Senin, 08 Oktober 2012

Negeri Tawuran


Negeri Tawuran
Azyumardi Azra ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah;
Anggota Advisory Board, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm
KOMPAS, 8 Oktober 2012


Tawuran antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 yang mengorbankan jiwa peserta didik, belum lama ini, hampir dipastikan hanyalah gejala dari penyakit akut yang terus dan bahkan kian diderita negeri ini. Lihatlah, sebelumnya seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar juga tewas karena tawuran antarfakultas.

Pada saat yang sama, tawuran antarkampung dan antardesa juga terus terjadi di berbagai tempat dari waktu-waktu. Kejadian mengenaskan yang hampir selalu mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi tidak hanya di desa-desa yang jauh dari jangkauan aparat keamanan, juga di perkotaan—seperti Jakarta—yang lengkap dengan personel Polri yang semestinya dapat bergerak cepat.

Sementara itu, berbagai ”tawuran” dalam bentuk lain juga pada lapisan atas, misalnya adanya semacam ”tawuran politik” antara kalangan Polri dan lingkungan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. Meski ”tawuran” ini tidak melibatkan kekuatan fisik, pergumulan kekuatan jelas terlihat dalam ranah publik, yang menimbulkan kekacauan.

Kepengapan Pendidikan

Tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa, selain merupakan cerminan kesumpekan masyarakat, sekaligus mengindikasikan kepengapan dunia pendidikan kita. Memang berlebihan jika tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa dikatakan sebagai cerminan kegagalan pendidikan. Tetapi jelas, gejala tak sehat ini indikasi dari berbagai masalah serius yang dihadapi lingkungan sekolah dan kampus perguruan tinggi (PT) yang membuat dunia pendidikan kita secara keseluruhan menjadi sangat pengap.

Salah satu sumber kepengapan itu adalah lingkungan sekolah dan kampus yang tidak kondusif. Banyak sekolah dan kampus PT tidak memiliki fasilitas memadai, khususnya untuk olahraga, kesenian, dan berbagai medium penyaluran bakat lain. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini sangat esensial tidak hanya untuk menyalurkan bakat dan minat, tetapi juga guna melepas energi berlebih dan gejolak emosional yang bisa terus meningkat dalam diri remaja dan anak muda.

Penyebab kepengapan lainnya adalah beban kurikulum sangat berat mulai dari tingkat SD, SMA, hingga PT. Setiap semester, para siswa dan mahasiswa harus mengambil 8-11 mata pelajaran/mata kuliah. Dengan beban berat seperti ini, sekolah dan PT tidak lagi menjadi lokus pembelajaran dan pembudayaan, tetapi tempat ”penyiksaan” peserta didik. Tidak heran kalau mereka menjadi sumpek dan bete, yang kemudian mereka lampiaskan ke dalam berbagai bentuk penyimpangan, termasuk tawuran.

Karena itu, penyediaan fasilitas sekolah dan kampus yang lebih memadai dan kondusif untuk pemberadaban peserta didik merupakan kebutuhan sangat mendesak. Dana amat besar, minimal 20 persen dari anggaran belanja negara (pusat dan daerah), untuk pendidikan sudah saatnya dikelola secara lebih bertanggung jawab sehingga tidak ada lagi sekolah dan kampus yang reyot, yang dalam istilah Profesor Winarno Surakhmad seperti ”kandang kambing”.

Pada saat yang sama, beban kurikulum yang menyiksa mestilah dikurangi. Mata pelajaran/mata kuliah yang menurut Profesor Malik Fadjar hanya ”recehan” harus dikembalikan kepada rumpun ilmunya. Dengan cara itu, setiap semester, peserta didik dapat mengambil 4-5 mata pelajaran/mata kuliah dengan bobot SKS lebih besar. Melalui cara ini, peserta didik dapat memiliki ruang lebih besar bagi imajinasi dan kreativitas.

Tawuran Sosial-Politik

Citra Indonesia sebagai ”negeri tawuran” agaknya menjadi sempurna ketika dari waktu ke waktu publik disuguhi berbagai tawuran sosial-politik. Ada tawuran sosial di antara kelompok keagamaan berbeda karena lenyapnya toleransi yang digantikan fanatisme mazhab dan aliran, yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Tawuran semacam ini kian menjadi-jadi karena kegagalan aparat negara menegakkan hukum dan sikap partisannya kepada pihak tertentu yang bertikai.

Lalu, lihat pula tawuran politik yang sering terjadi seputar waktu pilkada. Pilkada DKI Jakarta yang aman dan damai belum lama ini merupakan pengecualian daripada gejala umum. Banyak pilkada lain di Tanah Air berujung pada tawuran, yang selain menimbulkan kerusakan fasilitas umum juga korban nyawa. Tawuran politik ini tidak lain adalah ekses dari fragmentasi dan kontestasi di antara para elite politik yang belum juga menunjukkan tanda penyelesaian.

Kini yang tidak kurang serunya adalah ”tawuran” politik antara kalangan Polri dan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. ”Tawuran” yang memang tidak melibatkan kekuatan fisik ini jelas merupakan buah dari perseteruan yang berlangsung lama di antara pihak-pihak yang ”bertikai”. Pihak pertama merasa sangat terganggu dengan kiprah pihak kedua dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan ”oknum” petinggi Polri dan kalangan anggota DPR. Kini tawuran ini mengambil ”perang daya tahan” (war of attrition) yang meningkatkan ketidakpercayaan dan skeptisisme publik kepada kedua pihak pertama.

Revitalisasi Mediasi

Jika upaya penyelesaian tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa melibatkan terutama para praktisi pendidikan terkait dan orangtua, sebaliknya tawuran sosial-politik memerlukan mediasi lebih kompleks. Penyelesaian tidak bisa hanya diusahakan para pihak yang terlibat langsung dalam tawuran, tetapi juga harus melibatkan elite politik lokal dan pusat, civil society, dan kepemimpinan puncak negeri ini.

Sejauh ini, keterlibatan civil society dapat mengurangi peningkatan intensitas dan proliferasi tawuran sosial-politik. Indonesia diberkahi kekayaan civil society keagamaan dan NGO (LSM) advokasi, yang selalu siap merapatkan barisan untuk mencegah negeri ini terjerumus ke tubir kekacauan sosial-politik dan disintegrasi. Tetapi, sebagai kekuatan moral, mereka memiliki keterbatasan tertentu sehingga tidak selalu dapat efektif dalam penyelesaian tawuran sosial-politik.

Karena itu, mediasi harus dilakukan kepemimpinan puncak negara ini, Presiden SBY, yang memiliki berbagai wewenang untuk memaksakan berakhirnya tawuran sosial-politik. Oleh sebab itu, Presiden SBY semestinya tidak membiarkan berbagai bentuk tawuran terus berlanjut. Sebaliknya, memerintahkan aparat yang berada di bawah wewenangnya—seperti Inspektur Jenderal Djoko Susilo, petinggi Polri—untuk mematuhi ketentuan hukum. Berlanjutnya kebisuan, apologi, dan ketidaktegasan Presiden hanya akan membuat negeri ini terus terombang-ambing dalam berbagai bentuk tawuran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar