Pilkada
DKI: Satu Putaran?
M
Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
SINDO, 05 Juli 2012
Isu
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 satu putaran mengemuka
menjelang pemungutan suara 11 Juli.Tidak hanya pasangan petahana Foke-Nara yang
mengampanyekan itu, tetapi yang lain juga siap menang satu putaran, seperti
Hidayat-Didik maupun Jokowi-Ahok.
Apakah
memungkinkah pilkada satu putaran? Bukankah calon yang bersaing dalam pilkada
DKI kali ini demikian banyak, yakni enam pasang calon? Sejauhmana isu satu
putaran dalam perspektif kepentingan publik? Masing-masing pasangan calon pasti
punya perhitungan sendiri soal ini. Dalam logika demokrasielektoralyangbebas,
semua pasangan calon punya peluang yang sama.Yang membedakan— adakalanya,dan
ini faktor yang paling kuat—ialah karisma ketokohan.
Cara mengukurnya agak susah,tetapi bisa dipantau dari pergerakan popularitas dan elektabilitas survei yang objektif. Walau begitu,pemilih tetap cair dan bisa berubah, sebelum hari H pemungutan suara. Karisma bisa digoyahkan dengan kampanye negatif, bahkan,kampanye hitam.Persepsi publik masih bisa diombang- ambingkan sedemikian rupa. Terlepas dari apakah satu putaran itu menguntungkan atau tidak masing-masing pasangan calon, publik sesungguhnya berkepentingan dengan itu.
Manakala asumsinya semua calon punya potensi dan peluang yang sama, logika pilkada satu putaran terkait dengan penghematan ongkos atau biaya penyelenggaraan pilkada. Kedua, secara praktis publik tidak rugi waktu, tapi jauh dari itu ialah mempersempit peluang atau menekan dampak konflik politik karena faktor waktu yang harus diperpanjang.
Ketiga, publik juga segera dihadapkan pada calon terpilih yang berkonsentrasi menuntaskan masa transisi keterpilihannya dengan masa efektif pemerintahan pasca-pelantikan. Singkat kata, satu putaran, hemat waktu, tenaga, biaya, dan calon terpilih segera bekerja. Kalau demikian, tidak ada alasan bagi pasangan calon untuk menolak wacana satu putaran. Mestinya semua mempersiapkan diri untuk bisa memenangi pilkada satu putaran.
Meraih dukungan 50 persen plus itulah yang harus diperjuangkan oleh semuanya, karena derajat legitimasinya tinggi. Tentu itu merupakan target yang membutuhkan perjuangan berat, apalagi tingkat kompetisinya sengit. Secara peluang pasangan incumbent cukup tinggi dalam konteks pilkada satu putaran ini, apabila memang derajat kepercayaan publik terhadap kinerja sebelumnya tinggi.
Tetapi, manakala tingkat kepercayaan masyarakat anjlok, walaupun pasangan Foke-Nara getol mengampanye kan pilkada satu putaran, tetap tidak akan efektif buat kemenangannya. Sebaliknya, manakala penantang mampu mendongkrak harapan dan kepercayaan publik melebihi petahana, maka kejutan besar pun tidak mustahil,bahwa salah satu dari mereka bisa memang satu putaran.
Menggiring praktik pilkada satu putaran, merupakan hal yang lazim berdasarkan pertimbangan- pertimbangan di atas.Namun,tetap saja ia dihadapkan pada realitas yang ada, yakni sejauh mana fragmentasi pemilih.Dalam pemilu dan sistem kepartaian kita sering mendengar istilah pembelahan politik (political clevages). Tampaknya tidak cukup tegas pembelahan politik itu tergambar dalam pilkada DKI saat ini, ketika politik aliran kian cair dalam logika dan praktik politik Indonesia.
Manakala kita cermati koalisikoalisi politik yang ada, polanya amat cair.Terhadap isu-isu keagamaan, misalnya, semua pasangan calon turut mengusungnya, sehingga bukan monopoli pasangan Hidayat-Didik, misalnya. Karenanya, satu putaran tidaknya lebih ditentukan oleh penekanan-penekanan isu yang diusung oleh masing-masing calon.
Calon yang isunya dipandang menarik dan kuat berpeluang memperoleh dukungan semakin tinggi.Dari sini mengemuka dua ekstrem, yakni ekstrem incumbent dan penantang. Dari sisi penantang, memang agak kerepotan mengingat jumlah pasangannya banyak.Salah satu dari mereka harus menonjol,dan itu artinya mereka bersaing satu sama lain dalam meyakinkan publik guna meraup dukungan.
Posisi incumbent, bagaimanapun, dan di mana-mana lebih strategis, kecuali publik apatis dan menilainya sudah gagal total sama sekali. Dalam kasus pilkada DKI, pasangan petahana masih demikian kuat. Inilah yang membuat calon-calon penantang diharuskan untuk bersinergi menguak kelemahan-kelemahan incumbent.
Namun, lagi-lagi, kuantitas calon penantang yang lebih dari dua pasang itu tidak cukup efektif untuk bersinergi alias membangun konsensus di tengah persaingan. Apakah mungkin satu putaran? Jawabnya mungkin, apabila publik, tepatnya pemilih,menghendaki ke arah sana. Pasangan calon tertentu sah-sah saja berkepentingan, bahkan mengampanyekan satu putaran, tetapi pada akhirnya semuanya pemilih yang menentukan. ●
Cara mengukurnya agak susah,tetapi bisa dipantau dari pergerakan popularitas dan elektabilitas survei yang objektif. Walau begitu,pemilih tetap cair dan bisa berubah, sebelum hari H pemungutan suara. Karisma bisa digoyahkan dengan kampanye negatif, bahkan,kampanye hitam.Persepsi publik masih bisa diombang- ambingkan sedemikian rupa. Terlepas dari apakah satu putaran itu menguntungkan atau tidak masing-masing pasangan calon, publik sesungguhnya berkepentingan dengan itu.
Manakala asumsinya semua calon punya potensi dan peluang yang sama, logika pilkada satu putaran terkait dengan penghematan ongkos atau biaya penyelenggaraan pilkada. Kedua, secara praktis publik tidak rugi waktu, tapi jauh dari itu ialah mempersempit peluang atau menekan dampak konflik politik karena faktor waktu yang harus diperpanjang.
Ketiga, publik juga segera dihadapkan pada calon terpilih yang berkonsentrasi menuntaskan masa transisi keterpilihannya dengan masa efektif pemerintahan pasca-pelantikan. Singkat kata, satu putaran, hemat waktu, tenaga, biaya, dan calon terpilih segera bekerja. Kalau demikian, tidak ada alasan bagi pasangan calon untuk menolak wacana satu putaran. Mestinya semua mempersiapkan diri untuk bisa memenangi pilkada satu putaran.
Meraih dukungan 50 persen plus itulah yang harus diperjuangkan oleh semuanya, karena derajat legitimasinya tinggi. Tentu itu merupakan target yang membutuhkan perjuangan berat, apalagi tingkat kompetisinya sengit. Secara peluang pasangan incumbent cukup tinggi dalam konteks pilkada satu putaran ini, apabila memang derajat kepercayaan publik terhadap kinerja sebelumnya tinggi.
Tetapi, manakala tingkat kepercayaan masyarakat anjlok, walaupun pasangan Foke-Nara getol mengampanye kan pilkada satu putaran, tetap tidak akan efektif buat kemenangannya. Sebaliknya, manakala penantang mampu mendongkrak harapan dan kepercayaan publik melebihi petahana, maka kejutan besar pun tidak mustahil,bahwa salah satu dari mereka bisa memang satu putaran.
Menggiring praktik pilkada satu putaran, merupakan hal yang lazim berdasarkan pertimbangan- pertimbangan di atas.Namun,tetap saja ia dihadapkan pada realitas yang ada, yakni sejauh mana fragmentasi pemilih.Dalam pemilu dan sistem kepartaian kita sering mendengar istilah pembelahan politik (political clevages). Tampaknya tidak cukup tegas pembelahan politik itu tergambar dalam pilkada DKI saat ini, ketika politik aliran kian cair dalam logika dan praktik politik Indonesia.
Manakala kita cermati koalisikoalisi politik yang ada, polanya amat cair.Terhadap isu-isu keagamaan, misalnya, semua pasangan calon turut mengusungnya, sehingga bukan monopoli pasangan Hidayat-Didik, misalnya. Karenanya, satu putaran tidaknya lebih ditentukan oleh penekanan-penekanan isu yang diusung oleh masing-masing calon.
Calon yang isunya dipandang menarik dan kuat berpeluang memperoleh dukungan semakin tinggi.Dari sini mengemuka dua ekstrem, yakni ekstrem incumbent dan penantang. Dari sisi penantang, memang agak kerepotan mengingat jumlah pasangannya banyak.Salah satu dari mereka harus menonjol,dan itu artinya mereka bersaing satu sama lain dalam meyakinkan publik guna meraup dukungan.
Posisi incumbent, bagaimanapun, dan di mana-mana lebih strategis, kecuali publik apatis dan menilainya sudah gagal total sama sekali. Dalam kasus pilkada DKI, pasangan petahana masih demikian kuat. Inilah yang membuat calon-calon penantang diharuskan untuk bersinergi menguak kelemahan-kelemahan incumbent.
Namun, lagi-lagi, kuantitas calon penantang yang lebih dari dua pasang itu tidak cukup efektif untuk bersinergi alias membangun konsensus di tengah persaingan. Apakah mungkin satu putaran? Jawabnya mungkin, apabila publik, tepatnya pemilih,menghendaki ke arah sana. Pasangan calon tertentu sah-sah saja berkepentingan, bahkan mengampanyekan satu putaran, tetapi pada akhirnya semuanya pemilih yang menentukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar