Sabtu, 20 Oktober 2012

Koruptokrasi


Koruptokrasi
Yasraf Amir Piliang ;  Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS, 19 Oktober 2012



Aroma perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri—terkait konflik di balik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara RI, yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo—menebar ironi, anomali dan kontradiksi dalam penegakan hukum. Aparatus hukum sebagai pilar dalam perang melawan korupsi justru ”berperang” dengan aparatus hukum lain untuk melindungi anggotanya yang korup.
Ada kesan publik bahwa di tubuh Polri—yang anggotanya terlibat kasus korupsi—tumbuh semacam l’esprit de corps dalam membela institusi, yang eksistensinya terancam kekuatan luar. Secara terstruktur dan didukung otoritas kekuasaan, mereka melakukan aneka bentuk pertahanan diri, melalui tindakan preemtif penangkapan, penghalangan, dan penyerbuan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengancam, khususnya unsur-unsur KPK. Ketika otoritas dan l’esprit de corps digunakan dalam membela anggota yang terlibat kejahatan, di sana kekuasaan bersimbiosis dengan kejahatan. Kekuasaan menjelma kekuasaan korup, yang ironisnya justru menutupi tindakan korupsi sendiri melalui topeng otoritas kekuasaan. Begitulah kesan publik terhadap institusi Polri, yang tampak ingin menutupi tindak kejahatan korupsi di dalam tubuhnya, dengan menghancurkan setiap yang berusaha membukanya.
Perang Otoritas
Perseteruan di antara dua lembaga penegak hukum—KPK dan Polri—merepresentasikan konflik di antara dua otoritas dalam mencari kebenaran, bukan tentang kejahatan pihak ketiga sebagai subyek hukum, melainkan kejahatan di dalam tubuh institusi itu sendiri, yaitu Polri. KPK yang ingin menegakkan hukum di tubuh Polri mendapatkan perlawanan karena dianggap telah melanggar otoritas dan kedaulatan institusi negara itu.
Perseteruan ini menciptakan semacam keadaan darurat (state of exception), yaitu kondisi ketakpastian karena ketakseimbangan antara hukum publik (public law) dan fakta politik (political fact). Ketakpastian, ambiguitas, dan sifat mengambang tercipta karena hancurnya batas-batas antara ”yang hukum” (the legal) dan ”yang politik” (the political): antara ”aparat” dan ”penjahat”, atau ”penegak hukum” dan ”obyek hukum” (Agamben, 2005). Keadaan darurat juga akibat tumpang tindih di antara institusi-institusi penegak hukum, khususnya Polri dan KPK. Meskipun secara legal formal dibenarkan, secara kultural tumpang tindih ini dapat menciptakan fragmentasi sosial dan kultural pada tingkat budaya institusi. Institusi yang memandang dirinya sebagai kelompok atau korps dalam kondisi darurat bisa berhadap-hadapan dengan institusi lain, bukan dalam relasi kemitraan atau lawan (adversary), melainkan musuh (enemy).
Kesan permusuhan antara Polri dan KPK yang telanjur menjadi opini publik, tak lain karena gerak-gerik keduanya—terutama Polri—yang memperlihatkan gestur permusuhan: pemata-mataan, penyerangan, penyerbuan, dan penangkapan paksa. Polri terkesan membangun dirinya sebagai Umwelt yang terancam, yaitu ruang di mana identitas dan sentimen kelompok dibangun, yang ketika ada ancaman dari luar, mengerahkan kekuatan pertahanan diri (Young, 1999).
Kasus korupsi simulator sebagai ”yang legal” berubah menjadi ”yang politik”, ketika di balik kasus itu dibangun relasi ”kami” (we) yang dipertentangkan dengan yang ”bukan kami” (other). Kondisi ini menciptakan relasi bermuatan konflik ”kami”/”mereka” di antara institusi-institusi penegak hukum sendiri. Relasi kemitraan berubah jadi relasi kami/mereka; yang akhirnya menjadi relasi kawan/musuh. Relasi konflik antara Polri dan KPK sudah telanjur menjadi ”yang politik” (Schmitt, 1985). Ketika relasi politik kawan/musuh menjadi konsumsi publik—melalui penayangan masif dan intensif di media elektronik—relasi ini menciptakan fragmentasi sosial lebih besar. Relasi ”kami”/”mereka” yang melibatkan korps Polri dan KPK kini meluas menjadi relasi Polri dan rakyat, yang secara masif mengidentifikasikan dirinya dengan KPK. Bila ini tak bisa dikendalikan, Polri akan berhadap-hadapan dengan rakyat sebagai people power, yang menjadikan KPK simbol keadilan dan Polri sebagai ”musuh keadilan”.
”Korruptstaat”
Sebagai ”aparatus” negara, KPK dan Polri memiliki peran sama, yaitu mengarahkan, mendeterminasi, memodelkan, mengendalikan atau menjaga gestur, perilaku, opini atau wacana, agar bersih dari korupsi. Aparatus-aparatus negara pemberantas korupsi—kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan KPK—berperan ”mendisiplinkan” manusia sebagai subyek hukum, baik secara eksplisit maupun implisit, langsung atau tak langsung, konkret atau abstrak, untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kejahatan korupsi. (Foucault, 1986). Akan tetapi, ketika tindak kejahatan korupsi dilakukan oleh oknum di dalam sebuah institusi penegak hukum—baik secara individual maupun kolektif—yang tercipta adalah aparatus dengan sifat-sifat ironi, anomali dan kontradiksi diri: aparat pemberantas korupsi yang korup, lembaga hukum yang melanggar hukum. Aparatus yang berfungsi memberantas korupsi justru ”memelihara” korupsi dan mental korup di dalam dirinya sendiri—contradictio in terminis.
Institusi Polri, yang merasa ada ancaman terhadap Umwelt mereka, melakukan pembelaan habis-habisan atas tindakan anggotanya: penyerangan, penyerbuan, dan penangkapan paksa, dengan mengerahkan segala kekuatan, termasuk kekuatan bahasa. Pernyataan ”polisi bukan robot” atau ”polisi bukan Robocop” dari juru bicara kepolisian di media menunjukkan kondisi ”panik” di dalam tubuh lembaga ini sebagai bentuk excuse terhadap krisis di dalam tubuhnya.
Ketika Polri—sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam pemberantasan korupsi, justru terlibat dalam pembelaan terhadap anggotanya yang korup, ini berarti otoritas digunakan secara kontradiktif: membela koruptor melalui institusi penegak hukum. Di sini, Rechstaat sebagai prinsip politik di mana kekuasaan rakyat didelegasikan pada kekuatan hukum, kini menjelma menjadi Korruptstaat, di mana kekuatan hukum diambil alih kekuatan para koruptor karena para penegak hukum itu sendiri adalah para koruptor, yang berlindung di balik l’esprit de corps.
Di dalam sebuah negara yang dibangun di atas fondasi Korruptstaat, prinsip demokrasi juga dijalankan secara ironis dan kontradiktif. Prinsip demokrasi—di mana kekuasaan berada di tangan rakyat—kini menjelma jadi ”koruptokrasi” (corruptocracy), di mana kekuasaan politik dipegang oleh para pejabat, politikus, dan aparat korup, dengan rakyat sebagai korban. Ironisnya, para pejabat korup ini berlindung di balik otoritas institusional dan l’esprit de corps agar tak tersentuh hukum.
Di dalam Korruptstaat inilah relasi korupsi direproduksi dalam bentuk reproduksi relasi korupsi. Inilah penggunaan otoritas institusional dan l’esprit de corps dalam menyembunyikan dan sekaligus melanggengkan kejahatan korupsi di tubuh institusi. Reproduksi relasi korupsi merepetisi dan memelihara relasi sosial korupsi dan mental korup di dalam institusi, baik di dalam lembaga negara dan partai. Akibatnya, korupsi diwariskan dari satu angkatan ke angkatan lainnya di dalam institusi. Dalam kondisi negara dikendalikan ideologi corruptocracy, perang melawan korupsi hanya sebuah utopia karena aparat korup, justru dilindungi oleh institusi atas dasar l’esprit de corps. Dengan demikian, KPK, dalam tugasnya memberantas korupsi, akan berhadap-hadapan dengan aparatus-aparatus penegak hukum itu sendiri, yang menimbulkan konflik otoritas. Sementara para koruptor hidup nyaman dan mewah dengan menumpang hidup di dalam institusi mereka sebagai parasit. Parasit adalah model demokrasi kita—the democracy of parasites. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar