Merajut Sendi
Keluarga
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
|
SUARA
KARYA, 8 Oktober 2012
Kekuatan negara berakar pada elemen keluarga yang notabene menjadi
komunitas mikro dalam masyarakat berbangsa. Keluarga yang kokoh dan harmonis
tersimpan kekuatan membangun bagi bangsanya. Sebaliknya keluarga yang
tercerai-berai menjadi cermin lemahnya fondasi negara.
Salvicion dan Celis (1998) mengatakan, keluarga sebagai
persenyawaan dua atau lebih karakter yang tergabung karena hubungan darah,
perkawinan atau pengangkatan, berinteraksi dalam peran satu sama lain untuk
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Seberapa kokoh kualitas
keluarga, seperti itulah gambaran kebudayaan di masa-masa mendatang.
Fakta tingginya angka perceraian yang terjadi di Indonesia,
akhir-akhir ini menjadi teror bagi komunitas keluarga. Ini tidak bisa
dilepaskan dari lemahnya peran negara dalam mengontrol mekanisme pemberdayaan keluarga.
Dari tahun ke tahun, perceraian meroket tak terbendung. Tidak melulu didominasi
pasangan muda, mahligai rumah tangga yang telah dibangun lebih dari setengah
abad bisa hancur dihantam badai kecurigaan, ekonomi, dan perselingkuhan.
Bangsa lain telah melaju cepat dan berfikir serius dalam
mengembangkan teknologi mutakhir, namun bangsa kita masih sibuk berkutat pada
problem kerumahtanggaan. Alih-alih menggapai tujuan luhur bernegara sebagaimana
yang dicita-citakan, tujuan perkawinan untuk membangun keluarga yang kekal dan
bahagia saja, tidak tercapai.
Perceraian
Secara historis angka perceraian di Indonesia mengalami fluktuasi.
Penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los
Angeles,AS mengemukakan, pada 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, tergolong paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100
perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian.
Tetapi, tahun 1970 hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia
dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan
dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali
secara signifikan sejak 2005 hingga 2010. Badan Urusan Peradilan Agama
(Badilag) MA mencatat selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian
hingga 70 persen. Pada 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.
Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286
perkara.
Tingginya frekuensi cerai disebabkan hal-hal tertentu.
Pertama, orientasi perkawinan tidak realistis. Harapan yang
melampaui kenyataan, semisal menuntut pasangan berpenampilan serba sempurna
tanpa mengukur diri, berimplikasi pada kekecewaan bagi salah satu atau
keduanya. Orientasi yang melangit ini seharusnya sejak awal didiskusikan
bersama agar tumbuh rasa saling pengertian dalam menerima kekurangan
masing-masing.
Kedua, kehilangan ketetapan hati untuk membangun keluarga secara
langgeng. Rasa ini muncul atas menumpuknya persoalan keluarga yang terus
menerus dibiarkan tanpa pemecahan. Sehingga, pada puncaknya idealisme
perkawinan lunOleh Achmad Fauzitur dan perceraian menjadi jalan yang harus
ditempuh. Banyak kasus, pasangan suami-isteri kehilangan ketetapan hati untuk
membina kembali rumah tangga. Mereka berkeras untuk bercerai dengan mengabaikan
masa depan dan dampak psikologis anak. Proses litigasi telah dijadikan
satu-satunya jalan pintas dengan menafikan jalur non-litigasi, seperti Badan
Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4).
Untuk mengeliminir frekuensi perceraian mensyaratkan beberapa hal.
Pertama, perlu dilakukan pemberdayaan ulang lembaga-lembaga
non-litigasi, sebagai mekanisme pemberdayaan keluarga, sebelum akhirnya kasus
rumah tangga ditangani pengadilan. Selama ini masyarakat belum mengenal lebih
dekat BP4 karena pemerintah kurang memperhatikan urgensinya. Padahal BP4
merupakan badan yang memiliki bidang garap yang cukup banyak mulai dari
pra-nikah sampai dengan perkawinan, perceraian dan masa purna perceraian dengan
bentuk penasihatan. Mulai dari penasihat individual, penasihat keliling, dan
penasihatan melalui media cetak dan media massa.
Ke depan, tugas BP4 dalam menekan angka perceraian perlu
ditingkatkan dengan melakukan pembinaan yang bersifat preventif. Sehingga,
pembinaan mental dan kesadaran hidup dalam rumah tangga dapat digarap sedini
mungkin. Di samping itu, mekanisme kerja dari perangkat pendukung sistem
ditingkatkan efektifitasnya dan selalu dimotivasi idealismenya agar
terakomodasi secara timbal balik antara KUA, Pengadilan Agama, BP4, dan
kelompok sasaran atau masyarakat.
Kedua, penyempurnaan sistem pengetatan terhadap perceraian pada
ranah litigasi. Hal ini disiasati dengan membuat skenario tenggang waktu dan
penasihatan. Pengadilan Agama sebelum menjatuhkan putusan, memproses perkara
melalui tahapan-tahapan persidangan dengan mengharuskan pihak untuk mengisi
berbagai kelengkapan administrasi, seperti pendaftaran di kepaniteraan,
panggilan sidang pertama untuk para pihak, kewajiban menempuh jalur mediasi
(PERMA No. 1 Tahun 2008), hingga pemeriksaan pokok perkara yang praktis memakan
waktu cukup panjang.
Adanya tenggat waktu ini memiliki
tujuan memberikan kesempatan bagi pihak yang berperkara untuk berfikir jernih
agar dalam pengambilan inisiatif cerai tidak dikuasai oleh emosi yang
merugikan. Sehingga, kemungkinan damai bisa terjadi. Tenggat waktu tersebut
juga tidak bertentangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan,
mengingat tahapan-tahapan persidangan dilalui sesuai prosedur baku yang telah
ditetapkan dalam hukum acara peradilan agama. Hanya dengan demikian perceraian
yang dari tahun ke tahun menjadi teror bagi keutuhan keluarga dapat diatasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar