Pidana Mati
dan Anomali Putusan MA
Saharuddin Daming ; Komisioner
Komnas HAM
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Oktober 2012
PRO-KONTRA tentang pidana mati kembali menjadi
polemik hangat dalam wacana publik dewasa ini menyusul putusan Mahkamah Agung
(MA) No 39 K/Pid.Sus/2011 membebaskan Hengky Gunawan (gembong narkoba) yang
sebelumnya telah divonis dengan pidana mati. Majelis hakim yang terdiri dari
Imron Anwari, Achmad Yamanie dan hakim Nyak Pha berani mengambil putusan
seperti itu dengan dalil bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi
manusia (HAM). Pandangan majelis hakim seperti itu dinilai sejumlah kalangan
sebagai putusan yang inkonsisten. Selain karena menodai semangat untuk
memerangi narkoba dan berbagai kejahatan sadis lainnya, itu terkesan
mendelegitimasi sejumlah putusan MA tentang pidana mati kepada Astini,
Sumarsih, dan Amrozi dkk yang kesemuanya telah dieksekusi.
Terlepas dari dugaan adanya intervensi mafia
peradilan yang memengaruhi oknum hakim agung dalam memutuskan perkara
dimaksud, saya menilai pencantuman HAM sebagai dasar putusan sarat dengan
anomali. Mengapa baru sekarang segelintir hakim agung tiba-tiba berkesimpulan
pidana mati bertentangan dengan HAM?
Bukankah HAM sebagai pranata global
telah melembaga sejak lahirnya deklarasi universal HAM 10 Desember 1948
disusul diadopsinya covenant tentang hak sipil dan politik pada 1966? Jika
demikian halnya, lalu bagaimana dengan peraturan hukum kita yang masih
mencantumkan pidana mati untuk jenis dan kategori kejahatan tertentu? Apakah
semua itu ikut menjadi batal karena dianggap bertentangan dengan HAM?
Di negara-negara berkembang dengan masyarakat
yang tingkat rasionalitasnya belum mencapai tingkat kesadaran hukum yang
baik, pidana mati masih diperlukan sebagai shock therapy. Namun, pene rapan
pidana mati dimaksud ternyata diten tang sebagian kalangan. Inti keberatan
mereka terhadap penerapan pidana mati ialah itu dianggap bertentangan dengan
HAM khususnya hak hidup.
Dipatahkan MK
Penentang pidana mati di Indonesia sendiri
berpandangan hak hidup yang dijamin konstitusi tidak dapat dirampas siapa pun
termasuk negara. Dengan demikian, pidana mati dengan alasan apa pun dianggap
sebagai pelanggaran konstitusi. Argumentasi tersebut gugur ketika Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam putusan No 2 dan 3 /PUU-V/2007 tertanggal 30 Oktober
2007 memutuskan pidana mati bagi pengedar narkoba tidak bertentangan dengan
HAM dan konstitusi.
Argumentasi yang mendalilkan pidana mati
bertentangan dengan HAM, saya nilai berat sebelah. Bukankah seluruh jenis
`pemidanaan' pada hakikatnya merupakan `pelanggaran HAM', tetapi kemudian
menjadi sah karena diperkenankan hukum yang berlaku. Polisi menahan seseorang
tersangka, andaikata tidak didasarkan pada suatu ketentuan hukum yang
berlaku, tentu merupakan pelanggaran HAM. Ketika seorang dokter harus memilih
untuk membunuh ibu atau bayi yang dikandungnya, andaikata tidak karena
sesuatu yang oleh hukum dianggap `keadaan memaksa', juga harus kita namakan
pelanggaran HAM. Keabsahan tersebut ditopang Pasal 29 ayat 2 Deklarasi
Universal HAM yang pada pokoknya membatasi pelaksanaan HAM dan kebebasan
melalui hukum.
Tentangan pidana mati berikutnya ialah
berlindung pada dalil pidana berganda. Sebelum menjalani eksekusi, terpidana
mati umumnya sudah menghuni LP dalam waktu yang cukup lama sehingga terkesan
bahwa terpidana mati menjalani hukuman ganda. Meski tidak salah, saya nilai
pandangan seperti itu terlalu menonjolkan kepentingan terpidana dan
mengabaikan korban.
Jika seorang terpidana mati akhirnya menjalani hukuman ganda, bukankah itu disebabkan
ulah yang bersangkutan sendiri dengan penggunaan berbagai upaya hukum untuk
mengulur-ulur waktu setelah pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis
pidana mati?
Jika pidana mati dihilangkan, rasa keadilan
akan menjadi bias. Kasus kejahatan yang tergolong sangat keji dan sadis,
sebagaimana yang dilakukan Baekuni, Robot Gedek, Ryan, dan Mujiono yang tega
menghabisi belasan nyawa secara keji dengan cara pembunuhan berantai dan
mutilasi, tentulah dirasakan tidak adil sebagian besar masyarakat jika pidana
mati yang diancamkan diganti dengan pidana seumur hidup atas dasar pidana
mati bertentangan dengan HAM. Hasil riset beberapa pihak menyimpulkan
kebanyakan terpidana seumur hidup justru lebih memilih pidana mati karena
dengan menjalani pidana seumur hidup, tentu akan berakhir ketika ia meninggal
dunia. Itu berarti pidana seumur hidup juga mengalami pidana berganda.
Mutlak Ada
Jauh sebelum ada pendapat-pendapat sekarang
yang pro pidana mati, C Lambroso dan Gafalo ialah dua figur pendukung pidana
mati. Keduanya berpendapat pidana mati merupakan alat yang mutlak harus ada
pada masyarakat us ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak
mungkin dapat diperbaiki lagi.
Sekalipun ada yang tidak sependapat tentang
pemberlakuan pidana mati dengan alasan hal itu bertentangan dengan HAM, perlu
dipertanyakan juga apakah dalam hukum tentang HAM di Indonesia ada ketentuan
yang menegaskan larangan pidana mati atas dasar bertentangan dengan HAM?
Baik dalam konstitusi maupun UU No 39/ 1999 tentang HAM, tidak ditemukan
ketentuan yang menegaskan pidana mati bertentangan dengan HAM. Terpidana mati
juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika tidak
demikian, mana mungkin HAM dapat ditegakkan? Dalam kejahatan seperti itu,
pelakunya justru telah melanggar HAM orang lain.
Dalam syariat Islam, pidana mati bukan sekadar
dibolehkan. Dalam kejahatan tertentu, penerapan pidana mati malah menjadi
wajib bahkan bernilai ibadah. Itu tentu dengan alasan hak yang sahih. Hal
alasan hak yang sahih. Hal tersebut dapat ditarik dari beberapa butir firman
Allah dalam Alquran, antara lain Al Baqarah: 178-179, Al Al Baqarah: 178-179,
Al Maaidah 33-45, dan beberapa hadis serta hasil ijtihad.
Demikian pula dalam Perjanjian Lama, sedikitnya
ada sembilan kategori `kejahatan besar' yang pelakunya dipandang patut dihukum
mati. Yakni , 1 ) Membunuh dengan sengaja, 2) Mengorbankan anak-anak untuk
ritual keagamaan, 3) Bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang
lain, 4) Melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia, 5)
Menjadi saksi palsu dalam perkara penting, 6) Menculik, 7) Mencaci atau
melukai orangtua sendiri, 8) Melakukan perbuatan amoral di bidang seksual,
dan 9) Melanggar akidah atau aturan agama.
Di samping merumuskan jenis kejahatan, hukum
agama Yahudi mengatur jenis dan bentuk hukuman. Itu ada empat, yakni hukuman
1) Rajam, 2) Bakar, 3) Penggal kepala, dan 4) Gantung.
Berdasarkan rujukan agama tersebut, saya
menolak dalil penyingkiran lembaga pidana mati dengan argumentasi
penghilangan nyawa manusia merupakan hak prerogatif Tuhan dan manusia sama
sekali tidak berwenang melakukannya. Dalil itu terkesan ingin menyejajarkan
Tuhan dengan manusia. Padahal, dalam kemahakuasaan Tuhan atas hidup-matinya
manusia, Tuhan tidak pernah datang langsung mengeksekusi/mencabut nyawa
manusia dan sebaliknya. Jika pidana mati diterapkan dengan legitimasi hukum dan
moral, itu tidak dapat diartikan manusia mengambil alih kewenangan Tuhan.
Sekalipun seorang terhukum mati dieksekusi di
tiang gantungan, di depan regu tembak, di atas kursi listrik, disuntik, dan
lain-lain, jika Tuhan menakdirkannya tidak mati, yang bersangkutan pasti
tidak akan mati. Dalam konteks itulah hak prerogatif Tuhan dimaksud melekat,
tetapi tidak bias hingga kedudukan Tuhan dan manusia tiba-tiba disejajarkan.
Sekali lagi, penerapan pidana mati dalam kasus
kejahatan berat yang bereskalasi dan berimplikasi luas di masyarakat
mengemban misi hukum sebagaimana pandangan Roscoe Pound, `The law as a tool of social control and
the law as a tool of social engineering'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar