Jumat, 06 Juli 2012

Jalan Terjal Revolusi Mesir


Jalan Terjal Revolusi Mesir
Novriantoni Kahar ; Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina,
Redaktur Jurnal Ulumul Qur’an
KOMPAS, 06 Juli 2012


Berbeda dengan situasi Tunisia yang relatif halus dan mulus, transisi demokrasi di Mesir jauh lebih kasar dan gegap gempita. Saling percaya dan sepakat antarelite politik sulit dicapai. Militer lebih campur tangan dalam politik. Aroma intrik antar-kekuatan politik begitu kuat. Kaidah bahwa demokrasi merupakan the only game in town masih belum kukuh.

Marc Lynch, profesor ilmu politik dan hubungan internasional Universitas George Washington, menyebut proses demokrasi Mesir seperti permainan bola Calvin dalam serial kartun Calvin and Hobbes buatan Bill Watterson (Foreign Policy, 18 Juni 2012).
Unsur penting dalam permainan ini adalah tiadanya aturan main yang baku atau aturan dibuat sambil lalu. Setiap pemain dapat menjadi kawan dan lawan sekaligus. Tak perlu tim dan adanya gol. Siapa saja bebas memasukkan bola ke gawang lawan atau gawang sendiri. Satu-satunya kaidah baku: ia harus aneh dan menyalahi semua kaidah baku. Dan, kelebihan utamanya, permainan ini jangan sampai membosankan.

Dalam konteks Mesir, permainan bola Calvin tampak membosankan dan kehilangan pola baku dalam kaidah-kaidah masa transisi. Ikhwan memulai langkah dengan rendah hati.
Sebelum pemilu legislatif, slogan mereka musyarakah la mughalabah. Kami hendak berpartisipasi dalam demokrasi, bukan menghegemoni. Kalaupun menang kontestasi, kami tak akan mengambil semua posisi. Ikrar tak akan mencalonkan kandidat presiden pun ditandaskan Ikhwani. Eh, tahu-tahu mencalonkan juga dan menang pula.

Dewan Tertinggi Militer pun punya permainan sendiri. Mereka berjanji hanya akan mengawal Mesir masa transisi. Dalam perjalanannya, intrik-intrik pun mereka unggah. Kadang-kadang bernegosiasi dengan Ikhwani, di lain waktu membuat gertakan melawan mereka. Suhu politik dinaik-turunkan sesuka hati. Isu kudeta, pembubaran sepertiga anggota parlemen, penerbitan konstitusi sementara: semua kartu bisa keluar kapan saja.

Toleransi Kembar

Intinya, proses transisi Mesir ke arah demokrasi kehilangan rasa saling percaya, tsiqah, antar-berbagai faksi yang terlibat di dalamnya. Untuk membedakan transisi Mesir dan Tunisia, Alfred Stefan menyebut gaibnya etos twin toleration yang membuat konsensus sulit tercapai di antara aktor-aktor politik Mesir masa transisi.

Yang dimaksud dengan toleransi kembar di sini adalah toleransi dua arah. Masyarakat yang religius seperti Ikhwani mengakui bahwa demokrasi adalah ikhtiar manusia yang daif mengatur hubungan baik antarmanusia dalam kehidupan bernegara. Walau bukan ketentuan Tuhan, segala prinsip agung demokrasi—seperti kesetaraan antarsemua warga negara dan penghormatan atas minoritas—tetap harus dijunjung juga.

Di lain sisi, negara juga perlu menghargai nilai-nilai dan kepercayaan suatu masyarakat yang religius. Tidak seperti pola sekularisme garis keras Turki dan Perancis, toleransi kembar mensyaratkan negara memberi tempat yang proporsional bagi aspirasi dan ekspresi religius suatu masyarakat (Journal of Democracy, April 2012).

Bagi Stefan, etos seperti ini penting dalam konteks Timur Tengah karena ia lebih mungkin mengantarkan mereka ke suatu negara demokrasi liberal karena toleransi kembar beranjak dari penampikan terhadap teokrasi dan penghormatan terhadap demokrasi.

Masyarakat religius yang suka memaksakan kehendak tidak pernah bagus bagi demokrasi, sementara klaim militer untuk melindungi demokrasi dari bajakan masyarakat religius biasanya bukanlah demi demokrasi itu sendiri.

Namun, di Mesir kini etos toleransi kembar ini tampak masih jauh dari hakiki. Kesepahaman yang cukup antar-berbagai faksi dalam masyarakat politiknya masih sangat minimum. Bahkan, yang sangat menonjol adalah rasa saling curiga bahwa satu kelompok akan mengenyahkan aspirasi dan eksistensi kelompok lain.

Ini berbeda sekali dengan kasus Tunisia, di mana kesepahaman antarfaksi telah terbangun sejak dini. Kubu Islamis yang dominan di Tunisia saat ini, Partai Al-Nahdah, telah lama menunjukkan iktikad baik dan mampu melegakan faksi-faksi lain untuk bekerja sama dalam koalisi pemerintahan masa transisi.

Sinyal Buruk dari Mursi

Di Mesir sinyal buruk justru kini datang dari presiden terpilih dari kubu Ikhwani, Muhammad Mursi. Alih-alih mengukuhkan rasa percaya antarfaksi, Mursi justru menambah rasa cemas, terutama bagi kubu yang berseberangan ideologi dengan mereka yang kini berkuasa.

Di Lapangan Tahrir, 29 Juni lalu, ia justru mendesak Amerika Serikat melepaskan Omar Abdul Rahman, tawanan terorisme yang pernah memfatwa mati intelektual Mesir, Farag Fouda, di era 1980-an.

Bagi saya, orasi Mursi yang berapi-api di Tahrir Jumat lalu justru memberi sinyal buruk 
tidak hanya bagi proses rekonsiliasi berbagai faksi dalam negeri, tetapi juga kepada dunia. Pesan yang bisa ditangkap: Ikhwani belum banyak berubah.

Ini berbeda sekali dengan sikap petinggi Partai Al-Nahdah yang sejauh ini mampu membangun Tunisia untuk semua. Rachid Ghannouchi yang mengaku partainya lebih mirip Partai Keadilan dan Pembangunan Turki lebih mampu bersikap luwes dalam politik sekaligus progresif dalam berideologi.

Dengan membaca sikap Ghannouchi dalam berbagai isu keagamaan di alam demokrasi, orang tak syak lagi percaya bahwa ia reformis dan demokrat sejati. Jika Ikhwan selalu mendua dalam menyikapi persoalan jender dan minoritas agama, Ghannouchi justru menggambarkan dirinya sebagai an advocate of absolute equality of men and women, penganjur kesetaraan absolut antara laki-laki dan perempuan (Rachid Ghannouchi, A Democrat Within Islamismism, 2001).

Dalam proses transisi ini ia pun berjanji tak akan mencabut Undang-Undang Perkawinan Tunisia, yang mungkin paling progresif di dunia Islam, sekaligus berkomitmen untuk menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan beragama.

Sementara itu, Ikhwani yang tampak sampai saat ini baru pragmatismenya dalam politik kekuasaan. Mereka belum mampu menunjukkan bahwa pragmatisme politik mereka telah didasarkan oleh perenungan-perenungan ulang atas ideologi lama mereka.

Dalam The Arab Awakening and Transformation of Middle East (2011), Shadi Hamid menunjukkan bahwa pragmatisme politik seperti ini bisa berjalan dua arah. Ia mungkin saja membuat Ikhwani semakin lentur dalam prinsip-prinsip ideologi mereka, tetapi juga mungkin menggiring mereka ke posisi yang semakin keras.

Jika arah kedua ini yang berlaku di kalangan Ikhwani, Mesir bisa jadi masih akan melalui jalan yang terjal menuju demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar