anak muda.
Penyebab kepengapan lainnya adalah beban
kurikulum sangat berat mulai dari tingkat SD, SMA, hingga PT. Setiap semester,
para siswa dan mahasiswa harus mengambil 8-11 mata pelajaran/mata kuliah.
Dengan beban berat seperti ini, sekolah dan PT tidak lagi menjadi lokus
pembelajaran dan pembudayaan, tetapi tempat ”penyiksaan” peserta didik. Tidak
heran kalau mereka menjadi sumpek dan bete, yang kemudian mereka lampiaskan ke
dalam berbagai bentuk penyimpangan, termasuk tawuran.
Karena itu, penyediaan fasilitas sekolah dan
kampus yang lebih memadai dan kondusif untuk pemberadaban peserta didik
merupakan kebutuhan sangat mendesak. Dana amat besar, minimal 20 persen dari
anggaran belanja negara (pusat dan daerah), untuk pendidikan sudah saatnya
dikelola secara lebih bertanggung jawab sehingga tidak ada lagi sekolah dan
kampus yang reyot, yang dalam istilah Profesor Winarno Surakhmad seperti
”kandang kambing”.
Pada saat yang sama, beban kurikulum yang
menyiksa mestilah dikurangi. Mata pelajaran/mata kuliah yang menurut Profesor
Malik Fadjar hanya ”recehan” harus dikembalikan kepada rumpun ilmunya. Dengan
cara itu, setiap semester, peserta didik dapat mengambil 4-5 mata
pelajaran/mata kuliah dengan bobot SKS lebih besar. Melalui cara ini, peserta
didik dapat memiliki ruang lebih besar bagi imajinasi dan kreativitas.
Tawuran Sosial-Politik
Citra Indonesia sebagai ”negeri tawuran”
agaknya menjadi sempurna ketika dari waktu ke waktu publik disuguhi berbagai
tawuran sosial-politik. Ada tawuran sosial di antara kelompok keagamaan berbeda
karena lenyapnya toleransi yang digantikan fanatisme mazhab dan aliran, yang
masing-masing merasa paling benar sendiri. Tawuran semacam ini kian menjadi-jadi
karena kegagalan aparat negara menegakkan hukum dan sikap partisannya kepada
pihak tertentu yang bertikai.
Lalu, lihat pula tawuran politik yang sering terjadi
seputar waktu pilkada. Pilkada DKI Jakarta yang aman dan damai belum lama ini
merupakan pengecualian daripada gejala umum. Banyak pilkada lain di Tanah Air
berujung pada tawuran, yang selain menimbulkan kerusakan fasilitas umum juga
korban nyawa. Tawuran politik ini tidak lain adalah ekses dari fragmentasi dan
kontestasi di antara para elite politik yang belum juga menunjukkan tanda
penyelesaian.
Kini yang tidak kurang serunya adalah
”tawuran” politik antara kalangan Polri dan DPR pada satu pihak dengan KPK pada
pihak lain. ”Tawuran” yang memang tidak melibatkan kekuatan fisik ini jelas
merupakan buah dari perseteruan yang berlangsung lama di antara pihak-pihak
yang ”bertikai”. Pihak pertama merasa sangat terganggu dengan kiprah pihak
kedua dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan ”oknum” petinggi Polri dan
kalangan anggota DPR. Kini tawuran ini mengambil ”perang daya tahan” (war of
attrition) yang meningkatkan ketidakpercayaan dan skeptisisme publik kepada
kedua pihak pertama.
Revitalisasi Mediasi
Jika upaya penyelesaian tawuran antarpelajar
dan antarmahasiswa melibatkan terutama para praktisi pendidikan terkait dan
orangtua, sebaliknya tawuran sosial-politik memerlukan mediasi lebih kompleks.
Penyelesaian tidak bisa hanya diusahakan para pihak yang terlibat langsung
dalam tawuran, tetapi juga harus melibatkan elite politik lokal dan pusat, civil society, dan kepemimpinan puncak
negeri ini.
Sejauh ini, keterlibatan civil society dapat
mengurangi peningkatan intensitas dan proliferasi tawuran sosial-politik.
Indonesia diberkahi kekayaan civil society keagamaan dan NGO (LSM) advokasi,
yang selalu siap merapatkan barisan untuk mencegah negeri ini terjerumus ke
tubir kekacauan sosial-politik dan disintegrasi. Tetapi, sebagai kekuatan
moral, mereka memiliki keterbatasan tertentu sehingga tidak selalu dapat
efektif dalam penyelesaian tawuran sosial-politik.
Karena itu, mediasi harus dilakukan
kepemimpinan puncak negara ini, Presiden SBY, yang memiliki berbagai wewenang
untuk memaksakan berakhirnya tawuran sosial-politik. Oleh sebab itu, Presiden
SBY semestinya tidak membiarkan berbagai bentuk tawuran terus berlanjut.
Sebaliknya, memerintahkan aparat yang berada di bawah wewenangnya—seperti
Inspektur Jenderal Djoko Susilo, petinggi Polri—untuk mematuhi ketentuan hukum.
Berlanjutnya kebisuan, apologi, dan ketidaktegasan Presiden hanya akan membuat
negeri ini terus terombang-ambing dalam berbagai bentuk tawuran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar