Menuju The
Next Seventh
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic
Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
8 Oktober 2012
McKinsey
baru-baru ini menerbitkan laporannya tentang Indonesia yang berjudul “The Archipelago Economy: Unleashing
Indonesia's Potential“. Dalam laporannya, McKinsey memprediksi, Indonesia
pada 2030 berpeluang menjadi negara terbesar ketujuh dunia (the seventh largest economy) setelah
Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil, Rusia, serta mengambil alih
posisi Jerman dan Inggris.
McKinsey
memperkirakan, Indonesia sebagai negara terbesar ketujuh di dunia pada 2030
(sekarang 16 besar) akan ditandai dengan hal-hal berikut: (i) terdapat 135 juta
orang sebagai kelompok masyarakat pengonsumsi (sekarang 45 juta orang), (ii)
sebesar 71 persen dari penduduk kota menghasilkan 86 persen PDB (sekarang 53 persen
penduduk perkotaan menghasilkan 75 persen PDB), (iii) dibutuhkan 113 juta
pekerja terampil (sekarang terdapat 55 juta pe kerja terampil), dan (iv)
sebesar 1,8 triliun dolar AS peluang pasar di jasa konsumen, pertanian,
perikanan, sumber daya, dan pen didikan (sekarang 0,5 triliun dolar AS).
Dalam
beberapa tahun terakhir, perekonomian Indonesia memang memiliki kinerja yang
baik dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sekitar enam persen per tahun. Relatif
tingginya pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh tingginya permintaan
domestik (domestic demand), baik dari
konsumsi maupun investasi.
Tentunya,
ini merupakan berita baik untuk menumbuhkan optimisme terhadap perekonomian
kita pada masa mendatang. Terlebih, World
Economic Forum (WEF) juga baru saja menerbitkan laporannya tentang
peringkat daya saing Indonesia yang kembali menurun dari posisi ke-46 (2011)
menjadi posisi ke-50. Dua publikasi dari lembaga internasional yang memiliki
reputasi ini tentunya menjadi petunjuk di mana posisi kita saat ini dan upaya
apa yang harus dilakukan agar menjadi the
next seventh pada 2030.
Berdasarkan
laporan McKinsey, sesungguhnya tidak mudah bagi Indonesia untuk menjadi the next seventh pada 2030. McKinsey
menyebut, setidaknya Indonesia harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi rata-rata
tujuh persen per tahun hingga 2030.
Nah, di sinilah tantangannya. Sebab, untuk
mencapai tingkat pertumbuhan rata-rata tujuh persen, Indonesia harus melakukan
perbaikan secara mendasar, baik yang menyangkut pembangunan fisik maupun
nonfisik.
Menurut McKinsey, terdapat tiga hal yang menjadi tantangan
terbesar bagi Indonesia untuk menuju the
next seventh. Pertama, Indonesia menghadapi masalah terkait dengan
produktivitas pekerja yang rendah. Saat ini, selama kurun waktu
2000-2010, pertumbuhan produktivitas pekerja kita rata-rata baru mencapai 2,9
persen per tahun. Indonesia harus mampu menaikkan pertumbuhan produktivitasnya
menjadi rata-rata 4,6 persen per tahun selama 2010-2030. Dengan kata lain,
Indonesia harus meningkatkan pertumbuhan produktivitas pekerja sebesar 60
persen dari posisi sekarang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh
persen per tahun.
Kedua, Indonesia harus mampu menyelesaikan problem terkait
dengan distribusi pendapatan yang kurang merata di antara wilayah Indonesia dan
meningkatnya kesenjangan perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah memang tumbuh pesat saat ini. Tidak
hanya kota-kota besar, beberapa kota kelas menengah juga mengalami pertumbuhan
secara signifikan. Namun demikian, Jakarta (Jabodetabek) masih tetap menjadi
penyumbang terbesar PDB nasional, sekitar seperlima hingga seperempat dari PDB
nasional. PDB per kapita juga relatif timpang antara penduduk perkotaan besar
dan perkotaan menengah serta kecil.
Ketiga, Indonesia harus menjamin ketersediaan infrastruktur dan
kesiapan sumber daya.
Ini penting mengingat pertumbuhan yang agresif pada kelas masyarakat (yang
konsumtif), tentunya harus “difasilitasi“ agar manfaat dari keberadaan mereka
tidak berhenti pada suatu regional atau sektor tertentu saja. Keberadaan kelas
menengah dengan tingkat daya beli yang relatif tinggi harus dimanfaatkan untuk
mendorong mesin pertumbuhan baru dan menciptakan pasar-pasar lainnya. Karena
itu, sarana infrastruktur harus mampu memfasilitasi mobilitas yang tinggi dari
masyarakat, khususnya kelas menengah.
Tentunya
tidak mudah untuk menjawab ketiga tantangan di atas. McKinsey
menyebut, Indonesia harus mampu mengatasi problem yang terkait dengan birokrasi
yang tidak efisien (excessive bureaucracy),
tingginya tingkat korupsi, keterbatasan akses permodalan, dan problem
infrastruktur (bottlenecks infrastructure).
Pertanyaannya, lalu apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai
permasalahan tersebut?
Sesungguhnya,
berbagai problem yang diungkap McKinsey bukan hal baru dan pemerintah pun
tentunya telah memiliki berbagai solusi untuk mengatasinya.
Pemerintah, misalnya, sudah pasti memahami kondisi infrastruktur kita yang masih kalah dibandingkan negara-negara sekitar. Pemerintah pun melalui dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20112025 juga telah menempatkan pembangunan infrastruktur dalam konteks membangun ekonomi yang interconnected sebagai prioritasnya.
Pemerintah, misalnya, sudah pasti memahami kondisi infrastruktur kita yang masih kalah dibandingkan negara-negara sekitar. Pemerintah pun melalui dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20112025 juga telah menempatkan pembangunan infrastruktur dalam konteks membangun ekonomi yang interconnected sebagai prioritasnya.
Hal
yang sama juga terkait dengan upaya penciptaan produktivitas. Pemerintah juga
memiliki masterplan untuk mendorong penciptaan inovasi dan nilai tambah dalam
desain pembangunan industri kita. Melalui MP3EI, kita telah memiliki desain
pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam yang
nantinya dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar karena didukung oleh
kebijakan hilirisasi dan inovasi.
Tentunya,
kebijakan jangka panjang tersebut perlu dijalankan secara konsisten. Dan,
kebijakan jangka pendek (tahunan, APBN) harus mencerminkan adanya urgensi ini.
Sayangnya, kebijakan jangka pendek kita (APBN, misalnya) belum
mencerminkan adanya urgensi tersebut. Untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur dan peningkatan produktivitas, tentu dibutuhkan dukungan anggaran
pemerintah yang besar. Sayangnya, pendulum APBN kita justru tidak berpihak dan
membiarkan alokasi anggaran tak produktif secara besar-besaran (seperti subsidi
BBM).
McKinsey juga menyoroti kebutuhan yang tinggi terkait dengan
ketersediaan pekerja terampil (skilled
workers). Untuk memenuhi
ini, tentunya dibutuhkan lembaga pendidikan yang mampu menciptakan keahlian
khusus agar terjadi link and match
dengan dunia usaha.
Sayangnya, berbagai lembaga pendidikan khusus (termasuk lembaga
pendidikan kedinasan), baik di bidang pertanian, kelautan, teknologi, inovasi,
keuangan negara, pemerintahan, maupun lainnya yang semasa Orde Baru
dikembangkan dalam rangka memenuhi link
and match ini, justru kurang mendapat tempat dan seolah dibiarkan mati.
Sementara itu, beberapa lembaga pendidikan yang sebenarnya khusus (spesialis)
justru “bertransformasi“ menjadi lembaga pendidikan yang bersifat umum
(generalis).
Kesimpulannya, untuk menjadi the
next seventh seperti diprediksikan McKinsey, sangat bergantung pada upaya
kita. Roadmap-nya telah ada. Dan, bukan mustahil Indonesia mampu menuju
ke sana karena potensinya memang ada. Namun, apakah kita akan mampu menuju ke
sana (the next seventh) atau tidak,
sejatinya dapat dilihat dari apa yang kita lakukan pada hari ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar