Kamis, 05 Juli 2012

Pertarungan Koalisi Elite Predatoris

Pertarungan Koalisi Elite Predatoris
Airlangga Pribadi ; Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga,
Kandidat PhD Asia Research Centre Murdoch University
MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2012


KETUA Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan ratusan kader partai pada 13 Juni lalu melontarkan sebuah statement yang menegaskan, siapa pun kader yang tak sanggup menjalankan politik santun, cerdas, dan bersih agar keluar dari partai.

SBY memperkuat pernyataannya dengan menandaskan agar tak boleh ada satu pun kader partai yang berniat melakukan tindakan korupsi. Apabila dibaca sekilas, pernyataan SBY tersebut seakan-akan merupakan sebuah titik berangkat baru bagi program pemberantasan korupsi yang akan membidik kader Demokrat sendiri.

Statement ini menjadi santer gaungnya, apalagi dikaitkan dengan isu panas yang saat ini merebak terkait dengan dugaan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tersangkut kasus korupsi proyek Hambalang.

Benarkah pernyataan SBY beberapa waktu lalu menjadi penanda bagi pemberantasan korupsi yang autentik dan terlepas dari pertarungan kepentingan kekuasaan? Sebab yang dihantam ialah mereka yang berada di internal Demokrat. Sepertinya persoalan yang muncul tak sesederhana itu.

Berbeda dengan pandangan umum yang banyak menyeruak setelah bergulirnya pernyataan SBY tersebut, saya pikir pemberantasan korupsi dalam artian yang sesungguhnya yang terlepas dari pertarungan di antara koalisi politisi-pengusaha di Indonesia masih jauh perjalanannya.

Bukankah sinyalemen SBY tersebut telah memperlihatkan iktikad baiknya untuk melakukan `bersih-bersih' yang dimulai dari rumah politiknya sendiri. Pandangan yang membenarkan hal itu melupakan sebuah konstatasi utama dalam arena perpolitikan di Indonesia bahwa problem korupsi bukanlah problem yang berada di luar lingkungan kelembagaan politik. Namun bersifat struktural yaitu menubuh dalam proses adaptasi, penyesuaian, dan modus untuk eksis dan bertahan bagi kekuatan-kekuatan oligarki politik di era Indonesia pascaotoritarian.

Pemahaman akan realitas politik Indonesia pascaotoritarian dan problema korupsi di dalamnya hanya bisa dipahami ketika kita memaknai institusi politik di Indonesia tidak sebagai sebuah bejana indah yang bebas kepentingan.

Namun pada partai politik, ruang parlemen dan pada relasi di antara lembaga trias politica itulah penggelaran pertarungan kekuasaan berlangsung di antara koalisi-koalisi elite politik untuk menghantam dan memangsa rivalnya.
 
Itulah mengapa kontestasi politik yang tengah berlangsung di Indonesia disebut sebagai pertarungan di antara koalisi elite predatoris.

Perluasan Konflik Politik

Demikian pula sinyalemen Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu juga semestinya tidak dibaca dalam konteks sebuah implementasi politik yang santun dan bersih, bebas dari pertarungan di antara kekuatan politik.

Di balik itu semua, dalam pakem ruang politik di Indonesia, maka pertemuan silaturahim antara pendiri dan deklarator partai tersebut dapat dibaca sebagai; pertama, merupakan perluasan konflik politik di dalam faksionalisasi yang mengkristal di internal partai. Kedua, kegagapan pusat oligarki Demokrat sekaligus penye penyelenggara utama pemerintahan Indonesia dalam merespons turunnya legitimasi warga negara terhadap mereka.

Perluasan konflik politik di internal partai ini terjadi sebagai bentuk dari kere keresahan pusat oligarki internal Demokrat dalam mengelola dinamika persaingan di antara para kader politiknya. Naiknya Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dipandang dalam konstelasi ruang olitik oligarki di Indonesia sebagai sebuah konsekuensi yang tidak dipertimbangkan dalam proses politik yang tak terkelola dengan baik. Ada suatu saat ketika panggung politik kekuasaan tidak terkuasai secara utuh oleh lapis utama kekuasaan di internal partai, dan ketika momen ini terjadi maka aktor politik yang tampil dari pusaran turbulensi politik tersebut akan menjadi ancaman bagi penguasaan utuh partai politik oleh kekuatan oligarki politik.

Pada konteks bejana politik yang sarat dengan pertarungan koalisi elite politik inilah pertautan antara isu korupsi berjalin kelindan dengan tarikan-tarikan kepentingan politik.
Selanjutnya problem menurunnya dukungan politik dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan SBY maupun Demokrat bukanlah ibarat `duri dalam sepatu mahal kalangan elite politik'. Problem meluruhnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan Demokrat adalah sebuah proses akumulasi yang berjalan susul-menyusul semenjak terkuaknya skandal Bank Century sampai tidak beresnya kinerja pemerintahan di berbagai sektor kementerian.

Menurunnya legitimasi politik tersebut lahir dari kontradiksi antara harapan warga negara akan hadirnya negara yang memiliki kapasitas untuk mengawal, menjaga, dan mengelola pembangunan ekonomi beserta politik redistribusi di wilayah kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian dan seterusnya, kontras dengan ketidakmampuan pemerintahan untuk memberikannya.

Demikianlah, saat kapasitas pemerintahan secara kolektif tidak mampu memberikan itu semua, maka satu hal yang dengan mudah akan dilakukan oleh penguasa yaitu mengorbankan punggawa yang telah melindunginya dari persoalanpersoalan yang menimpa dirinya seperti yang terjadi dalam kasus Century.

Tentu saja melihat lapisan terdalam politik di Indonesia dengan mencandra pertautan antara pertarungan di antara elite politik dan proses penyesuaian oligarki politik untuk bertahan dalam dinamika politik di Indonesia, tidaklah membuat kita mengabaikan pemberantasan kasus korupsi.

Meski demikian, apabila kita melihat ekspose terhadap pernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dengan cermat, kita akan menemukan bahwa bidikan kasus korupsi yang menimpa kader partai ini faktanya lebih sumir daripada kasus korupsi lainnya yang lebih besar dan secara jelas telah disepakati dalam ruang politik parlemen memiliki persoalan besar di dalamnya.

Dalam kondisi demikian bukan berarti bahwa masa depan demokrasi di Indonesia berada di titik suram. Namun yang patut kita cermati ialah bahwa jawaban terhadap persoalan struktural ekonomipolitik yang menjangkiti kehidupan demokrasi di Indonesia dapat diselesaikan ketika proses pertarungan politik sesungguhnya telah sampai pada titik kulminasi terjadinya pembelahan politik untuk merespons persoalan politik yang sesungguhnya, yaitu eksisnya oligarki elite di internal partai politik.

1 komentar: