Senin, 16 Juli 2012

Perdagangan dan Ketidakseimbangan Global

Perdagangan dan Ketidakseimbangan Global
A Prasetyantoko ; Ekonom; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 16 Juli 2012


Minggu lalu, kita kedatangan banyak tamu penting. Mulai dari Presiden Ceko Vaclav Klaus, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan jangan lupa pejabat tinggi Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati. Kedatangannya tidak sekadar bersilaturahim sebagai mantan menteri, tetapi juga sebagai petinggi Bank Dunia.

Di tengah perekonomian global yang terus bergejolak, posisi Indonesia semakin penting dan diperhitungkan. Tentu saja agenda kedatangan para petinggi negara dan pejabat organisasi multilateral tersebut beragam, tetapi mereka menyatakan komentar yang lebih kurang sama: perekonomian Indonesia cukup kuat dan prospektif. Lalu, apa implikasinya? Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi siapa pun, terutama negara-negara maju. Kita pun mengakui fakta tersebut. Kita selalu menyebut perekonomian Indonesia selamat karena permintaan domestik yang kuat. Ini ditandai oleh jumlah penduduk besar (sekitar 240 juta jiwa), kelas menengah yang terus tumbuh (sekitar 134 juta jiwa), dan stabilitas makroekonomi. Daya beli terus meningkat, pertumbuhan pasar tetap terjadi. Bahkan, dibandingkan dengan China dan India sekalipun, prospek ekonomi kita masih lebih baik karena tingkat kontraksinya relatif rendah.

Dalam konteks global, sekarang ini sedang terjadi gejala meningkatnya ”ketidakseimbangan global” (global imbalances). Kesenjangan muncul karena negara maju terlalu banyak mengonsumsi, dengan dibiayai penerbitan surat utang, sementara negara berkembang terlalu banyak berproduksi dan menabung. Krisis 2007/2008 merupakan bagian dari koreksi terhadap ketidakseimbangan tersebut sehingga menuntut proses penyesuaian menuju keseimbangan baru.

Ketidakseimbangan akut telah memunculkan persoalan krusial di negara maju: meningkatnya utang publik hingga rata-rata melebihi 100 persen dari produk domestik bruto (PDB) serta defisit fiskal yang umumnya mencapai lebih dari 10 persen. Padahal, untuk kasus negara-negara di zona euro, salah satu prasyarat agar mata uang mereka stabil adalah disiplin fiskal: utang tidak boleh melebihi 60 persen dan defisit maksimal 3 persen terhadap PDB.

Sekarang ini, salah satu solusi untuk mempertahankan perekonomian negara maju adalah mendorong ekspor untuk meningkatkan devisa. Dengan begitu, mereka bisa menutup utang publik dan defisit anggaran. Sekarang ini, mereka tengah melakukan politik dagang tingkat tinggi (high profile trade policy) untuk mendorong peningkatan ekspor. Karena itu pula, negara-negara maju sangat sensitif dengan isu proteksionisme di negara berkembang.

Itulah mengapa kebijakan perdagangan dan investasi kita mendapat sorotan cukup tajam. Misalnya, terkait dengan penerapan bea keluar sebesar 20 persen untuk 65 komoditas tambang di luar batubara. Juga pembatasan pintu masuk impor hortikultura yang membuat Amerika Serikat (AS) mengancam akan mengadukan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Fakta lain mengenai potensi defisit neraca perdagangan dan bahkan neraca transaksi berjalan juga cukup merisaukan. Dua bulan berturut-turut neraca perdagangan kita mengalami defisit: pada April sebesar 641,1 juta dollar AS dan Mei 485,9 juta dollar AS. Sejak krisis global terjadi, kita mengalami tiga kali defisit dagang, April 2008, Juli 2008, dan Juli 2010. Tahun ini, untuk pertama kalinya, kita mengalami defisit dua bulan berturut-turut.

Meski diyakini pada bulan-bulan mendatang neraca perdagangan akan membaik, hal itu tetap saja merisaukan. Jika negara maju semakin lama pulih, ketidakseimbangan global akan semakin dalam. Dampaknya, permintaan terhadap produk ekspor dari negara berkembang akan menurun, sementara desakan untuk menerima produk-produk mereka akan semakin kuat. Secara alamiah, kebijakan protektif juga akan meningkat.

Dulu ketika terjadi resesi 1929, banyak negara juga cenderung protektif guna melindungi produksi dan pasar domestik mereka sendiri. Diyakini sikap protektif bersifat prosiklus: memperparah dan membuat krisis jadi lebih panjang. Oleh karena itu, dalam pertemuan G-20 yang lalu, Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy cukup keras memperingatkan agar semua pihak menghindari kebijakan protektif.

Perdagangan dunia akan mengalami kontraksi cukup tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika pada 2010 pertumbuhan perdagangan dunia mencapai 13,8 persen dan tahun 2011 tumbuh 5 persen, pada 2012 perdagangan global diprediksi hanya akan tumbuh 3,7 persen. Sangat mungkin realisasinya akan lebih rendah lagi mengingat penurunan pertumbuhan ekonomi global juga lebih cepat daripada yang diperkirakan.

Pada triwulan I-2012, China tadinya diharapkan bisa tumbuh di atas 8 persen, tetapi realisasinya hanya 7,6 persen. Itu pun masih ada keraguan apakah data tersebut valid. Kemungkinan pertumbuhan riilnya lebih rendah lagi. Perekonomian India juga melambat sehingga permintaan ekspor dari negara berkembang, termasuk Indonesia, juga berkurang drastis.

Gejala tersebut sudah tecermin dalam neraca perdagangan kita. Ekspor nonminyak dan gas bumi (nonmigas) Indonesia ke China pada Mei berkurang senilai (-193,1) juta dollar AS dibandingkan dengan April. Penurunan ekspor ke India pada periode yang sama lebih tajam lagi, yaitu (-298,4) juta dollar AS. Kontribusi ekspor ke China sepanjang Januari-Mei tahun ini lebih kurang 13 persen dan ke India sekitar 8 persen. Sementara rapor minus juga terjadi pada ekspor Indonesia ke Jerman, Singapura, dan Malaysia.

Menghadapi situasi global yang rumit, dipastikan ekspor juga semakin sulit. Sementara laju impor diprediksi akan semakin deras, baik dalam bentuk barang jadi maupun bahan baku dan penolong. Peningkatan impor bahan baku merupakan indikasi paling baik peningkatan investasi domestik. Dengan demikian, skenario optimistisnya dalam 12-24 bulan ke depan ekspor nonmigas akan terdorong naik dengan peningkatan aktivitas industri domestik.

Meskipun begitu, jangan lupa pula bahwa selain kelesuan, perdagangan global juga dibayang-bayangi menguatnya ketidakseimbangan global. Dengan demikian, kecenderungan menempatkan negara berkembang sebagai pasar produk negara maju sulit dihindari. Proses itu sebenarnya juga diperlukan dalam tarap tertentu dalam rangka menciptakan keseimbangan baru yang lebih berkelanjutan. Namun, jangan sampai kita terlalu pasif menjadi korban dari konstelasi global. Maka, agenda kita, bagaimana menyiasati prinsip-prinsip non-tariff measures yang diatur WTO dalam rangka melakukan proteksi produksi serta konsumen domestik. Agenda lain, membenahi masalah klise: koordinasi dan komunikasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar