Sabtu, 13 Oktober 2012

Konflik di Masyarakat dan Pancasila


Konflik di Masyarakat dan Pancasila
Gilang Iskandar ;  Direktur Eksekutif World Peace Movement 
SINDO, 13 Oktober 2012



Banyak orang yang suka dengan perdamaian, tapi hanya sedikit orang yang mau mengupayakan perdamaian”— Anonymous 

Hari-hari belakangan ini kita terkesiap oleh tewasnya dua pelajar sekolah menengah atas di Jakarta akibat tawuran. Ditambah lagi tewasnya dua mahasiswa di Makassar,yang menambah panjang catatan buram aksi kekerasan pelajar.

Walaupun tawuran pelajar sudah sering terjadi,tetap saja kita terkaget atas kenyataan ini. Karena persepsi kolektif kita tentang dunia pendidikan adalah berkaitan dengan halhal yang baik dan positif. Sampai hari ini, persepsi kolektif kita masih seperti itu. Jadi tidak heran jika ada halhal negatif yang terjadi di dunia pendidikan, kita akan selalu bertanya mengapa bisa hal itu terjadi. Berbagai kasus negatif terjadi di lingkungan pendidikan, seperti kasus buku tidak sepatutnya yang menyangkut aspek pornografi ataupun politik; kasus kekerasan kakak kelas kepada adik kelas; kasus kekerasan oleh guru; kasus pelecehan; kasus narkoba, yang terjadi di lingkungan pendidikan, telah menjadi kenyataan di sekitar kita.

Dalam konteks masyarakat terjadi konflik antarkelompok masyarakat yang kadang disebabkan oleh hal-hal sepele. Yang memprihatinkan terjadi konflik yang dilatarbelakangi oleh unsur SARA. Walaupun tidak menyeluruh, kenyataan tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam masyarakat kita. Di manakah jati diri kita sebagai bangsa? Apakah sebagai bangsa kita telah melupakan way of life kita, yaitu Pancasila, yang menjadi fondasi bangunan besar rumah Indonesia.

Dalam pidatonya, Bung Karno menegaskan bahwa beliau bukan pencipta Pancasila, melainkan “penggali” Pancasila. Bung Karno mengatakan “Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan Pancasila. Dan kalau ada orang berkata, he Bung Karno kau cuma sekedar penggali, sekedar perumus Pancasila, aku berkata memang ya saya perumus Pancasila, aku penggali Pancasila. Dan aku telah bersyukur, bersyukur; kok aku, dijadikan oleh Tuhan perumus daripada Pancasila, penggali daripada Pancasila ini. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya”.

Bung Karno benar, karena nilai-nilai dari Pancasila sejatinya merupakan nilai-nilai yang ada dan hidup dalam sanubari rakyat Indonesia. Artinya dalam keseharian hidup, nilainilai itu mewarnai interaksi masyarakat kita. Bung Karno mengatakan intisari dari Pancasila itu adalah “gotong royong”. Dalam bahasa Bung Karno “Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopiskuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong”.

Jadi dalam gotong royong itu ada kebersamaan, kontribusi semua pihak, persatuan, kepentingan bersama, perpaduan sumber daya, saling melengkapi atas kelebihan dan kekurangan. Dan, ini relevan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau keragaman dalam kesatuan (diversity in unity). Sangat jelas bahwa keberagaman masyarakat Indonesia itu sebagai rahmat dari Tuhan yang harus dikelola bagi kebaikan bersama.

Tujuan utama (ultimate goal) kita membangun negara ini dicantumkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Kalimat ini sangat sederhana tapi memerlukan upaya yang luar biasa untuk mewujudkannya. Dalam mewujudkan tujuan utama tersebut, Pancasila menjadi dasar atau pedoman, sehingga yang kita perjuangkan adalah kepentingan bersama sebagai bangsa bukan kepentingan perorangan atau kelompok masyarakat. Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan bahwa negara yang dibangun adalah suatu negara “semua buat semua”. Artinya semua warga negara Indonesia punya hak dan kewajiban yang sama kepada negara. Kedewasaan rakyat dalam mengelola konflik sebenarnya sangat menggembirakan.

Beberapa kali pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada menjadi bukti akan hal itu. Ada beberapa pilkada yang berakhir dengan konflik, tapi itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa rakyat kita bisa berbeda pilihan politik tanpa harus menghancurkan eksistensi negaranya. Dalam kehidupan hubungan inter dan atau antarumat beragama juga demikian.

Ada beberapa konflik yang disiarkan media massa yang membuat kita sangat prihatin.Namun pada saat yang sama, kita melihat dan merasakan bahwa masyarakat secara umum sangat ingin hidup berdampingan secara damai. Terjadinya beberapa tawuran antarpelajar memang memprihatinkan. Namun kita juga melihat lebih banyak lagi pelajar yang tidak mau terlibat tawuran.

Atas fakta dalam masyarakat seperti yang diuraikan sebelumnya, timbul pertanyaan apakah nilai-nilai dari Pancasila itu saat ini masih ada dan hidup dalam sanubari masyarakat kita? Untuk menjawab pertanyaan ini,kita bisa menggunakan cara pandang negatif atau positif. Jika menggunakan kacamata negatif, kita akan pesimis dan melihat kenyataan yang ada tanpa harapan. Namun jika menggunakan cara pandang positif, kita masih melihat bahwa nilai-nilai itu masih ada dan hidup dalam masyarakat kita.

Yang diperlukan adalah upaya untuk membangunkan dan memperkuat memori kolektif kita akan nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak bisa melalui anjuran, omongan, atau propaganda saja, tapi yang lebih mendasar adalah melalui keteladanan dari para elite dan para pemimpin bangsa di semua tingkatan dari pusat sampai daerah. Manakala yang dipertontonkan para elite dan para pemimpin adalah konflik, ketidakdewasaan berpikir dan bersikap, serta mempertontonkan tindakantindakan tidak terpuji lainnya, maka jangan serta-merta menyalahkan pelajar yang tawuran atau masyarakat yang berkonflik.

Elite dan pemimpin itu sejatinya menjadi panutan dari masyarakat dalam mengamalkan atau menerapkan nilainilai Pancasila.Memang masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab, tapi faktor keteladanan dari elite dan atau pemimpin ini sangat signifikan untuk terciptanya masyarakat yang hidup berdampingan secara damai.

Banyak orang yang suka dengan perdamaian, tapi hanya sedikit orang yang mau mengupayakan perdamaian. Peran elite dan pemimpin sangat berarti bagi terciptanya perdamaian, sehingga energi dan sumber daya kita sebagai bangsa bisa kita fokuskan bagi pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar