Dominasi
Ekonomi Bawah Tanah
Purbayu Budi Santosa ; Guru
Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
|
SUARA
MERDEKA, 8 Oktober 2012
"Perlu perbaikan secara menyeluruh untuk
atasi kesenjangan ekonomi, termasuk dominasi ekonomi bawah tanah"
KEBERADAAN ekonomi bawah tanah (underground economy) sebagai fenomena
yang sangat jarang disinggung dalam memperbincangkan kinerja ekonomi suatu
negara, sebenarnya merupakan pertanda besarnya pertumbuhan ekonomi yang belum
tentu dirasakan oleh rakyat banyak. Para pakar bahkan memperkirakan kegiatan
ekonomi bawah tanah di Indonesia berkisar 30-40% dari PDB.
Makin besarnya kegiatan ekonomi bawah tanah,
lebih tepat dihipotesiskan sebagai korban pertumbuhan ekonomi yang tidak
diiringi dengan penerapan hukum yang berkeadilan. Kesulitan penerapan itu bisa
jadi karena regulasi di Indonesia diatur oleh pihak asing (Bradley R Simpson, Economist with Guns) atau pengaplikasian
yang masih tebang pilih.
Sebenarnya, makin baik kualitas institusi
menjalankan peraturan akan makin kecil angka ekonomi bawah tanah. Dengan
demikian, bisa disimpulkan makin maju posisi suatu negara, secara otomatis
aktivitas ekonomi bawah tanah makin mengecil. Biasanya kegiatan ekonomi bawah
tanah digolongkan dalam empat kategori. Pertama; ekonomi ilegal, yaitu kegiatan
penyediaan jasa, seperti prostitusi, perjudian, atau perdagangan narkoba, yang
semuanya jelas-jelas melanggar hukum.
Kedua; pendapatan yang tidak dilaporkan,
dengan tujuan menghindari tanggung jawab membayar pajak/ retribusi. Ketiga;
pendapatan yang tidak tercatat, akibat perbedaaan antara jumlah pendapatan/pengeluaran
yang tercatat dalam sistem akuntansi dan nilai pendapatan/pengeluaran yang
sesungguhnya. Keempat; sektor informal, yaitu pendapatan yang diperoleh dari
agen ekonomi secara informal, yang mungkin tidak memiliki izin usaha,
perjanjian kerja, atau kredit keuangan.
Keberadaaan ekonomi bawah tanah yang lepas
dalam perhitungan pendapatan nasional, makin membuat keberadaaan angka-angka
makro ekonomi Indonesia mengalami bias. Kondisi itu membuat ketidakrealistisan
perhitungan angka-angka statistik, yang oleh Eriyatno (2011) disebut gejala counter knowledge, yaitu apa yang
dilaporkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Dari ekonomi bawah tanah, kita bisa melihat
beberapa hal. Kegiatan pertama; prostitusi, perjudian, penyelundupan,
perdagangan narkoba dan sebagainya yang mengalami kenaikan cukup pesat, karena
korban dari orientasi pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai aspek pemerataan
dan kurang kuatnya penegakan hukum.
Kegiatan kedua; pelaporan pajak yang terlalu
rendah. Kasus Gayus Tambunan sungguh mencoreng institusi perpajakan. Slogan
pajak yang intinya ’’tidak mau bayar pajak, apa kata dunia’’ bisa mengalami
peredupan akibat ulah para pemimpin yang gemar berburu rente (rent seeking), baik untuk kepentingan
pribadi maupun golongan.
Kegiatan ketiga; aktivitas proyek yang secara
akuntasi tidak dilaporkan sebagaimana mestinya. Modus ini mengakibatkan hasil
sebuah proyek cepat rusak. Masih ada pemeo habiskan anggaran supaya tidak
tersisa sehingga prinsip efisiensi dan efektivitas tidak berjalan. Tidak
berjalannya dua prinsip penting dalam ilmu ekonomi itu juga dipicu oleh pelanggaran
moral secara sistemik.
Berbasis
Kerakyatan
Kegiatan keempat; membesarnya kegiatan sektor
informal, khususnya di perkotaaan. Keadaaan ini akibat kegagalan
pembangunan pertanian dan pedesaan sehingga ada migrasi ke kota secara masif.
Belum lagi, keberadaan pasar modern, seperti minimarket yang sampai ke
desa-desa, makin membuat orang desa kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Model pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan
kemerebakan kegiatan ekonomi bawah tanah tak bisa dibiarkan. Prof David T Eliwood
seperti diberitakan harian ini menyatakan model pertumbuhan ekonomi disebut
kejahatan ekonomi karena menciptakan kesenjangan antara pemilik modal besar dan
modal kecil. Membesarnya ekonomi bawah tanah juga makin membuat kesalahan angka
statistik, dan tentunya mengakibatkan salah memprediksi atau menelurkan
kebijakan.
Perlu perbaikan secara menyeluruh guna
mengatasi kesenjangan ekonomi, termasuk dominasi ekonomi bawah tanah. Sistem
ekonomi berbasis kerakyatan sangatlah penting. Pemerintah seharusnya mengangkat
kekuatan ekonomi lokal supaya berstandar internasional, seperti India yang
memiliki banyak perusahaan lokal yang bisa bersaing di pasar global.
Harapannya adalah tenaga kerja domestik makin
mendominasi sehingga mengurangi perkembangan sektor informal atau ilegal.
Penting pula melakukan penguatan hukum. Kita bisa mencontoh keberhasilan
berbagai negara, terutama China, yang bisa memberantas korupsi melalui
penegakan hukum secara berkeadilan.
Kita berharap ramalan ekonomi mendatang yang
penuh optimisme benar-benar terwujud. Pertumbuhan ekonomi sudah
semestinya diikuti kesejahteraan masyarakat, dengan salah satu ciri aktivitas
ekonomi bawah tanah menurun drastis. Kunci keberhasilannya memang perlu
pendekatan, kendati juga butuh keteladanan para pemimpin dalam menyejahterakan
rakyat, tidak sekadar memaparkan angka-angka yang diragukan kebenarannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar