Koruptokrasi
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS,
19 Oktober 2012
Aroma perseteruan antara
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri—terkait konflik di balik kasus dugaan
korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara
RI, yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo—menebar ironi, anomali dan
kontradiksi dalam penegakan hukum. Aparatus hukum sebagai pilar dalam perang
melawan korupsi justru ”berperang” dengan aparatus hukum lain untuk
melindungi anggotanya yang korup.
Ada kesan publik bahwa di
tubuh Polri—yang anggotanya terlibat kasus korupsi—tumbuh semacam l’esprit de
corps dalam membela institusi, yang eksistensinya terancam kekuatan luar.
Secara terstruktur dan didukung otoritas kekuasaan, mereka melakukan aneka
bentuk pertahanan diri, melalui tindakan preemtif penangkapan, penghalangan,
dan penyerbuan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengancam, khususnya
unsur-unsur KPK. Ketika otoritas dan l’esprit de corps digunakan dalam
membela anggota yang terlibat kejahatan, di sana kekuasaan bersimbiosis
dengan kejahatan. Kekuasaan menjelma kekuasaan korup, yang ironisnya justru
menutupi tindakan korupsi sendiri melalui topeng otoritas kekuasaan.
Begitulah kesan publik terhadap institusi Polri, yang tampak ingin menutupi
tindak kejahatan korupsi di dalam tubuhnya, dengan menghancurkan setiap yang
berusaha membukanya.
Perang Otoritas
Perseteruan di antara dua
lembaga penegak hukum—KPK dan Polri—merepresentasikan konflik di antara dua
otoritas dalam mencari kebenaran, bukan tentang kejahatan pihak ketiga
sebagai subyek hukum, melainkan kejahatan di dalam tubuh institusi itu
sendiri, yaitu Polri. KPK yang ingin menegakkan hukum di tubuh Polri
mendapatkan perlawanan karena dianggap telah melanggar otoritas dan
kedaulatan institusi negara itu.
Perseteruan ini
menciptakan semacam keadaan darurat (state of exception), yaitu kondisi
ketakpastian karena ketakseimbangan antara hukum publik (public law) dan
fakta politik (political fact). Ketakpastian, ambiguitas, dan sifat
mengambang tercipta karena hancurnya batas-batas antara ”yang hukum” (the
legal) dan ”yang politik” (the political): antara ”aparat” dan ”penjahat”,
atau ”penegak hukum” dan ”obyek hukum” (Agamben, 2005). Keadaan darurat juga
akibat tumpang tindih di antara institusi-institusi penegak hukum, khususnya
Polri dan KPK. Meskipun secara legal formal dibenarkan, secara kultural
tumpang tindih ini dapat menciptakan fragmentasi sosial dan kultural pada
tingkat budaya institusi. Institusi yang memandang dirinya sebagai kelompok
atau korps dalam kondisi darurat bisa berhadap-hadapan dengan institusi lain,
bukan dalam relasi kemitraan atau lawan (adversary), melainkan musuh (enemy).
Kesan permusuhan antara
Polri dan KPK yang telanjur menjadi opini publik, tak lain karena gerak-gerik
keduanya—terutama Polri—yang memperlihatkan gestur permusuhan: pemata-mataan,
penyerangan, penyerbuan, dan penangkapan paksa. Polri terkesan membangun
dirinya sebagai Umwelt yang terancam, yaitu ruang di mana identitas dan
sentimen kelompok dibangun, yang ketika ada ancaman dari luar, mengerahkan
kekuatan pertahanan diri (Young, 1999).
Kasus korupsi simulator
sebagai ”yang legal” berubah menjadi ”yang politik”, ketika di balik kasus
itu dibangun relasi ”kami” (we) yang dipertentangkan dengan yang ”bukan kami”
(other). Kondisi ini menciptakan relasi bermuatan konflik ”kami”/”mereka” di
antara institusi-institusi penegak hukum sendiri. Relasi kemitraan berubah
jadi relasi kami/mereka; yang akhirnya menjadi relasi kawan/musuh. Relasi
konflik antara Polri dan KPK sudah telanjur menjadi ”yang politik” (Schmitt,
1985). Ketika relasi politik kawan/musuh menjadi konsumsi publik—melalui
penayangan masif dan intensif di media elektronik—relasi ini menciptakan
fragmentasi sosial lebih besar. Relasi ”kami”/”mereka” yang melibatkan korps
Polri dan KPK kini meluas menjadi relasi Polri dan rakyat, yang secara masif
mengidentifikasikan dirinya dengan KPK. Bila ini tak bisa dikendalikan, Polri
akan berhadap-hadapan dengan rakyat sebagai people power, yang menjadikan KPK
simbol keadilan dan Polri sebagai ”musuh keadilan”.
”Korruptstaat”
Sebagai ”aparatus” negara,
KPK dan Polri memiliki peran sama, yaitu mengarahkan, mendeterminasi,
memodelkan, mengendalikan atau menjaga gestur, perilaku, opini atau wacana,
agar bersih dari korupsi. Aparatus-aparatus negara pemberantas
korupsi—kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan KPK—berperan ”mendisiplinkan”
manusia sebagai subyek hukum, baik secara eksplisit maupun implisit, langsung
atau tak langsung, konkret atau abstrak, untuk mencegah, menghambat dan
menghilangkan kejahatan korupsi. (Foucault, 1986). Akan tetapi, ketika tindak
kejahatan korupsi dilakukan oleh oknum di dalam sebuah institusi penegak
hukum—baik secara individual maupun kolektif—yang tercipta adalah aparatus
dengan sifat-sifat ironi, anomali dan kontradiksi diri: aparat pemberantas
korupsi yang korup, lembaga hukum yang melanggar hukum. Aparatus yang
berfungsi memberantas korupsi justru ”memelihara” korupsi dan mental korup di
dalam dirinya sendiri—contradictio in terminis.
Institusi Polri, yang
merasa ada ancaman terhadap Umwelt mereka, melakukan pembelaan habis-habisan
atas tindakan anggotanya: penyerangan, penyerbuan, dan penangkapan paksa,
dengan mengerahkan segala kekuatan, termasuk kekuatan bahasa. Pernyataan
”polisi bukan robot” atau ”polisi bukan Robocop” dari juru bicara kepolisian
di media menunjukkan kondisi ”panik” di dalam tubuh lembaga ini sebagai
bentuk excuse terhadap krisis di dalam tubuhnya.
Ketika Polri—sebagai
institusi yang memiliki otoritas dalam pemberantasan korupsi, justru terlibat
dalam pembelaan terhadap anggotanya yang korup, ini berarti otoritas
digunakan secara kontradiktif: membela koruptor melalui institusi penegak
hukum. Di sini, Rechstaat sebagai prinsip politik di mana kekuasaan rakyat
didelegasikan pada kekuatan hukum, kini menjelma menjadi Korruptstaat, di mana
kekuatan hukum diambil alih kekuatan para koruptor karena para penegak hukum
itu sendiri adalah para koruptor, yang berlindung di balik l’esprit de corps.
Di dalam sebuah negara
yang dibangun di atas fondasi Korruptstaat, prinsip demokrasi juga dijalankan
secara ironis dan kontradiktif. Prinsip demokrasi—di mana kekuasaan berada di
tangan rakyat—kini menjelma jadi ”koruptokrasi” (corruptocracy), di mana
kekuasaan politik dipegang oleh para pejabat, politikus, dan aparat korup,
dengan rakyat sebagai korban. Ironisnya, para pejabat korup ini berlindung di
balik otoritas institusional dan l’esprit de corps agar tak tersentuh hukum.
Di dalam Korruptstaat
inilah relasi korupsi direproduksi dalam bentuk reproduksi relasi korupsi.
Inilah penggunaan otoritas institusional dan l’esprit de corps dalam menyembunyikan dan sekaligus
melanggengkan kejahatan korupsi di tubuh institusi. Reproduksi relasi korupsi
merepetisi dan memelihara relasi sosial korupsi dan mental korup di dalam
institusi, baik di dalam lembaga negara dan partai. Akibatnya, korupsi
diwariskan dari satu angkatan ke angkatan lainnya di dalam institusi. Dalam
kondisi negara dikendalikan ideologi corruptocracy,
perang melawan korupsi hanya sebuah utopia karena aparat korup, justru
dilindungi oleh institusi atas dasar l’esprit
de corps. Dengan demikian, KPK, dalam tugasnya memberantas korupsi, akan
berhadap-hadapan dengan aparatus-aparatus penegak hukum itu sendiri, yang
menimbulkan konflik otoritas. Sementara para koruptor hidup nyaman dan mewah
dengan menumpang hidup di dalam institusi mereka sebagai parasit. Parasit
adalah model demokrasi kita—the
democracy of parasites. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar