Sabtu, 20 Oktober 2012

Ekonomi Kerakyatan


Ekonomi Kerakyatan
R William Liddle ;  Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, AS
KOMPAS, 19 Oktober 2012



Kebijakan ekonomi apa yang paling mungkin memakmurkan rakyat banyak di abad ke-21?
Dan, bagaimana proses politiknya agar kebijakan itu terwujud, baik di negara maju, seperti Amerika, maupun yang sedang berkembang, seperti Indonesia?
Pertanyaan penting itu lama mengganggu ketenangan tidur saya, antara lain karena jawaban- nya jelas dan terbukti, tetapi di- tampik banyak orang di dua negeri kita. Kebijakan yang berhasil memakmurkan rakyat, terutama mengandalkan insentif pasar, te- tapi tak luput memanfaatkan negara selaku penyangga pasar dan senantiasa bersikap terbuka pada perdagangan internasional.
Di Amerika penolakan kebi- jakan itu berasal dari sayap kanan, dari para pemuja kebebasan sang individu. Di Indonesia, pembangkangan utama berasal dari kiri, dalam bentuk budaya populis yang mencurigai pasar dalam dan luar negeri. Selain itu, ada beda mencolok antara proses politik di dua negeri kita. Di Amerika, perdebatannya kian nyata dan seru. Di Indonesia, politisi, khususnya ketika berkampanye, cenderung menyembunyikan pendirian mereka yang sebenarnya.
Di Amerika, sejak 1930-an, tatkala Presiden Franklin Roosevelt bertakhta, semua pemerintah maklum bahwa dalam ekonomi modern, pasar tak boleh dibiar- kan bergerak bebas. Intervensi negara diperlukan. Alan Blinder, ekonom terkemuka Universitas Princeton, menulis di Wall Street Journal , ”konsensus Roosevelt” itu terdiri 3 unsur: jaringan penyelamatan sosial, kebijakan Keynesian untuk mempersingkat resesi, dan pajak progresif.
Jaringan penyelamatan sosial adalah program pemerintah untuk melindungi warga masyarakat yang rentan terhadap benca- na alam dan ekonomi. Dalam teo- ri Keynesian, diciptakan ekonom Inggris John Maynard Keynes (1883-1946), kebijakan moneter dan fiskal digunakan pemerintah untuk meningkatkan demand jika laju pertumbuhan turun.
Berbeda dengan teori laissez-faire, biarkan pada pasar, yang dominan sebelumnya, dalam teori Keynesian pemerintah diberi peran positif mengatur pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pajak progresif menagih persentase pendapatan lebih tinggi dari orang yang lebih mampu.
Konsensus Roosevelt itu kini terancam polarisasi partisan yang kian tajam menjelang Pemilihan Presiden 2012. Partai Demokrat, dipimpin petahana Presiden Barack Obama, sesuai Keynes ingin meningkatkan pembelanjaan negara di berbagai sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Semua prakarsa itu dihalangi mati-matian oleh Partai Republik, yang kini praktis dikuasai faksinya paling kanan, yang menamakan diri Tea Party, Partai Teh. Label itu mengingatkan kita pada Revolusi Amerika, ketika pejuang kemerdekaan menolak dengan kekerasan membayar pajak teh kepada raja Inggris.
Partai Teh baru bangkit awal 2009, tetapi kini mengontrol Fraksi Republik di House of Representatives, Dewan Perwakilan. Tahun lalu gara-gara ulah mereka, perusahaan pemeringkat terhormat, Standard & Poors, menurunkan peringkat kredit Pemerintah AS dari AAA menjadi AA+ untuk kali pertama dalam kehidupan bangsa. Tindakan seperti itu memprihatinkan banyak orang, termasuk saya.
Sejarah modern bangsa-bangsa Asia juga mengisyaratkan suatu ”konsensus Asia” yang berta- han lama tentang syarat pemba- ngunan ekonomi yang memakmurkan rakyat. Unsur-unsurnya, seperti halnya Amerika, adalah andalan utama pada pasar, intervensi negara di mana dan kapan diperlukan, dan keterbukaan pada perdagangan internasional.
Model pertama adalah Jepang, yang mulai bertumbuh pesat pada dasawarsa 1950-an. Tak lama kemudian Jepang diikuti sejumlah angsa terbang, termasuk Taiwan, Korea, Hongkong, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Indonesia. Dari akhir 1960-an sampai Krismon 1997 ekonomi Indonesia bertumbuh rata-rata hampir 8 persen per tahun. Alhasil, fondasi ekonomi modern telah diletakkan. Aneh bin ajaib, sejak tahun 1970-an pola ini diikuti Tiongkok dan India. Hasilnya gemilang.
Setelah Reformasi, hampir semua presiden Indonesia dalam praktiknya meneruskan kebijakan ekonomi berdasarkan konsen- sus Asia ini. (Mungkin terkecuali Abdurrahman Wahid, tetapi masa pemerintahannya terlalu sing- kat dan kacau untuk dinilai secara wajar.) Hasilnya, laju pertumbuhan membaik sedikit demi sedikit meski belum mencapai tingkat keberhasilan Orde Baru.
Sayang, selama ini belum ada calon presiden yang jujur berkampanye atas dasar kebijakan ini. Sebagian menghindar, takut dituding ”neoliberal” atau kaki tangan kapitalisme global, sementara sebagian bersaing untuk meyakinkan para pemilih bahwa hanya merekalah yang patut dipercayai selaku pejuang rakyat sejati. Hasilnya adalah sebuah politik yang penuh ketidakjujuran.
Mana lebih buruk: politisi Amerika yang lebih jujur, tetapi telah memicu perang ideologi atau politisi Indonesia yang suka mengelabui rakyat, tetapi akhirnya memilih kebijakan yang memajukan kepentingan bangsanya? Terus-terang dewasa ini keadaan negeri saya sendiri lebih memprihatinkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar