Selasa, 09 Oktober 2012

Haji yang Humanis


Haji yang Humanis
Joko Wahyono ;  Analis di Center for Study of Religion and Social-Cultural Diversity UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 8 Oktober 2012


Indonesia merupakan salah satu negara pengirim calon jemaah haji (CJH) paling banyak ke Mekah. Saking banyaknya, kuotanya selalu dibatasi. Mereka harus bersabar selama beberapa tahun untuk mendapat giliran melaksanakan rukun Islam kelima itu. Bahkan, wacana haji sekali seumur hidup terus dikampanyekan untuk mengantisipasi timbulnya kemadharatan, baik teknis maupun nonteknis dan multiplier effect kemanusiaan lainnya.

Menurut data Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), jumlah CJH tahun ini mencapai 211.000 orang, terdiri 194.000 (haji reguler) dan 17.000 (haji plus). Kini, secara bertahap CJH mulai diberangkatkan.

Tingginya antusiasme masyarakat yang ingin beribadah haji menunjukkan peningkatan kesadaran untuk mewujudkan kesempurnaan keislaman mereka. Di sisi lain, ini menggambarkan adanya pertumbuhan kesejahteraan masyarakat, meski sebagian besar yang hidup dalam kemiskinan juga tak dapat dilupakan.

Inilah mengapa perintah ibadah “berkunjung” ke Rumah Allah (Baitullah) dikhususkan bagi umat Islam yang mampu (istita’ah). Klausul “bagi yang mampu” ini menyiratkan bahwa ada pertimbangan yang bersifat kemanusiaan (humanities) dalam ibadah haji. Inilah bukti bahwa setiap ibadah bukan semata-mata untuk Allah, tetapi juga untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Secara lahiriah memang ibadah haji berbeda, baik dalam amalan, tata cara maupun kondisi geografis Kota Mekah dengan Indonesia.
Namun, secara substansial, dimensi humanis dalam ibadah haji dapat dikatakan setara dengan ibadah lain, seperti salat, puasa dan zakat. Dimensi kemanusiaan inilah yang masih kerap diabaikan oleh CJH ketika dan setelah berkunjung ke Baitullah.

Berebut Mabrur

Harapan terbesar bagi CJH adalah tercapainya derajat mabrur. Apalagi Nabi Muhammad SAW menuturkan bahwa “Haji mabrur tak ada balasannya selain surga” (HR Muslim). Agenda kemabruran mendorong CJH untuk melaksanakan serangkaian amalan ibadah haji dengan penuh semangat dan keseriusan.

Segala aktivitas benar-benar diserahkan secara total kepada Allah SWT. Di sinilah sebenarnya titik krusial dari ibadah haji. Hal ini mengingat ritual haji dilakukan dalam satu waktu, sehingga meniscayakan dikerjakan bersama-sama oleh umat Islam di seluruh dunia.

Pergumulan dengan umat Islam dari berbagai etnis, suku, bangsa, negara dengan latar sosio-kultural, adat istiadat, kebiasaan dan pemahaman tentang ibadah haji yang beragam tak dapat dielakkan. Heterogenitas umat Islam dalam ibadah haji ini menghilangkan batas-batas nasionalitas, teritorialitas dan etnisitas.

Kenyataan ini menggambarkan bahwa ibadah haji memberikan sebuah dimensi dengan cakupan manifestasi secara universal. Kekayaan budaya dan intelektual umat Islam menjadikan Islam sebagai “barometer” kultural manusia. Atas dasar inilah Arnold J Toynbee (1974) menyatakan bahwa Islam adalah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban.

Di sisi lain, kekayaan ini justru kerap menimbulkan ketegangan-ketegangan (tension) antarsesama jemaah. Orang seketika cenderung menjadi egois dan tidak peduli dengan sesama saudaranya. Sikap-sikap berlebihan (irhab) akibat penyempitan pandangan dengan membenarkan pemahamannya sendiri sering terjadi.

Dengan tujuan mencapai derajat mabrur, ekspresi orang dalam beribadah haji justru kerap ditunjukkan dengan perilaku di luar batas kewajaran kemanusiaan (ghuluw). Setiap orang seperti berebut kemabruran dengan mengedepankan dorongan emosional (tatharuf).

Semangat untuk mabrur ini sering mengabaikan orang lain di sekelilingnya yang juga berkeinginan menjadi mabrur. Saat tawaf mereka saling berdesakan dan tidak mau mengalah. Demi mencium Hajar Aswad, mereka kerap terjebak dalam aksi saling sikut, mendorong, menginjak, bahkan bertengkar dengan sesama saudara sendiri.

Tindakan serupa juga sering terjadi ketika melontar jumrah. Inilah pemandangan ironi dari ibadah haji yang umum kita saksikan. Sebuah semangat beribadah tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kesadaran dalam jangkauan yang lebih luas (keberagamaan universal) mudah dibelokkan kepada hawa nafsu.

Meniru Nabi

Secara teknis, perbaikan organisasi, sistem, fasilitas setiap tahun terus dilakukan untuk memberikan pelayanan terbaik. Namun, permasalahan yang hampir serupa masih kerap terjadi. Di sinilah pemahaman tentang ibadah haji dan hakikat kemabruran harus lebih diutamakan dalam “kurikulum” manasik haji.

Hal ini sebagaimana dinyatakan Mustofa Bisri (2011) bahwa latihan-latihan yang bersifat teknis-protokoler, seperti thawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah sebaiknya dikurangi oleh para penatar CJH (KBIH). Yang justru perlu dilakukan adalah memberi pemahaman CJH (awam dan baru) tentang hakikat kemabruran, menjaga kesehatan, kehidupan di Mekah, heterogenitas umat Islam, dan lain sebagainya.

Hal-hal yang bersifat akhlaqi (bukan semata fiqhi) harus mendapat porsi lebih dalam penataran haji. Di sini, Nabi Muhammad SAW adalah contoh yang paling baik. Persoalan kemabruran justru tidak berhubungan dengan thawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah dan hal-hal teknis-protokoler lainnya.

Melainkan hal-hal yang berdimensi moral kemanusiaan, seperti bergaul dengan sesama jemaah yang beragam, menebar salam dan memberi pertolongan.

Banyak fakta sejarah dari Nabi ketika melakukan ibadah haji yang perlu disimak kembali. Sikap tawadhu’, kemurahan, kelembutan, dan perilaku lain yang menunjukkan penyerahan diri Nabi kepada Tuhan dan sikap toleran kepada sesama hamba-Nya.

Keteladanan Nabi adalah soft power yang menjadi pilar untuk membangun pandangan seseorang ihwal makna ibadah haji dan hakikat kemabruran dengan menemukan titik temu nilai-nilai universalitas Islam.

Rasa saling menghormati, menghargai perbedaan, tenggang rasa, dan persahabatan yang kuat harus dijunjung tinggi. Titik puncak kesempurnaan ibadah haji terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam secara komprehensif.

Kesalehan sosial harus menjadi komposisi yang inheren dari semangat kepasrahan total kepada Allah SWT dalam ibadah haji. Akhirnya, haji mabrur adalah haji yang humanis sebagai wujud kecintaan kepada Allah SWT. Semoga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar