Lingkungan
yang Mengasuh
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Oktober 2012
KITA
belajar seumur hidup. Itu bukan semata-mata dengan menimba ilmu pengetahuan dan
keterampilan di bangku sekolah. Menurut para ahli didik, belajar berawal sejak
manusia lahir dan berlangsung sampai hidupnya berakhir. Dia belajar tentang
kehidupan dengan menyerap rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan itulah yang
membuat peka-tidaknya rasa kemanusiaan, ketajaman berpikir, serta kemampuan
memilah dan memilih baik-buruk.
Hasil
penelitian di bidang pendidikan selanjutnya menyimpulkan manusia sebenarnya
mulai membangun landasan karakter pada tahun-tahun pertama kehidupan, terutama
pada usia balita. Maka peran orangtua, khususnya interaksi pribadi ibu dengan
anak, sangat menentukan perkembangan jiwa dan pikiran anak. Itu menjelaskan
mengapa anak yang mendapat kasih sayang dan didikan keluarga yang baik akan
tumbuh beda dari mereka yang kurang mendapat perhatian orangtua. Pendidikan
yang diperoleh dari lingkungan sekolah dan/ atau masyarakat hanyalah kelanjutan
pembelajaran agar ia mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan cara
bersosialisasi untuk bekal kehidupan selanjutnya.
Dalam
kerangka berpikir itu, tidak terlalu salah bila tayangan televisi baru-baru ini
menampilkan tawuran dan kekerasan antarremaja. Selain membangkitkan
keprihatinan bersama, itu melahirkan berbagai penafsiran tentang pendidikan
pada umumnya; masing-masing tergantung sudut pandang mana melihatnya.
Salah
satu pertanyaan yang mengusik: bila lingkung an dekat dan masyarakat memberi
keteladanan buruk, dapatkah kita mengharapkan anak-anak bersikap baik?
Karut-marut
perilaku orang dewasa yang menyalahi norma wajar menimbulkan tanda tanya pada
anak-anak. Banjir informasi tentang orang-orang dewasa yang lain kata lain
perbuatan tentu menimbulkan kebingungan dalam pikiran dan perasaan mereka yang
masih rawan. Fakta tersebut, ditambah dengan tontonan kekerasan, menimbulkan
pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa. Apa yang menjadi anutan?
Bingung Tanpa Keteladanan
Banyak
saran telah disampaikan untuk mengatasi kenakalan anak-anak muda akibat tawuran
yang baru lalu; termasuk keputusan memenjarakan anak-anak yang telah meregang
nyawa lawannya. Katanya, hukuman tegas harus ditimpakan kepada mereka agar yang
lain-lain tidak mengulang kesalahan sama.
Apa jadinya anak-anak yang dinyatakan bersalah itu setelah pemenjaraan belasan
tahun? Habislah harapan mereka untuk masa depan. Itulah risiko yang dihadapi
anak-anak yang harus menanggung beban sosial yang berat akibat kesalahan
lingkungan.
Di
lain pihak, puluhan orang dewasa yang bersalah melakukan korupsi puluhan miliar
rupiah, misalnya, bisa lolos dengan hukuman ringan. Sebagian bahkan bebas sama
sekali. Keputusan pengadilan semacam itu memberikan kesan penegakan hukum tidak
konsisten. Korupsi tidak dianggap serius. Sanksi hukumnya tergolong ringan,
sanksi sosialnya minim. Karena itu, wabah korupsi, yang merajalela sejak
petrodolar mengalir ke negeri ini pada 70-an, sekarang menjadi-jadi dan meluas
ke mana-mana. Bidang-bidang yang tidak sepatutnya terkena pun menjadi korban,
termasuk kegiatan di bidang penegakan hukum, pendidikan, bahkan agama; pertanda
bahwa pembangunan budi dan budaya terabaikan.
Apa
gerangan yang tebersit dalam pikiran anak-anak muda yang tahun demi tahun
mengikuti situasi seperti ini? Apa pula pikiran mereka menyaksikan tindak
kekerasan yang makin marak? Bukankah pengalaman tak nyaman itu akan mereka bawa
sampai dewasa?
Lingkungan Menginspirasi
Sebentar lagi Ibu Kota memiliki nakhoda
baru. Banyak yang diharapkan dari pasangan Jokowi-Ahok, antara lain
terbangunnya lingkungan yang
sehat bagi warganya. Mengingat perkembangan akhir-akhir ini, Jakarta diharapkan
jangan lagi menjadi lingkungan yang memberi salah asuhan kepada anak-anak dan
remajanya.
Harapan
itu sejalan dengan program pendidikan bagi warga Jakarta. Yang kasatmata,
Jakarta membutuhkan lebih banyak fasilitas sekolah dan komunitas untuk tempat
bermain dan berkumpul kaum mudanya. Tempat-tempat seperti itu memberikan
kesempatan kepada mereka untuk menyerap pendidikan dan pembelajaran oleh
lingkungan yang memperkaya pikiran dan jiwa.
Keinginan itu hanya salah satu dari sekian
banyak lainnya yang disampaikan sebagai saran. Itu bukan mengada-ada. Sekalipun
membebani, itu sekaligus menjadi tantangan bagi pemimpin yang ingin
mengantarkan generasi muda berjiwa sehat ke masa depan.
Dengan ramainya
lalu-lalang informasi seperti sekarang, tayangan-tayangan televisi baik yang
memprihatinkan maupun yang menggembirakan sudah menjadi bagian dari kehidupan
bersama. Permasalahan yang timbul dan penanganannya pun harus menjadi proyek
bersama. Pertanyaan mendesak yang terpikir setelah tayangan tawuran dan
kekerasan: bagaimana masa depan yang ideal bisa terwujud bila pembangunan budi
dan budaya generasi penerus diabaikan?
Ramainya denting cash register di pusat-pusat perbelanjaan modern menunjukkan
kesibukan transaksi dagang di Jakarta. Kepadatan lalu lintas di jalan-jalan
raya, yang diapit deretan bangunan-bangunan megah di kiri kanannya, mengesankan
kemewahan Ibu Kota. Namun, di banyak sudut kota membentang
permukiman-permukiman miskin dan kumuh; potret ketimpangan mencolok yang mudah
menyuburkan kekerasan. Hukumnya wajib, ketimpangan yang berlebihan perlu segera
dihapuskan. Masa depan yang ideal bisa terbuka bila bakat, kemampuan, dan
kreativitas kaum muda dimekarkan dalam lingkungan positif yang mengasuh mereka.
Masa depan yang ideal bisa terbuka bila bakat, kemampuan, dan kreativitas kaum
muda dimekarkan dalam lingkungan positif yang mengasuh mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar