Etos Sosial
Haji
M Najibur Rohman ; Bekerja di IAIN Walisongo
|
KOMPAS,
05 Oktober 2012
Sebagai rukun Islam kelima, berhaji ke Tanah
Suci merupakan hasrat besar bagi setiap Muslim. Sejak lama orang Islam di
Nusantara selalu berbondong-bondong menuju jazirah tempat Islam disemaikan
pertama kali itu. Dalam pengamatan Martin van Bruinessen (1995), umat Islam di
Indonesia masuk dalam jajaran bangsa yang tinggi penghargaannya terhadap ibadah
haji. Wajar jika Bruinessen mencatatkan bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, dari seluruh umat Islam di dunia yang melaksanakan haji, 20 persen
di antaranya dari Indonesia.
Atmosfer untuk berhaji jauh dari kata redup
hingga sekarang. Banyak orang rela antre bertahun-tahun untuk diberangkatkan ke
sana. Mekkah sejak mula memang menjadi magnet yang menggetarkan karena di
tempat itulah Tuhan dirasakan berada dalam jarak yang paling dekat.
Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau Hamka
memilih Mekkah sebagai latar bagi kisah Di Bawah Lindungan Kabah. Berkisah
tentang percintaan antara tokoh Hamid dan Zainab, latar Mekkah ternyata membawa
nuansa tersendiri dalam mengeksplorasi kekuatan hati dan kepasrahan kepada
Tuhan yang energik, sekalipun kisah cinta ini sungguh dalam kemurungan.
Hamzah Fansuri lain lagi. Ia menemukan Mekkah
dalam perjalanannya mencari Tuhan. Mekkah adalah tempat yang patut disinggahi,
sekalipun penyair sufi yang kontroversial itu justru menemukan Tuhan dalam
dirinya sendiri: Hamzah Fansuri di dalam
Makkah/mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah/di Barus ke Qudus terlalu payah/akhirnya
dapat di dalam rumah.
Dengan banyak cara, pengalaman estetik
transendental dalam dunia kepenyairan jauh melampaui sebuah lokus tertentu.
Syair-syair yang ditulis oleh para sufi berkecenderungan mengandung
spiritualitas—yang semaksimal mungkin dieksplorasi—dengan meniadakan segala hal
yang profan. Alhasil, ritualitas dalam ibadah haji dianggap tidak memberikan
jaminan bahwa seseorang akan ”menemukan” Tuhan.
Justru ritualitas semata dalam beribadah jadi
elemen yang paling mengganggu dalam upaya menjalin kemesraan dengan Tuhan.
Paradigma semacam ini bukan berarti mengoposisikan antara ritualitas dan
spiritualitas. Dalam sajak ”Tahu-Tahu”
(1993) Gus Mus menuturkan: Isya
tahu-tahu/Subuh tahu-tahu/Lohor tahu-tahu/Asar tahu-tahu/Tahu-tahu/Maghrib!/
(Padahal salat Aku belum sempat).
Gus Mus tidak mengabaikan atau menolak
ritualitas. Ia hanya melakukan kritik terhadap pemaknaan yang sempit atas
rutinitas religius. Banyak orang kehilangan hakikat karena terjebak pada
profanitas dalam melaksanakan ritual ibadah. Karena itulah dibutuhkan
keseimbangan antara keduanya.
Berhaji, dengan demikian, meruwat elemen
lokus dalam rangka mencintai Tuhan. Ada unsur- unsur hukum Islam yang tidak
diabaikan—karena harus dipenuhi—tetapi bukan klimaks peribadatan, tetapi
berhaji menjadi media untuk benar-benar mendekatkan diri pada Tuhan (taqarrub ila Allah) dalam hakikat. Di
dalamnya terdapat totalitas, seperti halnya syair Chairil Anwar: Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh
seluruh.
Ritus Sosial
Keseimbangan ritualitas dan spiritualitas itu
dilecutkan untuk mendorong tujuan-tujuan haji yang pula terkandung dalam ibadah
lain. Fungsi ritus keagamaan selalu dikaitkan dengan upaya melampaui
personalitas yang egoistis karena Tuhan menggariskan sebuah dorongan bagi
manusia untuk dapat berguna bagi yang lain. Etos sosial ini, misalnya, pernah
muncul dalam sejarah perlawanan kolonialisme di bumi Nusantara. Spirit
nasionalisme yang mewabah pada abad ke-19 dan 20 adalah ”oleh-oleh” dari
generasi Muslim Indonesia yang berhaji karena di Mekkah mereka berdialektika
dengan pemikiran Islam dari wilayah lain. Pergolakan ini yang mendorong Snouck
C Hurgronje mempelajari Islam secara serius dan meneliti ritual haji ke Mekkah.
Etos sosial ini menjadi penting lantaran kesalehan
tak bersandar pada penghambaan atas ritus-ritus, tetapi berurat akar pada
kesediaan membuka pintu-pintu kebahagiaan dan pertolongan bagi sesama. Tokoh
Satadewa dalam Burung-Burung Manyar-nya
YB Mangunwijaya melantunkan ketulusan kasih dengan merawat tiga anak yatim
piatu, yang kedua orangtua mereka wafat dalam kecelakaan saat berangkat haji.
Kisah ini meletakkan kecintaan kepada Tuhan
dengan mengeliminasi egoisme dan menuntun diri manusia dengan kesadaran jiwanya
untuk menemukan sebuah hakikat. WS Rendra mengingatkan kita mengenai hal ini: Mengolah cinta kasih/harus
meninggalkan/pamrih tentang diri kita,/berarti,/mencari ning.
Begitulah, berhaji jadi pintu untuk ”bertemu”
dengan Tuhan sekaligus mengekspektasikan hadirnya etos sosial yang nyata. Sebagai
rukun Islam yang terakhir, haji didamba sebagai kawah keparipurnaan Muslim
mengabdi kepada Tuhan-nya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar