Senin, 08 Oktober 2012

Mencegah Bahasa Indonesia Punah


Mencegah Bahasa Indonesia Punah
Ahmad Sahidah ;  Dosen Sains Pemikiran dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 8 Oktober 2012


KALAU kita memeriksa dengan cermat, unsur apakah yang paling kuat mengukuhkan kesadaran keindonesiaan? Bahasa kebangsaan. Sebagai wujud kebanggaan ini, negara ini mempunyai bulan bahasa, bulan Oktober. Pernahkah tebersit di benak kita bahwa kita acapkali abai merawatnya? Akhir-akhir ini, kita acapkali menemukan kecenderungan orang ramai menyelipkan bahasa Inggris di sela percakapan, tulisan, dan ceramah. Pada masa yang sama, kita juga turut menemukan banyak kritik agar orang ramai tak seenaknya menggunakan bahasa, karena ia adalah jiwa bangsa.

Malangnya, banyak media berlomba-lomba menggunakan kata-kata Inggris, baik dalam judul atau isi berita. Padahal, media mempunyai peran yang sangat besar dalam memengaruhi gaya berbahasa khalayak luas. Memang, harus diakui bahwa bahasa Inggris telah begitu digdaya hari ini. Bahasa yang kosa katanya banyak dari Latin tersebut telah membawakan dirinya tidak sekadar alat berbicara, tetapi juga bahasa lintas etnik, agama, dan bangsa.

Ini sebagaimana bahasa Melayu sebelum kemerdekaan di kepulauan Nusantara, yang sekarang menjelma menjadi bahasa resmi tiga negara di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di luar fungsi ini, ia telah menaikkan gengsi penggunanya pada masa itu, karena sering dikaitkan dengan kedudukannya sebagai seorang terpelajar.

Lalu, apakah dengan kebiasaan yang salah kaprah keinggris-inggrisan, akan membuat pembaca bisa menguasai bahasa tersebut? Tidak juga. Bagaimanapun, kebanyakan warga Malaysia dan Singapura jauh lebih mampu berbahasa Inggris karena mereka mempraktikkannya dalam perbualan (baca: percakapan) keseharian. Meski demikian, di negeri jiran, media berbahasa kebangsaan sejauh mungkin taat asas, misalnya Utusan, Berita Harian, dan Sinar Harian. Sementara pada waktu yang sama, koran berbahasa Inggris, seperti News Strait Times, The Star, Malay Mail, dan The Sun dijangkau oleh kebanyakan warga, bahkan pekerja kasar sekali pun. Dalam sebuah kesempatan, saya melihat seorang pekerja bengkel menekuri koran The Star yang berbahasa Inggris dengan tangan masih berlepotan oli.

Padahal, penggunaan bahasa Inggris di media yang telah menyebarkan banyak kosa kata sebenarnya bisa diganti dengan bahasa Indonesia baku. Apa lacur, pekerja media lebih memilih kata-kata asing tersebut. Bahkan, untuk memastikan kata itu adalah bukan bahasa baku ia diterakan dalam bentuk huruf miring. Orang ramai pun lebih mengutamakan kata asing dibandingkan perbendaharan kata setempat.

Mengurai kegairahan pengguna bahasa Indonesia yang lebih nyaman dengan bahasa Inggris di tempat tertentu, kita pun perlu memeriksa kembali, apakah gerangan yang menggelayuti pikiran dan perasaan mereka tentang bahasa? Sebagai alat untuk menyampaikan pesan, setidaknya ia mengandaikan teori sederhana terkait komunikasi, rangsangan, dan tanggapan. Apabila pengguna bahasa yang tak taat asas ini sering muncul di media, dengan sendirinya orang ramai akan meniru dan membenarkan sebagai bagian dari cara berkomunikasi yang layak.

Ketika sikap kebanggaan terhadap bahasa sendiri luntur, lambat laun kita akan malas mencari padanan bahasa tempatan, karena bahasa Inggris ternyata jauh lebih dekat dengan keberaksaraan orang kebanyakan. Lebih memprihatinkan, dalam sebuah tulisan pendapat (tak perlu kata opini bukan?) di koran nasional seorang guru besar menulis susunan kalimat seperti ini: apa yang salah? What went wrong? dalam satu baris. Apa sebenarnya yang ada di benak yang bersangkutan sehingga dia harus mengungkapkan sebuah cetusan semacam ini? Adakah dua kalimat itu mempunyai perbedaan makna yang dalam sehingga keduanya perlu dihadirkan dalam satu dengusan napas? Malah dalam tulisan di media lain dengan ringan dia menerakan frasa partner dialog. Bukankah dengan menggunakan mitra, dia bisa menyampaikan maksud yang sama?

Nah, jika keadaan seperti di atas berlarutan, kita tak perlu menunggu 1.000 tahun untuk menghadapi perubahan kosa kata bahasa kita sebanyak 20 persen, seperti yang dialami bahasa Latin (Mahsun, 2010). Bagaimanapun, kegenitan banyak orang menyisipkan kata, frasa, atau bahkan kalimat berbahasa Inggris dalam sebuah percakapan atau tulisan berbahasa Indonesia berakibat pada pengutamaan pemilihan serapan yang berasal dari bahasa Inggris oleh banyak orang. Boleh jadi, kegairahan untuk beringgris ria merupakan pengejawantahan sikap orang ramai terhadap bahasa sendiri yang dipandang tidak gagah.

Sebaliknya, betapa negeri jiran berusaha mengenalkan bahasa Melayu ke seluruh dunia dengan penyelenggaraan lomba pidato dalam bahasa yang bersangkutan dengan peserta dari banyak negara di dunia. Sementara, kita di sini tak berbuat banyak bagaimana mengenalkan bahasa Indonesia di ajang antarbangsa. Hanya, kelemahan negeri tetangga itu adalah penggunaan bahasa lisan yang tidak sejalan dengan bahasa baku. Hanya A. Samad Said, penyair, menggunakan bahasa yang sesuai dengan aturan nahu, tata bahasa dalam bahasa Malaysia. Kalau Anda mendengar pidato penulis novel Salina ini, Anda mungkin tidak bisa dengan mudah mengenalnya sebagai warga Malaysia.

Akhirnya, kehendak untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, hanya dengan menyerap begitu saja kosa kata asing, akan mengubur bahasa kebangsaan. Tentu saja tugas menyelamatkan kepunahan ini tidak hanya berada di pundak pusat bahasa sebagai badan yang berwenang merawat kebahasaan, tetapi kita semua dengan berusaha taat asas dalam berwacana. Terutama, media cetak dan elektronik memegang peran kunci dalam memelihara ketaatasasan dan mencegah kemalasan untuk mencari kosa kata dalam khazanah sendiri. Jika televisi kita sering menyebut kata presenter (padahal tak tertera di dalam kamus), media telah mengubur kata penyampai yang ada dalam khazanah kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar