Ekonomi
Kerakyatan
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State
University, AS
|
KOMPAS,
19 Oktober 2012
Kebijakan ekonomi apa yang
paling mungkin memakmurkan rakyat banyak di abad ke-21?
Dan, bagaimana proses
politiknya agar kebijakan itu terwujud, baik di negara maju, seperti Amerika,
maupun yang sedang berkembang, seperti Indonesia?
Pertanyaan penting itu
lama mengganggu ketenangan tidur saya, antara lain karena jawaban- nya jelas
dan terbukti, tetapi di- tampik banyak orang di dua negeri kita. Kebijakan
yang berhasil memakmurkan rakyat, terutama mengandalkan insentif pasar, te-
tapi tak luput memanfaatkan negara selaku penyangga pasar dan senantiasa
bersikap terbuka pada perdagangan internasional.
Di Amerika penolakan kebi- jakan itu berasal dari sayap kanan,
dari para pemuja kebebasan sang individu. Di Indonesia, pembangkangan utama
berasal dari kiri, dalam bentuk budaya populis yang mencurigai pasar dalam
dan luar negeri. Selain itu, ada beda mencolok antara proses politik di dua
negeri kita. Di Amerika, perdebatannya kian nyata dan seru. Di Indonesia,
politisi, khususnya ketika berkampanye, cenderung menyembunyikan pendirian
mereka yang sebenarnya.
Di Amerika, sejak 1930-an,
tatkala Presiden Franklin Roosevelt bertakhta, semua pemerintah maklum bahwa
dalam ekonomi modern, pasar tak boleh dibiar- kan bergerak bebas. Intervensi
negara diperlukan. Alan Blinder, ekonom terkemuka Universitas Princeton,
menulis di Wall Street Journal , ”konsensus Roosevelt” itu terdiri 3 unsur:
jaringan penyelamatan sosial, kebijakan Keynesian untuk mempersingkat resesi,
dan pajak progresif.
Jaringan penyelamatan
sosial adalah program pemerintah untuk melindungi warga masyarakat yang rentan
terhadap benca- na alam dan ekonomi. Dalam teo- ri Keynesian, diciptakan
ekonom Inggris John Maynard Keynes (1883-1946), kebijakan moneter dan fiskal
digunakan pemerintah untuk meningkatkan demand jika laju pertumbuhan turun.
Berbeda dengan teori laissez-faire,
biarkan pada pasar, yang dominan sebelumnya, dalam teori Keynesian pemerintah
diberi peran positif mengatur pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pajak
progresif menagih persentase pendapatan lebih tinggi dari orang yang lebih
mampu.
Konsensus Roosevelt itu
kini terancam polarisasi partisan yang kian tajam menjelang Pemilihan
Presiden 2012. Partai Demokrat, dipimpin petahana Presiden Barack Obama,
sesuai Keynes ingin meningkatkan pembelanjaan negara di berbagai sektor untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Semua prakarsa itu
dihalangi mati-matian oleh Partai Republik, yang kini praktis dikuasai
faksinya paling kanan, yang menamakan diri Tea Party, Partai Teh. Label itu
mengingatkan kita pada Revolusi Amerika, ketika pejuang kemerdekaan menolak
dengan kekerasan membayar pajak teh kepada raja Inggris.
Partai Teh baru bangkit
awal 2009, tetapi kini mengontrol Fraksi Republik di House of
Representatives, Dewan Perwakilan. Tahun lalu gara-gara ulah mereka,
perusahaan pemeringkat terhormat, Standard & Poors, menurunkan peringkat
kredit Pemerintah AS dari AAA menjadi AA+ untuk kali pertama dalam kehidupan
bangsa. Tindakan seperti itu memprihatinkan banyak orang, termasuk saya.
Sejarah modern
bangsa-bangsa Asia juga mengisyaratkan suatu ”konsensus Asia” yang berta- han
lama tentang syarat pemba- ngunan ekonomi yang memakmurkan rakyat.
Unsur-unsurnya, seperti halnya Amerika, adalah andalan utama pada pasar,
intervensi negara di mana dan kapan diperlukan, dan keterbukaan pada
perdagangan internasional.
Model pertama adalah
Jepang, yang mulai bertumbuh pesat pada dasawarsa 1950-an. Tak lama kemudian
Jepang diikuti sejumlah angsa terbang, termasuk Taiwan, Korea, Hongkong,
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Indonesia. Dari akhir 1960-an sampai
Krismon 1997 ekonomi Indonesia bertumbuh rata-rata hampir 8 persen per tahun.
Alhasil, fondasi ekonomi modern telah diletakkan. Aneh bin ajaib, sejak tahun
1970-an pola ini diikuti Tiongkok dan India. Hasilnya gemilang.
Setelah Reformasi, hampir
semua presiden Indonesia dalam praktiknya meneruskan kebijakan ekonomi
berdasarkan konsen- sus Asia ini. (Mungkin terkecuali Abdurrahman Wahid,
tetapi masa pemerintahannya terlalu sing- kat dan kacau untuk dinilai secara
wajar.) Hasilnya, laju pertumbuhan membaik sedikit demi sedikit meski belum
mencapai tingkat keberhasilan Orde Baru.
Sayang, selama ini belum
ada calon presiden yang jujur berkampanye atas dasar kebijakan ini. Sebagian
menghindar, takut dituding ”neoliberal” atau kaki tangan kapitalisme global,
sementara sebagian bersaing untuk meyakinkan para pemilih bahwa hanya
merekalah yang patut dipercayai selaku pejuang rakyat sejati. Hasilnya adalah
sebuah politik yang penuh ketidakjujuran.
Mana lebih buruk: politisi
Amerika yang lebih jujur, tetapi telah memicu perang ideologi atau politisi
Indonesia yang suka mengelabui rakyat, tetapi akhirnya memilih kebijakan yang
memajukan kepentingan bangsanya? Terus-terang dewasa ini keadaan negeri saya
sendiri lebih memprihatinkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar