Haji yang
Humanis
Joko Wahyono ; Analis di Center for Study of Religion
and Social-Cultural Diversity UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 8 Oktober 2012
Indonesia merupakan salah satu negara
pengirim calon jemaah haji (CJH) paling banyak ke Mekah. Saking banyaknya,
kuotanya selalu dibatasi. Mereka harus bersabar selama beberapa tahun untuk
mendapat giliran melaksanakan rukun Islam kelima itu. Bahkan, wacana haji sekali seumur hidup terus
dikampanyekan untuk mengantisipasi timbulnya kemadharatan, baik teknis maupun
nonteknis dan multiplier effect
kemanusiaan lainnya.
Menurut data Dirjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kementerian Agama (Kemenag), jumlah CJH tahun ini mencapai 211.000 orang,
terdiri 194.000 (haji reguler) dan 17.000 (haji plus). Kini, secara bertahap
CJH mulai diberangkatkan.
Tingginya antusiasme masyarakat yang ingin
beribadah haji menunjukkan peningkatan kesadaran untuk mewujudkan kesempurnaan
keislaman mereka. Di sisi lain, ini menggambarkan adanya pertumbuhan
kesejahteraan masyarakat, meski sebagian besar yang hidup dalam kemiskinan juga
tak dapat dilupakan.
Inilah mengapa perintah ibadah “berkunjung”
ke Rumah Allah (Baitullah) dikhususkan bagi umat Islam yang mampu (istita’ah). Klausul “bagi yang mampu”
ini menyiratkan bahwa ada pertimbangan yang bersifat kemanusiaan (humanities) dalam ibadah haji. Inilah
bukti bahwa setiap ibadah bukan semata-mata untuk Allah, tetapi juga untuk
kepentingan manusia itu sendiri.
Secara lahiriah memang ibadah haji berbeda,
baik dalam amalan, tata cara maupun kondisi geografis Kota Mekah dengan
Indonesia.
Namun, secara substansial, dimensi humanis
dalam ibadah haji dapat dikatakan setara dengan ibadah lain, seperti salat,
puasa dan zakat. Dimensi kemanusiaan inilah yang masih kerap diabaikan oleh CJH
ketika dan setelah berkunjung ke Baitullah.
Berebut Mabrur
Harapan terbesar bagi CJH adalah tercapainya
derajat mabrur. Apalagi Nabi Muhammad SAW menuturkan bahwa “Haji mabrur tak ada balasannya selain surga”
(HR Muslim). Agenda kemabruran mendorong CJH untuk melaksanakan serangkaian
amalan ibadah haji dengan penuh semangat dan keseriusan.
Segala aktivitas benar-benar diserahkan
secara total kepada Allah SWT. Di sinilah sebenarnya titik krusial dari ibadah
haji. Hal ini mengingat ritual haji dilakukan dalam satu waktu, sehingga
meniscayakan dikerjakan bersama-sama oleh umat Islam di seluruh dunia.
Pergumulan dengan umat Islam dari berbagai
etnis, suku, bangsa, negara dengan latar sosio-kultural, adat istiadat,
kebiasaan dan pemahaman tentang ibadah haji yang beragam tak dapat dielakkan.
Heterogenitas umat Islam dalam ibadah haji ini menghilangkan batas-batas
nasionalitas, teritorialitas dan etnisitas.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa ibadah haji
memberikan sebuah dimensi dengan cakupan manifestasi secara universal. Kekayaan budaya dan intelektual umat Islam menjadikan Islam
sebagai “barometer” kultural manusia. Atas dasar inilah Arnold J Toynbee (1974)
menyatakan bahwa Islam adalah yang paling tepat untuk disebut sebagai
kosmopolitanisme peradaban.
Di sisi lain, kekayaan ini
justru kerap menimbulkan ketegangan-ketegangan (tension) antarsesama jemaah. Orang seketika cenderung menjadi egois
dan tidak peduli dengan sesama saudaranya. Sikap-sikap berlebihan (irhab) akibat penyempitan pandangan
dengan membenarkan pemahamannya sendiri sering terjadi.
Dengan tujuan mencapai derajat mabrur,
ekspresi orang dalam beribadah haji justru kerap ditunjukkan dengan perilaku di
luar batas kewajaran kemanusiaan (ghuluw).
Setiap orang seperti berebut kemabruran dengan mengedepankan dorongan emosional
(tatharuf).
Semangat untuk mabrur ini sering mengabaikan
orang lain di sekelilingnya yang juga berkeinginan menjadi mabrur. Saat tawaf
mereka saling berdesakan dan tidak mau mengalah. Demi mencium Hajar Aswad,
mereka kerap terjebak dalam aksi saling sikut, mendorong, menginjak, bahkan
bertengkar dengan sesama saudara sendiri.
Tindakan serupa juga sering terjadi ketika
melontar jumrah. Inilah pemandangan ironi dari ibadah haji yang umum kita
saksikan. Sebuah semangat beribadah tanpa dibarengi dengan pemahaman dan
kesadaran dalam jangkauan yang lebih luas (keberagamaan universal) mudah
dibelokkan kepada hawa nafsu.
Meniru Nabi
Secara teknis, perbaikan organisasi, sistem,
fasilitas setiap tahun terus dilakukan untuk memberikan pelayanan terbaik.
Namun, permasalahan yang hampir serupa masih kerap terjadi. Di sinilah pemahaman tentang ibadah haji dan hakikat kemabruran
harus lebih diutamakan dalam “kurikulum” manasik haji.
Hal ini sebagaimana
dinyatakan Mustofa Bisri (2011) bahwa
latihan-latihan yang bersifat teknis-protokoler,
seperti thawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah sebaiknya dikurangi oleh para
penatar CJH (KBIH). Yang justru perlu dilakukan adalah memberi pemahaman CJH
(awam dan baru) tentang hakikat kemabruran, menjaga kesehatan, kehidupan di
Mekah, heterogenitas umat Islam, dan lain sebagainya.
Hal-hal yang bersifat akhlaqi (bukan semata fiqhi)
harus mendapat porsi lebih dalam penataran haji. Di sini, Nabi Muhammad SAW
adalah contoh yang paling baik. Persoalan kemabruran justru tidak berhubungan
dengan thawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah dan hal-hal teknis-protokoler lainnya.
Melainkan hal-hal yang berdimensi moral
kemanusiaan, seperti bergaul dengan sesama jemaah yang beragam, menebar salam
dan memberi pertolongan.
Banyak fakta sejarah dari Nabi ketika
melakukan ibadah haji yang perlu disimak kembali. Sikap tawadhu’, kemurahan, kelembutan, dan perilaku lain yang menunjukkan
penyerahan diri Nabi kepada Tuhan dan sikap toleran kepada sesama hamba-Nya.
Keteladanan Nabi adalah soft power yang menjadi pilar untuk membangun pandangan seseorang
ihwal makna ibadah haji dan hakikat kemabruran dengan menemukan titik temu
nilai-nilai universalitas Islam.
Rasa saling menghormati, menghargai
perbedaan, tenggang rasa, dan persahabatan yang kuat harus dijunjung tinggi.
Titik puncak kesempurnaan ibadah haji terletak pada kemampuan memahami ajaran
Islam secara komprehensif.
Kesalehan sosial harus menjadi
komposisi yang inheren dari semangat kepasrahan total kepada Allah SWT dalam
ibadah haji. Akhirnya, haji mabrur adalah
haji yang humanis sebagai wujud kecintaan kepada Allah SWT. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar