Kekerasan di
Kalangan Pelajar
Darmaningtyas ; Pengurus Dewan Harian Nasional 45
|
KORAN
TEMPO, 05 Oktober 2012
Studi-studi tentang kekerasan
pelajar menunjukkan bahwa kondisi keluarga dan sekolah amat berpengaruh
terhadap perilaku anak. Anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga
baik-baik memiliki potensi rendah untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya.
Dua kasus tawuran yang muncul di
Jakarta, medio September lalu, yaitu antara pelajar SMAN 6 dan SMAN 70
Bulungan, Jakarta, menyentak hati nurani kita semua mengenai pentingnya
perhatian terhadap masalah kekerasan di kalangan pelajar. Kekerasan pelajar
tidak hanya terjadi di kota metropolitan seperti Jakarta. Di ujung pelosok sana,
di Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah, hal itu juga terjadi.
Kasus-kasus itu menunjukkan
kepada kita semua betapa kekerasan di sekolah dan di kalangan pelajar di
Indonesia makin brutal, dengan segala latar belakangnya. Tapi umumnya kekerasan
itu bermula dari ucapan (saling ejek) dan kemudian berujung pada tindakan. Ini
membuktikan bahwa kekerasan verbal (ucapan) tidak boleh dianggap remeh oleh
para guru atau orang tua. Jarang sekali kekerasan fisik itu muncul secara
tiba-tiba tanpa didahului oleh kekerasan verbal. Mayoritas kekerasan fisik,
termasuk tawuran antarpelajar/sekolah, bermula dari ketidaktahanan menghadapi
kekerasan verbal.
Barbara Coloroso, penulis buku The Bully, Bullied and Bystander: from
Preschool to High School (2004), menyebutkan ada tiga jenis penindasan (bullying) di kalangan pelajar, yaitu
verbal dan relasional. Masing-masing dapat menimbulkan bencana sendiri-sendiri.
Namun ketiganya kerap membentuk kombinasi untuk menciptakan serangan yang lebih
kuat. Dicontohkan oleh Barbara, di Manchester, Inggris, misalnya, pada 1999,
Marie Bentham, anak usia delapan tahun, gantung diri di kamar tidurnya dengan
alat lompat tali karena merasa tak mampu lagi menghadapi penindasan-penindasan
di sekolahnya. Sedangkan di British Columbia pada 1997, Nanaimo, seorang siswa
kelas IV, menikamkan pisau ke siswa lain yang mengolok-oloknya, persis seperti
yang dilakukan oleh Nurudian.
Saya pribadi merasa kaget ketika
mendengar penuturan Joshua Suherman, penyanyi cilik dekade 1990-an, secara
langsung di sebuah acara televisi swasta, bahwa dia memilih home-schooling (bersekolah di rumah)
pada saat SMA lantaran tidak tahan menghadapi bullying di sekolah, dan guru tidak peduli pada apa yang
dialaminya. Kalau seorang Joshua yang cukup dikenal publik pun mengalami bullying dari teman-temannya, apalagi
anak-anak yang tidak memiliki eksistensi diri sama sekali. Ada beberapa
kemungkinan reaksi balik yang diberikan oleh korban bullying, seperti yang dicontohkan oleh Barbara di atas.
Lingkungan Rumah
Studi-studi tentang kekerasan
pelajar menunjukkan bahwa kondisi keluarga dan sekolah amat berpengaruh
terhadap perilaku anak. Anak-anak yang berasal dari
latar belakang keluarga baik-baik memiliki potensi rendah untuk melakukan
kekerasan terhadap sesamanya. Sebaliknya, anak-anak dari latar belakang
keluarga yang bermasalah (miskin, tidak harmonis, cerai, atau anak pelaku kriminalitas) memiliki
potensi lebih besar untuk melakukan tindak kekerasan terhadap sesama.
Hal itu amat mudah dipahami karena anak-anak dari latar belakang
keluarga bermasalah memiliki rasa kecewa, frustrasi, bahkan kecemasan akan masa
depannya yang lebih besar daripada mereka yang hidup dengan kecukupan ekonomi
dan kasih sayang. Dengan kata lain, tindakan bullying itu adalah ekspresi dari segala bentuk kekecewaan,
kejengkelan, dan frustrasi sejumlah anak terhadap kondisi keluarga yang kurang
kondusif tersebut.
Demikian pula, kondisi sekolah
yang memungkinkan terbentuknya geng-geng di antara para murid memungkinkan
terjadinya bullying yang lebih leluasa, karena para guru tidak mampu melakukan
kontrol satu per satu atas apa yang terjadi pada para murid. Catatan dari hasil
pertemuan antara alumnus SMA 6, 9, 11, dan 70 yang di luar Jakarta dapat
menggambarkan secara jelas mengenai kondisi lingkungan sekolah dan dampaknya
terhadap tindak kekerasan di sekolah. Perlu diketahui bahwa, pada awalnya, SMA
6, 9, 11, dan 70 itu adalah satu sekolah sehingga para alumninya yang senior
dan terpanggil untuk berkontribusi memecahkan persoalan itu pun bertemu
bersama.
Baik di SMA 6 maupun SMA 70
sama-sama ada yang namanya organisasi tanpa bentuk (OTB), yang sangat melekat
di masing-masing sekolah dan pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan
pengaruh guru, kepala sekolah, atau bahkan orang tua sendiri. OTB yang dikenal
di SMA 6 adalah Gorasix dan Gor Angel. Sedangkan di SMA 70, masing-masing
angkatan berbeda namanya, misalnya Gestapo, Laskar, Sporadis, Detasement, dan
Balistik. Murid kelas I disebut Utas, kelas II disebut Aud, dan kelas III
disebut Agit. Utas itu sangat taat pada Aud dan Agit dan sering kali menjadi
bulan-bulanan Aud dan Agit. Ada wilayah teritorial yang dikuasai oleh
masing-masing OTB dan pemisah teritorial itu mereka sebut "Jalur
Gaza".
Keberadaan OTB inilah yang memiliki andil besar munculnya bullying secara sistematis
(turun-temurun).
Kuatnya OTB dalam mempengaruhi
sikap dan perilaku murid junior itu terasa sekali ketika si anak yang mengalami
bullying--termasuk diminta memberikan
sejumlah uang tertentu untuk kegiatan yang tidak ada relevansinya dengan
pelajaran pun--tidak berani berterus terang kepada orang tuanya mengenai siapa
yang memungut uang tersebut dan untuk apa. Keberadaan OTB itu mampu menciptakan
gerakan tutup mulut di kalangan murid secara menyeluruh sehingga hal itu
menyulitkan guru dan kepala sekolah maupun orang tua mengawasi.
Berdasarkan kondisi lingkungan
sekolah seperti itu, rekomendasi yang diberikan oleh para alumnus SMA 6, 9, 11,
dan 70 untuk menyelesaikan persoalan tawuran antara pelajar SMA 6 dan SMA 70
adalah melakukan sterilisasi kawasan Bulungan dan Mahakam dari kawasan
teritorial OTB dan menghapuskan Jalur Gaza. Selain itu, perlu mempertemukan
kedua kubu OTB dan beberapa pentolan mereka untuk didamaikan. Ini penting
mengingat OTB itulah yang selalu mendoktrin para murid baru mengenai siapa
"musuh" kita.
Dengan hilangnya doktrin
"musuh kita", diharapkan tidak ada lagi generasi yang mau tawuran
untuk tujuan yang sia-sia. Tentu saja, yang tidak kalah penting adalah sekolah
perlu membuat perjanjian dengan orang tua dan murid pada saat masuk ke SMA 6
dan 70 bahwa siapa yang melakukan bullying
dan tawuran secara otomatis harus keluar. Bila ada aturan seperti itu dan
ditegakkan, pasti murid akan takut, sehingga peran OTB dapat diminimalkan. Harus ada upaya keras dari sekolah dan birokrasi pendidikan agar
jangan sampai wibawa kepala sekolah dan guru kalah oleh oknum-oknum OTB. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar