Senin, 16 Juli 2012

Jokowi Memang Tidak Setengah Hati

Jokowi Memang Tidak Setengah Hati
M Sobary ; Budayawan
SINDO, 16 Juli 2012


Penampilan Jokowi kelihatan agak “memelas”, seperti anak hilang. Mungkin seperti anak Solo hilang di Jakarta. Tapi, penampilan tidak penting baginya.

Dia tidak hilang,tidak “keder”, tidak gentar menghadapi Jakarta yang tak seramah Solo. Dia tidak menjual penampian. Terkutuklah penampilan yang menipu rakyat. Maka dia tak perlu punya jambul, tak perlu “rapi jali”,dan tak perlu kumis Abang Jampang. Dia juga tak perlu bicara dengan tata bahasa yang runtut. Tata bahasa tak enak dimakan, dan tak bisa diubah menjadi pelayanan publik yang prima. Dia tahu, yang diperlukan seorang pejabat,juga seorang calon gubernur, ialah tata kerja. Kita biasa menyebutnya dengan nama lain: kinerja. Dan hasil kerja.

Bukan hasil menjual potret diri. Maka jelaslah, dia tak merasa perlu “mejeng” di pojokpojok strategis di Kota Jakarta. Calon gubernur bukan peragawan, bukan artis yang menempatkan kompetensi tertingginya pada penampilan di foto.Tidak layak calon gubernur mengikuti contoh buruk dan menjemukan dari orang lain yang selalu memasang foto di setiap tempat strategis dengan biaya uang rakyat. Uang rakyat harus dikembalikan pada rakyat dalam bentuk program. Jangan pernah terlintas buat memasang foto yang tak ada gunanya, tapi mahal biayanya.

Penampilan, pendeknya, bukan pertaruhannya. Jokowihanya “menjual”dan “mempertaruhkan”kompetensi teknis yang sangat diperlukan di dalam birokrasi,dan kesadaran bahwa Jakarta bukan Solo. Dua hal ini kata kunci.Jika dua hal ini dilaksanakan,dan bukan hanya “diomongkan”, besarlah maknanya bagi warga Jakarta. Jokowi bukan “man of words”, bukan pengobral janjijanji kosong.Dia bukan pula jenis“ man of thought”,melainkan “man of action”. Apa “action” tak membutuhkan “thought”? Ya,ya,benar.“Thought”diperlukan, tapi dia tak berlagak jadi pemikir dan ingin dikenang sebagai pemikir.

Dia lebih sederhana: kerjakan sesuatu yang bagi mayoritas manusia di dunia yang fana ini terasa mustahil, tapi bisa menjadi riil.Tugas pemimpin memang membikin apa yang mustahil menjadi riil macam itu.Itulah “special stamp”pada diri Jokowi. Dia itu “semut” yang gigih bekerja, siang dan malam, untuk menjadi “ibadahnya”yang autentik. Seorang pemimpin, ibadahnya ada dan jelas tampak, dalam kerja.Nyanyi tidak perlu.Apalagi jika hanya bakal menjadi “nyanyi sunyi”: tanpa kerja tanpa bukti.

Untuk apa tahta megah itu jika dibuang-buang hanya jadi larik-larik tembang dan puisi yang tak mengandung arti? Bukan putra daerah? Ini penting. Betul isu putra daerah itu sensitif. Tapi marilah kita renungkan dengan teduh.Di Papua,di Aceh,di Riau, dan di beberapa wilayah yang relatif homogen, ide mengenai putra daerah menjadi syarat mutlak. Dasarnya, putra daerah harus diberi kesempatan berkembang menjadi pemimpin. Kita curiga,kalau bukan putra daerah, dedikasi dan kesungguhannya mengabdi pada daerah itu jangan-jangan tidak maksimal. Putra daerah di Jakarta, saudara-saudari kita etnis Betawi? Harus, hak mereka harus dihormati.

Tapi begini: di Kota Jakarta ini penikmat pelayanan publik mayoritas pendatang. Jelaskah pendatang ya pendatang.Mereka bukan warga masyarakat yang lahir di situ dan berkembang di situ.Tapi, siapa pun Gubernur DKI, dia bakal merumuskan kebijakan yang mau tak mau dinikmati bukan hanya oleh warga Betawi, melainkan oleh lebih luas lagi kalangan dalam masyarakat, yang namanya pendatang itu.

Pendatang etnis Jawa besar sekali jumlahnya. Maka, jika dengan kaku kita bicara perlunya putra daerah yang menjadi gubernur,apa jadinya bila sang pendatang yang menang karena dipilih oleh para pendatang, semua etnis yang kumpul di Jakarta, yang jauh lebih banyak dibanding putra-putri patriotik etnis Betawi? Wah.Repot sekali memang. Tak enak betul bagi warga Betawi. Jakarta ini sudah terbentuk menjadi kota tempat semua etnis berkumpul. Jakarta sudah telanjur menjadi kota metropolitan, yang mengayomi warga Betawi dan semua warga lain, yang– sekali lagi–bila dicacah jiwa, jumlahnya jauh lebih besar dari warga etnis Betawi.

Apa boleh buat.Obat penenang kita,bukan putra daerah, melainkan memakmurkan daerah itu, apa cacat-celanya? Sebaliknya,putra daerah–atau yang dianggap putra daerah– dipilih menjadi gubernur, tapi tak membuat sedikit pun loncatan sejarah,yang agak penting,dan menandakan bahwa dia punya dedikasi dan cinta pada daerahnya, lalu apa relevansinya? Secara politik kita puas karena Gubernur memang putra daerah.Tapi bila kepuasan politik itu kosong, artinya tak disertai dengan kepuasan ekonomi, enakkah politik dimakan?

Kita hidup di dunia nyata, di mana ekonomi dan unsurunsur lain bagi kesejahteraan warga,menjadi begitu penting. Jokowi, yang bukan putra daerah, tapi punya “track record” meyakinkan dalam sejarah perjalanan karier politiknya, siap mengubah apa yang mustahil menjadi nyata. Kelihatan, dia tidak mainmain. Dia tak setengah hati untuk memenuhi kehendak warga Betawi–termasuk pendatang– agar perubahan baru terjadi.Warga Jakarta membutuhkan perubahan.

Kelihatannya, Jokowi jawabannya. Jika ada gubernur kehilangan pekerjaan, niscaya perubahan terjadi dalam pengertian positifnya. Kalau Jokowi sendiri sadar bahwa menjadi gubernur DKI berarti mengabdi Indonesia, dan memberi teladan bagi kita bahwa pengabdian politik tak boleh pilih kasih, apa akibatnya? Jelas, akibatnya, Jokowi tak bakal setengah hati memikirkan warga etnis Betawi agar mereka pun bahagia, sejahtera.

Ada yang bakal menolak “kesejahteraan” yang dibuat Jokowi, semata karena dia seperti anak hilang, tanpa jambul, tanpa kumis Abang Jampang, dan tidak “rapi jali”? Warga Jakarta–juga etnis Betawi– bukan orang-orang sentimental, naif, dan gampang kecewa. Dari siapa pun datangnya, pelayanan publik yang baik tetap baik. Bila ditanya, “Siap Wi?” Saya yakin jawabnya, “Pripun malih?” (Gimana lagi?). Maksudnya, dia siaaaap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar