Kelola
Liberalisasi Perbankan
Muhammad Syarkawi Rauf ; Kepala Lembaga
Pengkajian Ekonomi dan Bisnis,
Fakultas
Ekonomi Unhas
KOMPAS,
17 Juli 2012
Liberalisasi sektor
perbankan nasional ”secara masif ”dimulai sejak krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Hal ini ditandai oleh
lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. UU ini lalu
diperkuat Peraturan Pemerintah No 29/1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.
Hingga saat ini, kebijakan
liberalisasi keuangan telah diadopsi sejumlah negara di Asia Timur.
Kecenderungan ini dilatarbelakangi keterlibatan negara-negara Asia Timur dalam
forum kerja sama ekonomi internasional, seperti WTO, APEC, dan AEC.
Liberalisasi juga dipandang sebagai solusi terhadap krisis ekonomi Asia Timur
tahun 1997/1998.
Kecenderungan di atas
melahirkan tiga pola pergeseran dalam sistem perbankan Asia Timur, yaitu (1)
Perubahan struktur portofolio dari dominasi kredit korporasi ke konsumer dan
ritel. (2) Kombinasi antara peranan perbankan swasta dan pemerintah. (3)
Semakin besarnya peranan bank asing di Asia Timur (McCauly dan Hobson, 1999).
Perubahan di atas melahirkan
beberapa isu krusial, seperti ketimpangan alokasi kredit antara kredit konsumsi
dan investasi, konsolidasi perbankan yang menggeser kepemilikan bank dari
dominasi pemerintah ke swasta, serta kehadiran lembaga keuangan asing dalam
industri perbankan nasional.
Permasalahannya,
liberalisasi keuangan yang dipraktikkan di negara-negara Asia Timur bersifat
tak simetris (asymmetric liberalization).
Ini tecermin pada perbedaan derajat keterbukaan sistem perbankan setiap negara,
di mana Indonesia merupakan negara dengan derajat keterbukaan (derajat
liberalisasi) paling tinggi.
Liberalisasi Asimetris
Liberalisasi keuangan
merupakan bagian integral dari liberalisasi ekonomi. Liberalisasi keuangan
mengurangi secara signifikan peranan pemerintah dalam industri keuangan.
Kebijakan ini bertujuan meningkatkan akses pelaku usaha baik domestik maupun
asing terhadap industri keuangan sehingga terhindar dari represi finansial (McKinnon, 1973).
Pengalaman Brasil
menunjukkan, liberalisasi yang ditandai meningkatnya peranan perbankan asing
(kantor cabang bank asing ditambah bank lokal milik asing) yang mencapai
sekitar 40 persen dari sisi permodalan tak membuat kedalaman sistem keuangannya
semakin baik. Rasio kredit perbankan terhadap PDB Brasil baru sekitar 43 persen
pada 2009.
Demikian juga Indonesia
dengan derajat keterbukaan sistem keuangan paling besar memiliki rasio kredit
terhadap PDB sekitar 29,62 persen tahun 2011. Hal ini hanya lebih baik dari
Laos dan Kamboja yang rasionya 20,4 persen dan 27,6 persen. Indonesia jauh
tertinggal dibandingkan Singapura 128,6 persen, Malaysia 117,6 persen, dan
Thailand 92,97 persen (MAS, 2012). Fakta ini menunjukkan kehadiran bank asing
di Indonesia dan sejumlah negara berkembang lain tak membuat alokasi kredit,
khususnya ke sektor produktif, lebih baik. Bank asing, termasuk bank lokal
milik asing, hanya ikut bersaing menyalurkan kredit di segmen konsumer dan
ritel.
Penetrasi perbankan asing juga
berdampak pada perubahan porsi kepemilikan bank di Indonesia yang telanjur
memberikan peluang bagi pihak asing memiliki 99 persen saham perbankan lokal.
Tak bisa dihindari, kurang lebih 55,32 persen aset perbankan nasional dikuasai
asing hingga akhir 2011 (IRB, 2012). Bank- bank asing memiliki kemudahan
mengembangkan segmen bisnisnya di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada kian
ketatnya persaingan antarbank dalam memperebutkan nasabah di daerah perkotaan.
Penyaluran kredit perbankan menjadi semakin terkonsentrasi ke sektor konsumer
dan korporasi besar.
Perkembangan di Indonesia
sangat kontras dengan China di mana empat bank BUMN China menguasai sekitar 60
persen pangsa pasar perbankan nasionalnya. Bahkan, otoritas China secara
periodik menginjeksi modal bagi bank pemerintahnya untuk pertahankan pangsa
pasar (McCauly dan Hobson, 1999).
Mengelola Liberalisasi
Peranan perbankan asing
dalam industri perbankan nasional yang sangat besar tak sejalan dengan
kecenderungan di kawasan lain, seperti Asia Pasifik yang porsinya kurang dari
10 persen, Eropa Timur, Timur Tengah, dan Afrika sekitar 15 persen. Kondisi
Indonesia relatif sama dengan Amerika Latin yang porsi bank asingnya mencapai
50 persen.
Kehadiran perbankan asing di
Indonesia dipicu kemudahan proses perizinan bank dengan prinsip single license. Bank Asing leluasa
membuka kantor cabang dan menempatkan ATM hingga ke daerah. Pada saat yang
sama, hampir semua negara anggota ASEAN menerapkan prinsip perizinan bertingkat
(multiple license).
Tak berlaku asas resiprokal,
yaitu kesetaraan perlakuan antara bank asing di Indonesia dan bank lokal di
negara asal bank bersangkutan. Idealnya, Indonesia menerapkan pendekatan one on one agreement, yaitu jika
perbankan asing membuka satu kantor cabang dan ATM di Indonesia, bank asal
Indonesia juga wajib memperoleh perlakuan yang sama dalam membuka kantor cabang
dan ATM di negara asal bank asing.
Dengan demikian, perubahan
UU Perbankan yang sedang dibahas di DPR seharusnya menyentuh beberapa hal
pokok: perubahan substansial terkait paradigma kebijakan dari yang sangat
liberal (derajat keterbukaan tinggi) jadi sedikit lebih ketat. Misalnya dengan
mengurangi porsi asing dalam kepemilikan perbankan nasional dari 99 persen
menjadi sekitar 50 persen. Langkah ini sejalan negara lain, seperti Malaysia
yang hanya mengizinkan kepemilikan asing 10 persen untuk individu dan 20 persen
untuk institusi, Vietnam 30 persen, dan Brasil 50 persen. Bahkan Singapura
mewajibkan persetujuan MAS hanya untuk memiliki aset bank lokal di atas 5
persen.
Mengatur penetrasi bank
asing sehingga bersifat komplementer dengan arah pengembangan industri
perbankan nasional. Misalnya dengan mengarahkan bank asing untuk menutupi
kekurangan industri perbankan lokal dalam hal pembiayaan infrastruktur.
Pengaturan ini juga akan mengeliminasi contagion
effect (efek tular) ketika terjadi krisis di negara asal bank asing.
Sebagai langkah pengamanan terhadap perekonomian nasional, perlu pengaturan
mengenai larangan kepemilikan tunggal (single
ownership), termasuk oleh pihak asing. Tujuannya meningkatkan kontrol
terhadap aktivitas perbankan nasional sehingga terhindar dari masalah salah
kelola seperti yang terjadi pada periode sebelum krisis ekonomi tahun
1997/1998. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar