Rabu, 24 Oktober 2012

Mesjid Cheng Ho


Mesjid Cheng Ho
A Dahana; Guru Besar Sinologi UI, Pemerhati Masyarakat dan Kebudayaan Tionghoa
SINAR HARAPAN, 23 Oktober 2012



Cheng Ho adalah utusan Dinasti Ming (1368-1644) yang diperintah Kaisar Zhu Di untuk mengadakan perjalanan ke selatan.

Ia menempuh gelombang dan memimpin armada China sebanyak tujuh kali selama kurun waktu 1405-1433. Dari ketujuh pelayaran itu paling tidak ia sebanyak tiga kali singgah di bandar-bandar yang terletak di pantai timur Sumatera dan sepanjang pesisir utara Jawa.

Bahwasanya Cheng Ho (atau Zheng He dalam istilah bahasa Mandarin), pernah mengunjungi tempat-tempat di Indonesia tak diragukan lagi karena berbagai petilasan tempat dia singgah masih terpelihara, ditambah dengan adanya berbagai sumber tertulis dalam naskah-naskah kuno China.

Apa latar belakang dari tujuh pelayaran Cheng Ho itu? Kita harus melihatnya dari segi sejarah tradisional hubungan antara kekaisaran China dengan negara-negara yang ada di sekitar wilayahnya, khususnya dengan Asia Tenggara.

Jauh sebelum kedatangan kolonialisme Barat, hubungan itu tak lebih dari relasi upeti (tributarial relationship), artinya negara-negara kecil yang ada di sekitar China wajib mengakui China sebagai adidaya di belahan bumi selatan, baik dalam bidang budaya, militer, maupun ekonomi.

Harus dicatat, hubungan itu berbeda jauh dengan kolonialisme Barat yang karakteristiknya adalah pendudukan militer atau penjajahan.

Dalam relasi upeti, negara-negara kecil itu cukup mengakui kedigjayaan China dan setiap periode tertentu raja-raja atau utusannya wajib datang ke ibu kota kekaisaran China untuk membawa upeti dan melakukan penyembahan kepada kaisar China sebagai seorang “Putra Langit” (tianzi) sebagai satu-satunya penguasa atas segala sesuatu yang ada di bawah Langit (tianxia).

Sayangnya pada tahun-tahun terakhir menjelang keruntuhan pendahulu Dinasti Ming, yakni Dinasti Mongol (1279-1364), hubungan itu terputus dan negara-negara kecil itu cenderung tak lagi melakukan ritus penghormatan kepada kaisar China.

Pelayaran Zheng He yang armada perang itu adalah upaya untuk menunjukkan bahwa di Daratan China telah ada penguasa baru yang akan mengembalikan posisi sebagai adidaya yang harus disembah. Jadi, pelayaran Cheng Ho ke Selatan sebagai langkah pamer kekuatan.

Oleh karena itu, sebagian sejarawan Barat menganggap Laksamana Cheng Ho tak lebih dari seorang agen kolonial yang misinya untuk memulihkan kejayaan dan supremasi kekaisaran China atas negara-negara kecil sekelilingnya.

Tapi, harus dicatat, sistem relasi upeti yang dipraktikkan negara di Tengah Dunia (Zhongguo atau Tiongkok) sangat berbeda dengan kolonialisme Barat yang menjajah dan menempatkan tentara di negara-negara yang jadi jajahannya.

Yang menarik dari tokoh Cheng Ho adalah ia lahir dalam keluarga muslim di Provinsi Xinjiang, provinsi yang sebagian besar penduduknya pemeluk agama Islam. Ia ditawan tentara Ming ketika dinasti itu menaklukkan tanah kelahirannya dan dimasukkan kembali ke dalam lingkungan China.

Ia kemudian menjadi orang kasim dan mengabdi kepada Kaisar Zhu Di di istana. Karena kepandaiannya karier Cheng Ho meningkat dengan cepat dan ketika kaisar berniat mengirimkan armada ke luar negeri, Cheng Ho-lah yang menjadi pilihan untuk menjadi komandan armada itu.

Keislaman Cheng Ho

Yang juga mendapat perhatian dari para sejarawan adalah keislaman Cheng Ho. Sebagian sejarawan mengatakan karena ia ditawan dan dibawa ke istana, ia telah menjadi seorang Buddhis.

Namun, ada sebagian sejarawan yakin ia tetap mempertahankan agama keluarganya itu dan ketika memimpin misinya ia telah mengunjungi negara-negara Islam yang pada awal abad ke-15 memang telah hadir di Indonesia.

Malahan ada yang yakin bahwa Cheng Ho telah turut menyebarkan agama Islam di Nusantara. Dengan demikian, pengislaman Nusantara tidak terjadi karena arus Arab dan Arus India (Gujarat) sebagai akibat dari hubungan dagang, tapi telah hadir pula “Arus China.”

Sayang, catatan lengkap tentang hal-hal yang dilakukan Cheng Ho selama tiga kali mengunjungi Nusantara tidak lagi ditemukan dalam kronik-kronik kuno sejarah-sejarah dinasti (Ershiwushi) karena telah dihancurkan. Posisi Cheng Ho sebagai orang sida-sida (kasim) dipandang rendah oleh para pejabat istana sehingga namanya tak layak disebut dalam sejarah resmi Dinasti Ming.

Akan tetapi, sejak dasawarsa 1980-an peran Cheng Ho sebagai duta muhibah yang turut berjasa mengislamkan Nusantara makin lama makin populer. Ada dua tokoh masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia yang berperan besar dalam memopulerkan nama Cheng Ho.

Keduanya adalah H Hembing Wijayakusumah dan almarhum H Max Mulyadi. Dr Tan Ta Sen dari Singapura juga turut berjasa.

Dengan disertasinya yang diuji di depan senat akademik Fakultas Ilmu Budaya UI dan dengan menggali berbagai naskah kuno China serta berbagai penemuan arkeologis bernuansa Islam di berbagai tempat yang pernah disinggahi Cheng Ho, ia membuktikan tentang peran Cheng Ho dalam Islamisasi Nusantara.

Seiring dengan hal-hal yang disampaikan di atas, nama Cheng Ho kian populer di sementara umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan umat Tionghoa Islam.
Salah satu puncak dari penghormatan atas jasa Cheng Ho adalah pembangunan Masjid Haji Muhammad Cheng Ho di Surabaya pada 1992. Bangunan Masjid Cheng Ho sangat unik. Arsitekturnya hampir mirip kelenteng, dengan warna merah menyala. Namun, di atas atapnya yang bersusun tiga terpampang emblem “Allah”.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam Studi China, penulis sempat diundang untuk menghadiri hari ulang tahun ke-10 berdirinya masjid itu pada 14 Oktober lalu.
Pada malam perayaan masjid tersebut hadir ribuan pengunjung sehingga jumlah kursi yang disediakan di bawah tenda tak mencukupi. Akibatnya banyak yang terpaksa berdiri. Acara sangat meriah: hiburan musik, pidato-pidato, tarian, nyanyian, dan ceramah agama.

Hadir dalam kesempatan itu berbagai pejabat daerah baik sipil, polisi, maupun militer. Tak kurang dari wakil gubernur Jawa Tengah tampil memberi sambutan. Acara lebih meriah lagi dengan sambutan dua penggagas berdirinya masjid tersebut yakni H Bambang Sujanto dan H Jos Sutomo.

Acara lebih meriah lagi karena banyolan mirip ludruk yang dibawakan pembawa acara. H Jos Sutomo berpidato dengan sangat besemangat dengan menggabungkan tema keislaman dan cinta tanah air. Demikian juga sambutan Bambang Sujanto.

Yang menarik, kebanyakan tokoh agama yang hadir dan memberikan sambutan semuanya dari Nahdlatul Ulama. Tak dapat disangkal bahwa itu bertalian dengan fakta bahwa Jawa Timur adalah basis NU. Orang Tionghoa Muslim umumnya masih menganut kebebasan menyembah leluhur dan itu tidak dilarang dalam kepercayaan penganut Islam dan berhimpun di NU. Itu menunjukkan multikulturalisme dalam beragama.

Pengaruh Masjid Cheng Ho kelihatannya akan makin besar, berhubung pada acara tersebut ada acara penyerahan plakat kepada para pengurus dari delapan masjid yang akan dibangun di delapan kota. Dirgahayu Masjid Cheng Ho!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar