Sabtu, 20 Oktober 2012

Pidana Mati dan Anomali Putusan MA


Pidana Mati dan Anomali Putusan MA
Saharuddin Daming ;  Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 19 Oktober 2012
 

PRO-KONTRA tentang pidana mati kembali menjadi polemik hangat dalam wacana publik dewasa ini menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) No 39 K/Pid.Sus/2011 membebaskan Hengky Gunawan (gembong narkoba) yang sebelumnya telah divonis dengan pidana mati. Majelis hakim yang terdiri dari Imron Anwari, Achmad Yamanie dan hakim Nyak Pha berani mengambil putusan seperti itu dengan dalil bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Pandangan majelis hakim seperti itu dinilai sejumlah kalangan sebagai putusan yang inkonsisten. Selain karena menodai semangat untuk memerangi narkoba dan berbagai kejahatan sadis lainnya, itu terkesan mendelegitimasi sejumlah putusan MA tentang pidana mati kepada Astini, Sumarsih, dan Amrozi dkk yang kesemuanya telah dieksekusi.

Terlepas dari dugaan adanya intervensi mafia peradilan yang memengaruhi oknum hakim agung dalam memutuskan perkara dimaksud, saya menilai pencantuman HAM sebagai dasar putusan sarat dengan anomali. Mengapa baru sekarang segelintir hakim agung tiba-tiba berkesimpulan pidana mati bertentangan dengan HAM? 

Bukankah HAM sebagai pranata global telah melembaga sejak lahirnya deklarasi universal HAM 10 Desember 1948 disusul diadopsinya covenant tentang hak sipil dan politik pada 1966? Jika demikian halnya, lalu bagaimana dengan peraturan hukum kita yang masih mencantumkan pidana mati untuk jenis dan kategori kejahatan tertentu? Apakah semua itu ikut menjadi batal karena dianggap bertentangan dengan HAM?

Di negara-negara berkembang dengan masyarakat yang tingkat rasionalitasnya belum mencapai tingkat kesadaran hukum yang baik, pidana mati masih diperlukan sebagai shock therapy. Namun, pene rapan pidana mati dimaksud ternyata diten tang sebagian kalangan. Inti keberatan mereka terhadap penerapan pidana mati ialah itu dianggap bertentangan dengan HAM khususnya hak hidup.

Dipatahkan MK

Penentang pidana mati di Indonesia sendiri berpandangan hak hidup yang dijamin konstitusi tidak dapat dirampas siapa pun termasuk negara. Dengan demikian, pidana mati dengan alasan apa pun dianggap sebagai pelanggaran konstitusi. Argumentasi tersebut gugur ketika Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No 2 dan 3 /PUU-V/2007 tertanggal 30 Oktober 2007 memutuskan pidana mati bagi pengedar narkoba tidak bertentangan dengan HAM dan konstitusi.

Argumentasi yang mendalilkan pidana mati bertentangan dengan HAM, saya nilai berat sebelah. Bukankah seluruh jenis `pemidanaan' pada hakikatnya merupakan `pelanggaran HAM', tetapi kemudian menjadi sah karena diperkenankan hukum yang berlaku. Polisi menahan seseorang tersangka, andaikata tidak didasarkan pada suatu ketentuan hukum yang berlaku, tentu merupakan pelanggaran HAM. Ketika seorang dokter harus memilih untuk membunuh ibu atau bayi yang dikandungnya, andaikata tidak karena sesuatu yang oleh hukum dianggap `keadaan memaksa', juga harus kita namakan pelanggaran HAM. Keabsahan tersebut ditopang Pasal 29 ayat 2 Deklarasi Universal HAM yang pada pokoknya membatasi pelaksanaan HAM dan kebebasan melalui hukum.

Tentangan pidana mati berikutnya ialah berlindung pada dalil pidana berganda. Sebelum menjalani eksekusi, terpidana mati umumnya sudah menghuni LP dalam waktu yang cukup lama sehingga terkesan bahwa terpidana mati menjalani hukuman ganda. Meski tidak salah, saya nilai pandangan seperti itu terlalu menonjolkan kepentingan terpidana dan mengabaikan korban.
 
Jika seorang terpidana mati akhirnya menjalani hukuman ganda, bukankah itu disebabkan ulah yang bersangkutan sendiri dengan penggunaan berbagai upaya hukum untuk mengulur-ulur waktu setelah pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis pidana mati?

Jika pidana mati dihilangkan, rasa keadilan akan menjadi bias. Kasus kejahatan yang tergolong sangat keji dan sadis, sebagaimana yang dilakukan Baekuni, Robot Gedek, Ryan, dan Mujiono yang tega menghabisi belasan nyawa secara keji dengan cara pembunuhan berantai dan mutilasi, tentulah dirasakan tidak adil sebagian besar masyarakat jika pidana mati yang diancamkan diganti dengan pidana seumur hidup atas dasar pidana mati bertentangan dengan HAM. Hasil riset beberapa pihak menyimpulkan kebanyakan terpidana seumur hidup justru lebih memilih pidana mati karena dengan menjalani pidana seumur hidup, tentu akan berakhir ketika ia meninggal dunia. Itu berarti pidana seumur hidup juga mengalami pidana berganda.

Mutlak Ada

Jauh sebelum ada pendapat-pendapat sekarang yang pro pidana mati, C Lambroso dan Gafalo ialah dua figur pendukung pidana mati. Keduanya berpendapat pidana mati merupakan alat yang mutlak harus ada pada masyarakat us ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.
Sekalipun ada yang tidak sependapat tentang pemberlakuan pidana mati dengan alasan hal itu bertentangan dengan HAM, perlu dipertanyakan juga apakah dalam hukum tentang HAM di Indonesia ada ketentuan yang menegaskan larangan pidana mati atas dasar bertentangan dengan HAM?
 
Baik dalam konstitusi maupun UU No 39/ 1999 tentang HAM, tidak ditemukan ketentuan yang menegaskan pidana mati bertentangan dengan HAM. Terpidana mati juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika tidak demikian, mana mungkin HAM dapat ditegakkan? Dalam kejahatan seperti itu, pelakunya justru telah melanggar HAM orang lain.

Dalam syariat Islam, pidana mati bukan sekadar dibolehkan. Dalam kejahatan tertentu, penerapan pidana mati malah menjadi wajib bahkan bernilai ibadah. Itu tentu dengan alasan hak yang sahih. Hal alasan hak yang sahih. Hal tersebut dapat ditarik dari beberapa butir firman Allah dalam Alquran, antara lain Al Baqarah: 178-179, Al Al Baqarah: 178-179, Al Maaidah 33-45, dan beberapa hadis serta hasil ijtihad.

Demikian pula dalam Perjanjian Lama, sedikitnya ada sembilan kategori `kejahatan besar' yang pelakunya dipandang patut dihukum mati. Yakni , 1 ) Membunuh dengan sengaja, 2) Mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan, 3) Bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain, 4) Melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia, 5) Menjadi saksi palsu dalam perkara penting, 6) Menculik, 7) Mencaci atau melukai orangtua sendiri, 8) Melakukan perbuatan amoral di bidang seksual, dan 9) Melanggar akidah atau aturan agama.

Di samping merumuskan jenis kejahatan, hukum agama Yahudi mengatur jenis dan bentuk hukuman. Itu ada empat, yakni hukuman 1) Rajam, 2) Bakar, 3) Penggal kepala, dan 4) Gantung.

Berdasarkan rujukan agama tersebut, saya menolak dalil penyingkiran lembaga pidana mati dengan argumentasi penghilangan nyawa manusia merupakan hak prerogatif Tuhan dan manusia sama sekali tidak berwenang melakukannya. Dalil itu terkesan ingin menyejajarkan Tuhan dengan manusia. Padahal, dalam kemahakuasaan Tuhan atas hidup-matinya manusia, Tuhan tidak pernah datang langsung mengeksekusi/mencabut nyawa manusia dan sebaliknya. Jika pidana mati diterapkan dengan legitimasi hukum dan moral, itu tidak dapat diartikan manusia mengambil alih kewenangan Tuhan.

Sekalipun seorang terhukum mati dieksekusi di tiang gantungan, di depan regu tembak, di atas kursi listrik, disuntik, dan lain-lain, jika Tuhan menakdirkannya tidak mati, yang bersangkutan pasti tidak akan mati. Dalam konteks itulah hak prerogatif Tuhan dimaksud melekat, tetapi tidak bias hingga kedudukan Tuhan dan manusia tiba-tiba disejajarkan.

Sekali lagi, penerapan pidana mati dalam kasus kejahatan berat yang bereskalasi dan berimplikasi luas di masyarakat mengemban misi hukum sebagaimana pandangan Roscoe Pound, `The law as a tool of social control and the law as a tool of social engineering'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar