Sabtu, 07 Juli 2012

Memangnya Jadi Koruptor itu Bakat?


Memangnya Jadi Koruptor itu Bakat?
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
SINDO, 07 Juli 2012


Manusia tidak dilahirkan sebagai koruptor. Tidak pidana kotor korupsi juga bukan bakat warisan. Rasa-rasanya tak ada orangtua yang menghendaki anak keturunannya menjadi koruptor. Dengan kata lain, di tengah perjalanan hiduplah sifat korup itu bersemi.Barangkali wartawan dan lembaga media bisa menjadi perbandingan pencegahan.

Pilihan Sikap

Kemuakan dan jijik pada tindak korupsi di masyarakat sudah mendidih, mencapai titik jenuh, dan siap meledak. Nama-nama yang keren, berpangkat, berkuasa, ternyata tak lebih dari zombi, yang memakan kehidupan dan nurani bangsanya. Tak ada jalan lain untuk menghentikan selain tindakan yang tegas,keras selain mengamputasi secara nyata dan seketika. Tanpa pandang bulu, tanpa membedakan baju.Tindakan yang tidak seketika sekaligus adalah membuat pagar dan atau rambu-rambu yang tidak memungkinkan penyalahgunaan wewenang itu muncul.

Yang terakhir ini bukan hanya imbauan moral, atau rasa prihatin, melainkan sanksi terukur dalam disiplin yang mewadahi. Saya mengambil contoh kehidupan wartawan dan lembaga penerbitan yang mengelola. Untunglah dunia pers kita memiliki tokoh dengan tradisi moral yang kental. Baik di zaman Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, sampai Jakob Oetama dan Goenawan Mohammad.

Merekalah yang dari awal merumuskan bahwa wartawan tidak boleh menerima amplop saat melakukan tugas jurnalistiknya. Sikap sederhana, mudah dipahami, walau sulit dipraktikkan. Mengingat wartawan begitu mudah bersentuhan dengan tawaran yang menggiurkan karena kedekatannya dengan narasumber mulai dari presiden sampai presiden direktur. Namun, justru inilah tantangannya. Dalam banyak hal, pers Indonesia mampu mengatasi. Memang repot, bukan karena meminta atau menerima, bahkan menolak pun tidak sederhana.

Dalam acara konferensi pers misalnya. Bukan hanya duit dalam amplop, melainkan juga by product yang diberikan semisal t-shirt atau kemudahan yang lain seperti transportasi. Namun, mereka berhasil mengatasi godaan— bukan cobaan karena kitanya sadar ketika melakukan, terutama karena lembaga yang menaungi memberikan sanksi bukan abu-abu. Pemecatan dan merasa hina karena soal amplop, dan susah pindah kerja karenanya. Ini lebih merupakan pilihan sikap karena pengelola media tidak selalu memenuhi semua kebutuhan wartawannya.

Melainkan karena pemberian amplop adalah penghinaan, pelecehan, dan menyangkut harga diri yang adalah harga mati. Saya masih merasakan ketika mendapat undangan ke Bogor, bersama teman-teman wartawan yang lain, perlu berhenti dulu untuk mengeringkan keringat yang diperas dalam kendaraan umum, sebelum masuk ke ruang pertemuan.

Pengawasan Internal

Kalau sekarang wartawan relatif masih bisa menegakkan kepala–juga dalam memberitakan masalah korupsi antara lain karena hal ini. Karena ada satu kata, antara pengelola media dan awaknya. Ada satu aturan yang jernih dan sama-sama dimengerti. Bukankah pendekatan seperti ini juga menjadi batas pembeda yang membentengi antara berbuat halal atau haram, do dan don’t?

Misalnya partai politik—selalu mengatakan tidak menganjurkan korupsi karena tidak ada dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga—menolak korupsi. Ketika anggotanya atau kadernya terlibat korupsi, bisa langsung dipecat atau dapat sanksi berat. Demikian juga yang berlaku di kementerian atau lembaga negara. Demikian yang akan terjadi kalau korps guru melakukan hal yang sama.

Bukan malah sebaliknya, melindungi atau merestui asal jangan mengembat yang lain. Pada titik ini konsekuensi dijalankan sesuai yang digemborkan. Kecuali kalau parpol atau institusi yang ada melihat korupsi sebagai jalan hidup. Pada titik ini pengawasan berasal dari ikatan atau lembaga di dalam kelompok di mana perorangan terikat di dalamnya. Dalam hal wartawan, perusahaan media yang lebih dulu bertindak, bahkan sebelum ada yang berteriak.

Serentak dengan pengawasan lugas di internal, segala kemungkinan berbuat hina mendapatkan kontrol sejak awal. Kemungkinan terhindarkan lebih terjaga oleh aturan yang ada dan diterima. Kalau ini yang dilakukan, barangkali saja merajalela, atau meratulela— karena pelakunya juga kaum perempuan—korupsi akan cepat tereliminasi.

Semua ini bukan sesuatu yang memerlukan energi lebih atau mustahil karena pada dasarnya kita mengemohi terjadi korupsi. Kita tidak dilahirkan untuk korupsi. Keyakinan inilah yang dibumikan dalam tindakan nyata, bukan sebagai slogan. Kita memiliki contoh kokoh untuk ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar