Jokowi,
Pencapaian yang Bermakna
Yudi Latif ; Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS,
17 Juli 2012
Pasangan Joko Widodo
(Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum tentu memenangi pemilihan
gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta. Kalaupun terpilih, mungkin melalui dua
putaran, belum tentu juga berhasil memimpin Jakarta. Meski begitu, keberhasilan
pasangan ini meraih suara terbanyak pada pemilihan lalu, menurut versi quick
count (hitung cepat) kebanyakan lembaga survei, menandai perkembangan
penting dalam cara warga negara memilih pemimpinnya.
Jokowi bukanlah nama yang
menjulang di langit Jakarta. Dia hanyalah seorang wali kota dari ratusan wali
kota di Indonesia. Dia juga bukanlah seseorang dengan tampang memesona sehingga
tak ada gunanya mematut-matut diri di depan cermin seraya bergumam, ”cakep juga
aku ini”, lantas merasa pantas jadi pemimpin. Dana kampanyenya pun tak bisa
dikatakan berlimpah, setidaknya bukanlah kandidat dengan pengeluaran terbanyak.
Modal utamanya praktis
mengandalkan rekam jejaknya sebagai Wali Kota Solo, yang melambungkan namanya
sebagai salah seorang wali kota terbaik di dunia. Faktor otoritas dirinya ini
bersahutan dengan sikap kejiwaan sejumlah besar warga Jakarta, yang terdidik
dan melek informasi, yang bisa memilih dengan timbangan nalar obyektif tanpa
terlalu dibebani sentimen primordial. Bahwa problem Jakarta dengan segala
keruwetannya tak bisa diatasi oleh seorang pemimpin yang hanya mengandalkan
sentimen agama, etnis, dan aliran, tetapi perlu pemimpin dengan bukti prestasi.
Rekam jejak memang tidak bisa memastikan masa depan, tetapi itulah satu-satunya
kepastian yang bisa jadi ukuran dalam menakar kualitas calon pemimpin.
Pencapaian Jokowi bisa
dijadikan model penyusunan institusi dan perilaku demokrasi. Dalam desain
institusi pemilihan ke depan, pencalonan para pejabat negara harus diambil dari
mereka yang telah menunjukkan prestasi dan kontribusinya kepada bangsa dan
negara. Bupati/wali kota yang telah berhasil menunaikan tugasnya di suatu
tempat bisa direkrut menjadi calon gubernur di mana saja di semua provinsi di
Indonesia. Kerangka institusi ”putra daerah” hanyalah kerangkeng untuk
melanggengkan ”mediokrasi” (pemerintahan oleh orang rata-rata). Dalam tradisi
kekuasaan di lingkungan Bugis-Makassar, krisis kepemimpinan yang dialami oleh
suatu kerajaan bisa saja diatasi dengan meminang seorang raja dari kerajaan
lain yang terbukti keberhasilannya. Dan, penyusunan institusi demokrasi
Indonesia saat ini tidak bisa lebih terbelakang dari itu.
Di sisi lain, betapapun
bagusnya kualitas kandidat, tidaklah menjadi kekuatan elektoral tanpa kualitas
warga pemilih. Warga negara tidak bisa mengeluhkan buruknya mutu kepemimpinan
politik selama tak menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab. Civic
engagement dalam usaha menghukum pemimpin yang buruk dan meluaskan dukungan
terhadap pemimpin yang bermutu merupakan prasyarat penting dalam transformasi
watak kekuasaan.
Transformasi dalam watak
kekuasaan hanya bisa terjadi jika aspirasi warga menyambung ke dalam pilihan
dan perilaku politik. Harus ada jaminan bahwa para pejabat yang mewakili rakyat
dapat menjalankan amanah rakyat secara bertanggung jawab. Agar terikat pada
amanah rakyat, pejabat itu harus dipilih oleh akal sehat warga negara. Dengan
dipilih oleh rakyat, mereka diharapkan akan menjalankan kekuasaan secara
bertanggung jawab dan tersedia sarana untuk menghukumnya jika mengabaikan
amanat rakyat, yakni dengan tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya.
Untuk mencapai harapan
tersebut, demokrasi memerlukan suatu proses yang memenuhi standar kriteria agar
pemerintahan dapat melibatkan partisipasi seluruh warga secara setara. Robert
Dahl menggariskan lima kriteria minimum agar suatu negara bisa dianggap demokratis.
Pertama, partisipasi efektif (effective
participation). Setiap warga harus memiliki kesempatan setara dan efektif
untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui oleh warga lain.
Kedua, kesetaraan memilih (voting equality). Setiap warga harus
memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk memilih dan semua pilihan
harus dihitung secara setara.
Ketiga, pemahaman tercerahkan (enlightened understanding). Setiap warga
harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk mempelajari alternatif
kebijakan yang relevan serta kemungkinan akibat-akibatnya.
Keempat, pengendalian agenda
(control of the agenda). Setiap warga
harus memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana dan apa saja yang harus
ditempatkan dalam agenda kebijakan. Kelima, pelibatan setiap orang dewasa (inclusion of adults). Setiap warga yang
dewasa harus diberi hak secara penuh untuk keempat kriteria di atas.
Guna memenuhi kriteria
tersebut, institusi pemilihan kita harus ditata ulang. Sistem pemilihan yang
mendorong penggelembungan modal finansial tidak kondusif bagi perwujudan
kesetaraan partisipasi warga dalam politik. Sistem yang lebih menekankan daya-
daya ”alokatif” (modal finansial) ketimbang daya-daya ”otoritatif” (kapasitas
manusia) membuat demokrasi tidak seiring dengan meritokrasi, yang melahirkan
krisis kepemimpinan politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar