Sabtu, 14 Juli 2012

Mengubah Nasib PTS


Mengubah Nasib PTS
Elfindri ; Guru Besar Unand Bidang Ekonomi SDM
MEDIA INDONESIA, 14 Juli 2012

BERUNTUNG masih ada perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Jumlahnya dapat menampung sekitar 30% dari total populasi mahasiswa untuk memperoleh kesempatan belajar ilmu, keterampilan, serta segala ranah pendidikan yang diperlukan. Namun, pemerintah dan masyarakat justru sebenarnya lebih beruntung karena ada 3.000 perguruan tinggi swasta (PTS). Selama ini kurang lebih sebanyak 70% dari populasi mahasiswa pada usia emas mereka terpaksa mendapatkan pendidikan di PTS karena tidak ada kesempatan dengan terbatasnya bangku yang tersedia di PTN.

Komposisi PT negeri dan swasta telah menjadikan wajah pendidikan tinggi Indonesia seperti ini. Peradaban sekarang ialah bagian akumulasi proses pendidikan dari jenjang pendidikan dasar sampai tinggi. Sekiranya kita becermin, saat ini Korea Selatan-lah satu-satunya negara dengan akses anak muda ke jenjang pendidikan tinggi yang paling besar. Angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi mereka pada 2010 mendekati 80%, sementara Indonesia baru mencapai 30%. PTS telah berperan besar dalam pencapaian akses pendidikan tinggi.

Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) telah banyak pro dan kontranya. Kontranya banyak yang menyangsikan otonomi akan terwujud, selain dari kekhawatiran terhadap komersialisasi pendidikan dan internasionalisasi pendidikan. Tulisan ini tidak menyinggung itu. Namun, sangat fair diarahkan bahwa PTS sedemikian banyak justru memerlukan aturan agar lebih semakin bergengsi di kemudian hari.

Persoalannya ialah apa yang paling mendasar ditemukan pada institusi PTS? Kalau di negara maju pendidikan tinggi swasta justru berhasil memperlihatkan kualitas yang tinggi, katakanlah dari 10 perguruan tinggi di Amerika Serikat, semuanya ialah PTS. Pendidikan tinggi yang dikelola secara ‘market’, selain dari jaminan terwujudnya otonomi, menggaransi hasil-hasil yang diperlihatkan dalam proses pendidikan. Alumni mereka juga memiliki daya saing tinggi di pasar kerja.

Sementara di Indonesia PTS sangat beragam, baik dari distribusi beroperasinya, kinerja perkembangannya, maupun pengelolaan jurusan yang tersedia. Sebagian kecil, yang berada di Jakarta, justru telah berkembang dan menyaingi PT negeri yang sudah berumur setengah abad lebih. Namun, mereka hanya sedikit, sementara ribuan lagi hidup Senin-Kamis, tetapi masih tetap berjuang menyediakan pelayanan kepada anak-anak bangsa.

Dari sekian faktor yang membelit PTS, yang paling utama ialah persoalan ketersediaan dosen bermutu. Sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi, pemerintah mengharuskan perguruan tinggi memiliki dosen yang berkualiļ¬ kasi pendidikan minimum S-2. Sebuah jurusan minimal memiliki enam dosen. Sewaktu pendirian legalitas awal, ketersediaan dosen dipenuhi dengan berbagai cara dan pada akhirnya keberadaan dosen di PTS menjadi persoalan krusial.

Negara boleh dikata tidak menyediakan dosen untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta. Kenapa begitu sulit menyediakan dosen yang berpendidikan baik di PTS? Jawabannya ialah PTS juga pada umumnya menghadapi persoalan keuangan. Ketika jumlah mahasiswa tiap tahun dapat mendaftar pada tiap jurusan minimum 40 orang, jurusan hanya mampu membayar dosen jauh di bawah dari ketentuan upah minimum.

Dosen di PTS yang dinyatakan dosen tetap kebanyakan tidak memiliki kepastian penghasilan mereka. Bagi yang punya performa baik, berangsur-angsur dosen yang sudah mengabdi di yayasan mendaftar menjadi pegawai negeri, atau tempat lain. Untuk penggantinya, mereka sulit memperoleh dosen yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan PTS banyak menggunakan pegawai negeri lokal yang menyambi/paruh waktu sebagai dosen. Kebijakan pemerintah saat ini menegerikan PTS baik menjadi PTN justru kontraproduktif. Seiring dalam perjalanan waktu, justru semakin maju negara semakin berkurang peranan pemerintah.

Akomodasi Penyediaan Dosen

RUU jelas tidak mengakomodasi bagaimana negara menyediakan dosen untuk swasta. Namun, alangkah baiknya duduk bersama untuk mencari titik kesepahaman bagaimana jangka panjang perguruan tinggi swasta (dalam terminologi RUU Perguruan Tinggi masyarakat) di Indonesia ini.

Karena dalam jangka menengah pendidikan tinggi yang diselenggarakan swasta tidak banyak melakukan perubahan, beberapa hal dapat diakomodasi dalam meningkatkan pendidikan tinggi swasta. Pertama ialah sangat logis ketika negara menganggap pendidikan tinggi merupakan jasa kuasi (quasi-public), dengan sekalipun perguruan tinggi diselenggarakan masyarakat, sebaiknya pemerintah tetap memiliki peranan tidak saja dalam regulasi, tetapi dalam memenuhi penyediaan dosen secara minimum. Jika dalam satu jurusan mesti tersedia enam dosen tetap, setengahnya dapat disediakan negara. Artinya ada dosen pegawai negeri yang ditempatkan pada PTS.

Untuk mengakomodasi itu melalui direktorat pendidikan tinggi, penyediaan dosen untuk PTS dapat dilakukan melalui pemanfaatan dana beasiswa unggulan (BU) yang ada saat ini. Dalam rentang waktu lima tahun ke depan, diperkirakan akan dapat dikirim sebanyak 15 ribu dosen untuk menyelesaikan pendidikan lanjutan S-2 dan S-3. Penempatan dosen se telah itu di PTS akan membawa angin se gar akan perbaikan mutu PTS.

Kedua ialah mengembangkan penggabungan PTS yang tidak/belum memenuhi ketentuan yang ada, misalnya tidak terakreditasi. Dalam tenggat dua tahun ke depan misal tahun ke depan misal nya dapat dipersiapkan penggabungan dengan jurusan yang sama yang sudah terakreditasi dengan hasil yang memuaskan. Jurusan yang sama di PTN wilayah dapat dijadikan tempat amalgamasi jurusan di PTS yang tidak maksimal.

Ketiga, mengarahkan penekanan karakter pendidikan yang diselesaikan pendidikan swasta, dengan lebih fokus kepada memenuhi ketersediaan tenaga terampil untuk mendukung proses pembangunan di daerah. Oleh karena itu, reorientasi pendidikan tinggi swasta sebaiknya lebih memenuhi ranah psikomotorik dan pembentukan kepribadian ketimbang fokus ditujukan kepada penyediaan tenaga ilmuwan, atau pemikir. 

Dalam kaitan itu, keberadaan 12 Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang ada sebaiknya memperoleh dukungan tenaga ahli, dalam memberikan fungsi kontrol dan pengembangannya. Gagasan demikian pernah disampaikan Prof Dr Yahya Muhaimin, mantan mendikbud, sewaktu rapat konsolidasi Dewan Pendidikan Tinggi awal 2011.

1 komentar:

  1. betul pa...
    seharusnya adalah menswastakan PTN sj pa..
    supaya fair..
    (kasian PTS,makin terseok-seok lah..)

    BalasHapus