Kamis, 05 Juli 2012

Papua, “Surga Kecil” yang Sedang Resah


Papua, “Surga Kecil” yang Sedang Resah
Ivan A Hadar ; Praktisi Pembangunan Manusia, Terlibat dalam Penulisan Laporan
Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat (2012)
  
SINDO, 05 Juli 2012


Tanah Papua tanah yang kaya surga kecil jatuh ke bumi Seluas tanah sebanyak madu adalah harta harapan.” Franky Sahilatua

Di Tanah Papua, kekerasan yang memakan korban jiwa, masih saja berlangsung.Tanah Papua yang didendangkan Franky Sahilatua sebagai “surga kecil (yang) jatuh ke bumi” ini memiliki sejarah penuh kontradiksi yang membawa keresahan. Tanah Papua setidaknya memiliki tiga modal dasar, yang bisa menjadi faktor utama percepatan pembangunan, termasuk pembangunan manusianya.

Sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, kawasan yang luas,serta jumlah penduduk yang “hanya” sekitar empat juta jiwa. Modal dasar tersebut semakin diperkuat dengan adanya pemasukan dari royalti pertambangan serta berbagai fasilitas kewenangan dan fiskal yang dikaitkan dengan status otonomi khusus (otsus). Namun, setelah 10 tahun implementasi otsus, persentase penurunan jumlah orang miskin di Tanah Papua masih terbilang kecil.

Tidak sebanding dengan potensi berlimpah dari tiga modal dasar tersebut. Kenyataan tentang masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), juga rata-rata lama pendidikan serta buruknya kondisi kesehatan dan kesejahteraan mayoritas masyarakat serta buruknya infrastruktur dasar dan pelayanan publik, menjadi bukti kondisi kontradiktif tanah Papua. Dari semua itu,satu hal yang menjadi keprihatinan luas adalah kenyataan berikut.

Data terpilah (Susenas 2010), menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka yang kurang beruntung adalah orang asli Papua (OAP) sebagai pemilik awal “Surga Kecil” ini. Hal serupa terlihat dari rendahnya usia harapan hidup serta lama pendidikan dan buruknya kondisi kesehatan OAP dibandingkan penduduk lain. Selain di sektor SDA, khususnya pertambangan dan kehutanan, secara bertahap OAP pun tergusur dari sentra-sentra ekonomi, khususnya di kawasan urban.

Kondisi kontradiktif tersebut memunculkan berbagai ekspresi ketidakpuasan, dari kecemburuan sosial, konflik antarwarga, hingga tuntutan merdeka. Secara umum, menurut penelitian LIPI (Papua Road Map, Muridan S.Widjojo (ed), 2009) sumber-sumber konflik di Tanah Papua bisa dikelompokkan dalam empat permasalahan yang harus segera dicarikan solusinya. Pertama, masalah marginalisasi dan efek diskriminatif terhadap OAP akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.Terakhir, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua, terutama terhadap korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum. Semua permasalahan tersebut hanya bisa diatasi lewat dialog yang dilandasi niat baik dan kamauan politik yang kuat untuk perubahan mendasar, lewat kebijakan pembangunan yang berpihak pada budaya, wilayah dan kebutuhan dasar OAP.

Pemihakan

Sebenarnya, secara normatif kebijakan pembangunan telah mengambil posisi pemihakan terhadap OAP. Di Tanah Papua, misalnya, selain posisi gubernur, bupati dan wali kota yang mengharuskan dijabat oleh OAP, sistem kuota pun diberlakukan dalam penerimaan pegawai di jajaran pemerintahan, sekolah dan universitas. Namun, kenyataan masih menunjukkan kondisi kontradiktif seperti yang digambarkan sebelumnya.

Hal tersebut menunjukkan telah terjadinya dua halberikut. Pertama, kebijakan, perencanaan, dan program berikut rencana aksinya tidak atau belum tepat (sasaran). Kedua, kebijakan, perencanaan dan program serta rencana aksi, boleh saja sudah tepat, namun hal tersebut menjadi tidak berarti kalau belum diwujudkan dalam bentuk anggaran yang disetujui.

Persoalannya, perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada OAP seperti yang diinginkan dan secara normatif tertuang dalam RPJMD Provinsi Papua dan Papua Barat, masih belum didukung oleh data terpilah terkait OAP dan warga lainnya. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, langkah keberpihakan, salah satunya dalam bentuk perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada OAP, harus lebih serius dilakukan.

Hal ini, menjadi langkah pendukung bagi tercapainya perdamaian di Tanah Papua, sekaligus menghilangkan kondisi kontradiktif yang ada. Dalam UU No.21/2001, yang kemudian diubah menjadi Undang-undang 35/2008 terkait Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua, disebutkan agar dalam proses pembangunan di kedua provinsi tersebut perlu memperhatikan keberpihakan, pemberdayaan dan perlindungan terhadap OAP.

Tiga alasan tersebut menjadi pertimbangan bagi sebuah pendekatan baru dalam mempercepat proses pembangunan manusia di Provinsi Papua Barat. Sistem perencanaan yang diatur dalam Permendagri Nomor 54/2010 dan sistem penganggaran yang diatur dalam UU Nomor 33/2004, mengamanatkan bahwa pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rakyat mendapat prioritas utama baik dalam perencanaan maupun penganggaran.

Kontekstualisasi Pembangunan

Indikator Pembangunan Manusia, masing-masing IPM, IKM (kemiskinan multidimensional), dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), menunjukkan kesenjangan yang cukup signifikan antarpenduduk dan antarkabupaten-kota (BPS, 2010). Data tentang sektor pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja menunjukkan kesenjangan serupa antara OAP dan non-Papua serta antara penduduk di kabupaten pemekaran dan kabupaten induk.

Menelusuri penyebab dan latar belakang, “kalah”nya OAP dalam persaingan di berbagai sektor kehidupan dibandingkan penduduk pendatang, penulis berasumsi perlu dipertimbangkan ulang pemberlakuan indikator dan pengukuran keberhasilan yang seragam. Ketika OAP berdagang produk lokal yang merupakan bagian dari budaya dan wilayahnya, etika kerja keras yang ditampilkan sangat mengemuka.

Karena itu, menjadi sebuah keniscayaan untuk menyusun perencanaan pembangunan (a) berbasis budaya, misalnya, kegiatan wirausaha kolektif, memanfaatkan kelebihan clan dan para kepala suku sebagai agen pembangunan, memanfaatkan berbagai kearifan tradisional seperti Sasi, serta (b) berbasis wilayah–terkait kawasan mayoritas OAP, yaitu kawasan pegunungan, dataran rendah, rawa, sungai dan pesisir.

Proses penganggaran pun, harus berpihak pada mayoritas OAP yang berada dalam kondisi miskin, tanpa melupakan kelompok-kelompok sosial lain, termasuk perempuan yang juga terpinggirkan dalam proses pembangunan. Hal tersebut, bisa menjadi langkah awal agar “Surga Kecil” yang sedang resah, bisa kembali damai dalam kesejahteraan bagi semua. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar