Senin, 09 Juli 2012

Mencari Gubernur Sungguhan


Mencari Gubernur Sungguhan
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 09 Juli 2012

Gosip politik berkembang di mana-mana. Ada yang dengan optimistik mengatakan, gubernur DKI tak ada yang sukses di lima tahun pertama. Mereka sukses di lima tahun kedua. Bang Ali dan Bang Yos dijadikan contoh.

Ini jelas buat memberi keuntungan gubernur yang masih juga ingin maju kembali dalam pencalonan. Saya kira tidak persis begitu logikanya. Bang Ali sudah berkibar-kibar dan mentereng sejak lima tahun pertama. Jangan dianggap baru sukses di lima tahun kedua. Jenderal KKO ini tegas minta ampun dalam segenap sepak terjang birokrasi dan kepemimpinannya. Dia berani melabrak kekuatan sosial politik mana pun di dalam masyarakat. Kalangan ulama juga disemprot dengan tantangan blak-blakan.

Dengan modal ini, untuk lima tahun kedua suksesnya menjadi lebih gilang gemilang. Beliau makin percaya diri. Lalu Bang Yos. Ini tipe lain lagi. Kepemimpinannya tidak menggebrak-gebrak. Jenderal AD, Kopassus, ini model leadership-nya juga jelas, tegas, dan sasaran “tembak”-nya dibidik dengan fokus. Dengan diam-diam tadi. Mirip kucing mengincar musuh yang hendak disergap. Perintahnya harus jalan. Ini demi kepentingan publik. Bukan untuk membangun citra yang bukan-bukan.

Ada wali kota yang dipanggil dan ditanya: Bisa membereskan persoalan ruwet dan sensitif di daerahmu itu? Kalau tidak bisa, aku ambil alih. (Artinya, bisa saja mencari wali kota lain yang lebih terampil). “Siap Pak.Bisa.” “Berapa lama waktu Kau perlukan untuk membikin beres urusan itu?” “Satu minggu Pak.” Jawab sang wali kota. “Bagus. Seminggu ya? Pulang dari Korea, akan aku cek langsung.

” Begitulah dialog dalam bahasa “perintah” yang jelas dan tegas itu berlangsung singkat. Tak perlu bertele-tele. Seminggu kemudian, Gubernur itu mengecek dari udara dan dengan cermat diamatinya baik-baik.Benar.Wali kota telah bekerja dengan baik seperti dijanjikannya kepada sang bos. Ini tipe pemimpin yang tak diketahui publik kapan kerjanya, tapi hasilnya jelas, nyata, dan publik merasakan buahnya. Ini gubernur beneran.

Dia menciptakan apa yang kelihatannya, di mata orang banyak, tak mungkin menjadi mungkin. Leadership memang harus berfungsi seperti itu. Bang Ali dan Bang Yos, dua gubernur Jakarta, yang—dalam corak berbeda, sesuai karakter masing-masing— menampilkan watak pemimpin yang punya karisma. Orang tak begitu memperhatikan dengan jeli satu pola hubungan kemanusiaan yang mentereng: Bang Yos ini, biarpun sudah paham, masih juga datang ke Bang Ali untuk berkonsultasi.

Mendengarkan apa wisdom yang bisa dipetik dari pendahulunya itu. Ini bukan hanya “ngewongke” orang lain, yang merupakan seniornya, tapi secara politik ini simbol kepemimpinan yang hebat. Yang muda menghormati yang tua.Yang baru, dan belum banyak tahu, bertanya pada yang senior, yang lama, dan yang paham banyak urusan untuk diteladaninya. Namanya tentara, bisa saja galak, dan membentak, bahkan ganti mengancam jika diancam orang.

Tapi dalam suasana “damai”dua tokoh ini juga damai dengan siapa pun karena bibit damai itu ada pula di dalam jiwa mereka.Bang Ali itu seperti Baladewa, gampang marah. Tapi dalamnya halus. Bang Yos mungkin Prabu Salya. Negerinya dibikin aman dan makmur mayoritas kawulanya. Berikutnya, kita tak pernah dengar seperti apa sikap gubernur DKI. Yang kita lihat cuma foto yang dipajang di begitu banyak tempat di pojok-pojok jalan.

Rakyat seolah diberi tahu bahwa gubernur itu harus ahli “acting” dan terampil mengisi pojok-pojok jalan dengan foto besar seperti sedang ada pameran foto. Padahal, yang dibutuhkan warga DKI bukan pameran foto,melainkan pameran hasil karya nyata. Mengatasi kemacetan? Kebijakan impor motor dan mobil pun tak ada. Kemacetan kini justru makin parah. Jalan terobosan busway itu kerjaan Bang Yos.

Mengatasi banjir? PU yang mengerjakan dengan dana pusat, cara penanggulangan banjir dengan membereskan kanal timur. Apa yang dikerjakan gubernur sekarang,yang masih ingin maju lagi itu? Orang di sekitarnya mungkin saja tahu karena diajak rapat.Bagaimana mekanisme membikin publik tahu? Bagaimana “public accountability” dilakukan? Warga kota jarang yang tahu apa yang dikerjakan, dan apa hasil yang dicapai gubernur ini.

Dalam titik gelap seperti ini masa pilgub dan pilwagub telah tiba. Banyak calon. Jangan lupa, kita ingin memilih gubernur beneran. Gubernur yang memikirkan rakyatnya dengan sikap politik yang jelas: gubernur itu abdi rakyat, mengabdi pada konstitusi dan segenap aturan yang berlaku.Gubernur tak boleh mengabaikan rakyatnya. Peduli, dan sok murah hati, sok ramah-tamah, sok “care” terhadap rakyat, hanya di masa kampanye, itu sikap politik yang penuh kebohongan.

Baik hati dan penuh rasa peduli hanya di masa kampanye, itu sikap politik buatan, bukan cara hidup yang memang autentik, dan apa adanya. Sikap ini culas, dan tak bisa dijadikan gubernur beneran, sebagaimana didambakan seluruh warga DKI. Warga ingin gubernur yang “all out”, dan full kerja, demi warganya. Pikirannya buat warga. Jiwanya buat warga. Kerja, mengatur strategi, dan mendedikasikan hatinya,yang tulus, dan jujur, buat seluruh warga. Gubernur dengan kriteria macam ini yang kita cari. Banyak calon.

Lebih banyak dari masa sebelumnya. Gubernur sekarang optimistis, satu putaran, dan dia menang. Ini hitungan terburu-buru seperti orang mau ke belakang. Kalau pesaingnya anak-anak kecil yang masih ingusan, gagasan itu boleh jadi benar. Kali ini lawannya tokoh-tokoh penting. Jangan lupa, ada pula Jokowi, wong Solo, yang gemar bekerja “solo”, sendirian, diam-diam, tidak menggebrak,tidak menantang siapa-siapa.

Tapi yang dikerjakan secara “solo” tadi, mengagetkan orang. Pengalamannya di Kota Solo, yang lebih kecil dari Jakarta, menunjukkan semangat pemimpin autentik, yang khusus dilahirkan di zaman krisis kepemimpinan seperti saat ini. Dia juga bisa menabrak aturan kaku dan karatan, yang tak memihak rakyat. Apa yang tak memberi kemungkinan rakyat beruntung, biarpun namanya aturan, dirusaknya demi rakyat. Ini orang sipil.

Sekolahnya kehutanan. Tapi, dia tahu wisdom kehidupan dan cara menata kota. Dia sukses. Namanya harus. Kharismatik. Tapi, kurang suka omong.Tak perlu menggebrak. Tak perlu membentak. Tak pernah pasang foto di pojok-pojok jalan di kotanya. Kita punya perbandingan menarik jadinya: gubernur, yang belum jelas hasil kerjanya, bersaing dengan mantan wali kota, yang sukses mentereng. Ini satu hal menarik, yang mestinya, mantan wali kota itu lebih unggul.

Selebihnya, dia orang Jawa, yang bukan Betawi. Ridwan Saidi lebih jelas Betawi daripada gubernur yang ini. Jadi apa kelebihannya? Jangan lupa, ini soal penting: pemilih di DKI, lebih berat Jawanya ketimbang warga asli Betawi. Ini meyakinkan. Kita mau memilih gubernur sungguhan. Gubernur yang bekerja buat warganya. Maka, tentu saja, yang terpilih jelas harus calon yang punya sikap politik macam itu.

2 komentar:

  1. Kalau membaca artikel kayak beginian, ngiri juga saya. Banyak artikel saya yg jauh lebih bagus dari sisi kualitas gak pernah dimuat koran. Giliran orang terkenal saja, nulis asal-asalan kayak ginian pasti dimuat.

    BalasHapus
  2. hanya orang bodoh yang mengatakan tulisan ini asal-asalan...

    BalasHapus