Sabtu, 07 Juli 2012

Petani Tembakau Bertriwikrama di Jakarta


Petani Tembakau Bertriwikrama di Jakarta
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 07 Juli 2012


Dari “tlatah” kabupaten-kabupaten Jawa Timur, termasuk Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, petani tembakau menggerebek para pejabat dan seorang aktivis di Jakarta.
Peraturan pemerintah yang disusun dengan semangat memelihara kesehatan masyarakat—sesuatu yang bila didengar sepintas saja sudah begitu mulia—dalam praktiknya, sejak awal mula hingga ke tahap ini,penuh dengan sikap tidak adil terhadap para petani tembakau, dan tidak jujur dalam langkah-langkah berikutnya. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Dampak Tembakau itu dibuat secara sepihak, sangat bersifat sentralistik di Jakarta.

Disebut sepihak karena di era demokrasi yang begini terbuka, pemerintah merumuskan sendiri RPP tersebut tanpa mengundang para petani sejak awal. Ini sudah merupakan “limbah” demokrasi yang baunya tak enak sama sekali. Efeknya jauh lebih tak enak bagi petani. Jika kesalahan hanya terjadi di tingkat awal, mungkin kita masih bisa melakukan perbaikan. Tapi di tingkat lebih lanjut, ketika konsep sudah jadi, petani pun tak diminta untuk memberikan masukan sesuai kepentingan mereka.

Apa perlunya mengajak petani? Orang Kementerian Kesehatan punya arogansi macam itu.Petani dianggap dungu.Jika ada dalam rombongan petani yang datang ke kantor mereka, jelassekalimerekaraguapakah itu petani betul. Bagi mereka, petani itu hanya kumuh, tertinggal, dan tak sekolahan. Mereka lupa,RPP itu dibuat untuk mengatur petani dan industri keretek. Maka pihak petani, juga pihak industri, seharusnya dilibatkan.

Mengatur itu artinya menata dengan sikap terbuka dan adil,dan bukan untuk menguasai dan mendominasi. Mengatur artinya juga melindungi. Kalau mengatur di sini isinya hanya “melarang”, “membatasi”,“memojokkan”, dan lebih-lebih “membunuh” sumber kehidupan dan kebebasan para petani,aturan itu zalim, otoriter, dan tiranik. Tapi,mereka yang bekerja atas nama dan demi kepentingan pemerintah, yang seharusnya sudah tahu “derajat” mereka hanya “abdi”, kenyataannya ingin menguasai dan meremehkan pihak yang diatur.

Kenyataan seperti ini yang membuat petani, yang paham perkara politik—setidaknya mereka paham jika hak asasi mereka dirampok orang dan dinodai— marah bukan buatan. Harus dicatat,para pejabat itu bukankah juga,sebagian,anak petani? Para aktivis, yang merasa dirinya berada di garis depan untuk menjaga kesehatan masyarakat,memangnya siapa mereka bila bukan mayoritas anak petani juga?

Sikap tidak sensitif,tidak demokratis itu membuat petani makin tegas menyatakan sikap. Selama ini urusan RPP menjadi bahan perdebatan tanpa henti. Tapi,tak ada sikap mawas diri di kalangan para pejabat—juga aktivis yang konon prorakyat— untuk mengajak berunding secara ter-buka. Sikap tak terhormat, tidak jujur,dan bahkan jelas menipu ditampilkan tanpa malu-malu. Ketika didemo para petani tembakau yang tak bisa menerima logika buruk RPP pada 2010, orang-orang Kementerian Kesehatan kemudian tanpa malu-malu mengatakan baru saja melakukan harmonisasi dengan petani.

Harmonisasi ini maksudnya mengadakan dialog terbuka, dan menyamakan secara harmonis sikap pejabat dengan sikap petani.Betapa buruk wajah pejabat kita. Kalimat saja dikorup, apalagi duit.Begitu juga dengan seorang aktivis yang hebat sekali,yang tiap saat berkata, dengan tengadah bahwa “bila RPP dan segenap aturan dimaksudkan buat membunuh petani tembakau, aku akan beradadigarisdepan”.Ini suara tulus, seorang aktivis yang membela kepentingan rakyat?

Ini suara dari hati orang yang tulus berbuat demi kebenaran? Kenyataannya, aktivis ini pula yang berteriak paling keras agar cukai dikenakan pada industri keretek setinggi-tingginya. Akibatnya, industri rakyat mati.Beratus-ratus industri rumah tangga mati. Dia punya andil dalam pembunuhan ini. Apakah ini tulus? Lagipula, argumennya bahwa RPP tak ada indikasi mematikan petani tembakau jelas argumen palsu dan bersikap memalsukan kebenaran.

Kalau pabrik keretek dimatikan, apa tak dengan sendirinya mematikan petani tembakau? Selebihnya, mereka bermain mata dengan pihak asing, dan menerima dana besar dari negeri asing untuk penghancuran bangsanya sendiri. Ketika seluruh pengalaman direnungkan kembali dan makin hari makin jelas tak tampak ada jalan keluar yang adil, sekitar sepuluhan ribu petani, yang naik sekitar seratus lima puluhan bus, dan mobil-mobil kecil, minggu lalu kembali lagi memasuki Jakarta, dan bertriwikrama di hadapan para pejabat tadi.

Triwikrama pernah ditampilkan oleh Batara Kresna, ketika menjadi duta Pandawa, di Kerajaan Astina.Di sana dia diancam rajanya dengan keris, yang diacungkan kepada Kresna.Tapi,Kresna membaca mantra saktinya, dan di sebelah kirinya mendadak tampak— di mata Raja Astina itu— seribu Arjuna menarik busur, siap menembaknya, dan di sebelah kanan Kresna,tampak Bima memanggul gada besar, siap menggepuk kepala raja itu. Maka, si raja pun keder, dan jatuh pingsan.

Ketika sadar, dikerahkannya seluruh prajurit, mengepung Kresna.Lalu Kresna yang kaget, otomatis membaca mantra lain, bertriwikrama, menjadi raksasa sebesar gunung. Negeri Astina terguncang oleh langkah-langkah raksasa itu seperti ada gempa bumi delapan skala richter. Petani dari Jawa Timur, juga Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat marah besar. Mereka juga bertriwikrama menghadapi Deputi Tiga, yang mewakili Menko Kesra.

Sejak beberapa saat sebelumnya dialog dengan deputi ini membuat petani tembakau risau karena dia tak punya sensitivitas kemanusiaan menghadapi bangsanya sendiri, yang seharusnya dilindungi. Saya kira, kesalahan ada di Menteri Agung Laksono karena mendelegasikan tugas mulia ini kepada orang yang kurang memiliki kemuliaan. Kedua, karena mengangkat orang yang kompetensinya paspasan di dalam posisi elite.

Kalau Menteri Agung Laksono hingga detik ini tak menyadari kekeliruannya, siapa yang bisa menyadarkannya? Apa demo lebih serius, dan petani lebih banyak, yang bisa membuatnya menyesal? Tapi sejak kecil kita tahu, sesal kemudian tak berguna. “Danyang” dari gunung mana yang menempel pada jubah para pejabat kita? Saya yakin, yang terjadi itu baru triwikrama kecil-kecilan.

Sebaiknya tak perlu dibikin lebih heboh, dan lebih mengguncang Jakarta, agar jangan sampai kursi para menteri terpental di jalanan, di mana petani tak bisa lagi menolong. Tapi bila keadaan memang tak terkendali, mungkin kita hanya bisa bergumam: apa boleh buat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar