Mengatasi
Sumber Korupsi
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Oktober 2012
IKLAN televisi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) tentang antikorupsi berbentuk sederhana dan mudah dicerna, tetapi
memikat dan pesannya padat. Iklan itu memberi gambaran singkat tentang
sebagian ciri calon koruptor sejak muda hingga dewasa, sampai dia masuk
penjara. Penonton menghayati tontonan itu sambil merenung dan tersenyum.
Kita diharapkan menengarai unsur-unsur
ketidakjujuran seseorang sejak dia muda. Pesan yang ingin disampaikan dalam
iklan: jangan abaikan sikap dan perilaku anak-anak sejak kecil, jangan
ceroboh mengawal dan mendidik mereka menjadi dewasa, perhatikan sistem kerja
yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang, dan seterusnya. Bila ditelusuri,
masih banyak lagi penjelasan mengapa korupsi bisa mewabah di Indonesia.
Selain alasan pribadi, lingkungan sosial, politik dan ekonomi pun
memengaruhi.
Argumen yang timbul, bila ada cara mendapatkan
dana dengan jalan pintas, mengapa tidak? Asal caranya halal, tentu. Akan
tetapi, bagi yang tidak jujur, jalan tidak halal pun tetap menggiurkan. Itu
sebabnya korupsi--yang meliputi suapan, pemerasan, dan nepotisme--bukan
monopoli masa kini saja. Segenap masyarakat mengenalnya, kecuali yang
primitif. Hanya, tarafnya berbeda-beda. Di kita, korupsi sudah sampai stadium
empat. Dilemanya, mengharapkan korupsi bisa terhapus sama sekali berarti
mengharapkan terciptanya tertib sosial yang sempurna. Padahal, dalam suasana
perubahan pesat oleh pembangunan atau perkembangan, tertib sosial biasanya
jauh ketinggalan.
Sosiologi Korupsi
Ada saja dalih yang melihat korupsi dari sisi
lain dalam pertarungan bisnis dan ekonomi masa kini. “Korupsi tidak selalu
mengganggu perkembangan politik dan ekonomi,“ kata ahli ilmu politik dari
Amerika, Myron Weiner (1931-1999), yang menulis The Politics of Scarcity.
Menurut penulis, dengan memberi suapan,
pebisnis dapat secara lancar menjalankan kegiatannya. Uang bisa membuka sikap
ramah dan fleksibilitas pejabat yang berwenang. “Jika mereka mematuhi
peraturan yang ada, roda bisnis dan ekonomi bisa terhenti,“ tambahnya.
Nada seperti itu dipakai sebagian pejabat di
masa Orde Baru ketika menolak pendapat begawan ekonomi Soemitro
Djojohadikoesoemo (1917-2001) bahwa terjadi kebocoran uang negara sebesar 30%
karena dikorupsi. Pangkopkamtib Sudomo (1926-2012), dalam wawancara sekitar tiga
dasawarsa yang lalu, juga gusar ketika mendengar budaya korupsi mulai subur
di masyarakat Indonesia.
Tidak sedikit sarjana kemasyarakatan yang
bernada seperti Weiner. Namun menurut Syed Hussein Alatas (1028-2007),
akademisi dan ahli sosiologi Malaysia yang menulis The Sociology of Corruption (1968), sarjana-sarjana itu hanya
mengamati korupsi pada tahap awal sewaktu korupsi masih terjadi di lingkungan
terbatas. Namun, yang terbatas itu akhirnya meluas, menimbulkan akibat-akibat
merongrong. Pebisnis kemudian membebankan uang lelah kepada konsumen yang
menyebabkan harga-harga naik. Suapan memang memungkinkan efisiensi di bidang
basah, tetapi sebaliknya mengendurkan efisiensi di bidang-bidang yang
dianggap kering, yang lingkupnya jauh lebih luas. Mengusahakan sesuatu lewat
jalan belakang akhirnya menjadi kebiasaan semua orang. Korupsi ujung-ujungnya
merongrong wibawa lembaga-lembaga pemerintahan--eksekutif, legislatif,
yudikatif--karena menipisnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat.
Strategi Menghapus Korupsi
Daftar tokoh sejarah antikorupsi amat panjang.
Ada nama-nama besar seperti Wang An Shih (1021-1086) dan Abdul Rahman Ibnu
Khaldun (13321406). Dua tokoh sejarah itu pernah mencoba menganalisis
sebab-musabab korupsi. Wang, seorang reformis China, mendapati ada dua unsur
yang selalu muncul dalam penelaahan sumber korupsi, yakni hukum yang lemah
dan manusia yang tidak benar.
Menurut Wang, kita tidak mungkin menciptakan
aparat bersih hanya dengan bersandar pada hukum sebagai kekuatan pengawas,
sedangkan orangorangnya bukan orang-orang yang tepat. Kata Wang, manusia bisa
dikelompokkan dalam dua golongan: yang bermoral rendah dan yang bermoral
tinggi. Yang berbahaya apabila yang bermoral rendah diberi kekuasaan.
Perubahan taraf keberadaan mudah mengguncangkan iman orang-orang tersebut.
Dalam analisis terakhir, Wang yang pernah
menjabat menteri itu berkeyakinan dua syarat untuk menumpas korupsi ialah:
pejabat-pejabat yang bermoral tinggi serta hukum yang rasional dan efisien,
sebab pejabat hanya bisa efisien bila tidak terlalu banyak aturan dan
larangan yang sifatnya menghambat. Sejarawan dan filsuf Mesir, Abdul Rahman
Ibnu Khaldun, berpendapat lain. Tokoh yang pernah menjadi hakim itu digeser
dari kedudukannya karena gagal menumpas korupsi. Wawasannya patut disimak.
Dia beranggapan sumber utama korupsi ialah hasrat para pejabat untuk
bermewah-mewah. Kebiasaan bermewah-mewah itu menjalar ke kelompok-kelompok
lain. Dia menyimpulkan korupsi tidak selalu disebabkan perubahan kultur atau
konflik nilai-nilai, tidak pula karena sistem pencegah dan pengawasannya
tidak memadai.
Menurut pendapatnya, perilaku individu-individu yang
`kurang'-lah yang menyebabkannya--baik ditinjau dari sisi moral maupun
sosial. Disebut `kurang' karena mereka tidak mampu atau tidak mau mematuhi
pola-pola normatif masyarakat. Ketidakmampuan itu tidak selalu bersifat
naluriah atau psikologis, tetapi karena desakan sekitar.
Dari paparan tadi, rasanya gerakan antikorupsi
apa pun yang kita rencanakan memerlukan strategi dan taktik-taktik yang
pesannya gampang meresap ke masyarakat. Itu bukan lewat slogan-slogan yang
gersang, melainkan mungkin, antara lain, lewat iklan-iklan pintar dan
nyanyian/hiburan yang disebarluaskan komunitaskomunitas generasi muda
antikorupsi. Dengan cara itu, korupsi mungkin pelan-pelan terhapus dari
negeri ini. ●
|
Korupsi bisa dikurangi dimulai dari presiden yg tegas. Jika tegas maka bisa jujur...
BalasHapus