Selasa, 13 Juli 2021

 

Bienial sebagai ”Think Tank” Peradaban Alternatif

Carla Bianpoen ;  Jurnalis dan Pengamat Seni Rupa Kontemporer

KOMPAS, 11 Juli 2021

 

 

                                                           

Biasanya sebuah bienial, perhelatan seni rupa dua tahunan, diburu pencinta seni, kolektor, dan pebisnis seni untuk melihat apakah ada karya ciptaan baru, baik secara ide, kekaryaan, maupun scalability. Namun, ketika Okwui Enwezor, kurator karismatik kelahiran Nigeria, menjadi kurator bienial di Venezia (Venice Biennale) pada tahun 2015, ia menginisiasi paradigma baru. Menentang orientasi Barat Venice Biennale selama itu, ia memberi artikulasi bahwa dunia tidaklah terdiri dari Eropa atau Barat semata, Okwui mengubah orientasi perhelatan internasional itu.

 

Di bawah tema ”All the World’s Futures”, Okwui memberi akses besar-besaran ke perupa Afrika yang selama itu belum pernah berpartisipasi di perhelatan Venice dalam jumlah yang banyak. Maka, karya-karya mereka yang banyak mengenai perlawanan, kekerasan, represi, yang secara visual kurang elok, banyak yang kurang menyukai dan kritik para pengamat Barat pun mencela kuratorial Okwui Enwezor. Namun, ada juga yang merasa senang.

 

Pada edisi Venice Biennale itu, paviliun nasional Indonesia diwakili oleh Heri Dono dengan karya besarnya ”Trokomod”, berupa kapal selam hybrid yang menyatukan ide Troja/Yunani dengan komodo Indonesia. Seperti Okwui Enwezor, Heri Dono pun menentang perspektif hegemoni Barat dan berpendapat bahwa sudah waktunya Indonesia ikut berbicara dalam percakapan global, bukan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang setara. Menjadi bagian dari kuratorial Okwui Enwezor menjadi catatan tersendiri.

 

Okwui Enwezor almahum (1963-2019) memang seorang pendobrak, yang banyak berupaya untuk mengubah persepsi mengenai dunia yang tidak adil. Edisi Venice Biennale 2015 tidak terlupakan karena untuk pertama kali karya-karya perupa Afrika ikut serta pada perhelatan seni rupa dengan karya jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

 

Saya teringat Okwui Enwezor lagi baru-baru ini ketika Gwangju Biennale ke-13 yang berlangsung 1 April-10 Mei 2021 tampak ingin mengubah pola pikir yang selama ini jarang mengikutsertakan budaya dan kearifan leluhur. Dua kurator perempuan—Defne Ayas, kelahiran Turki dan tinggal di Berlin dan Natasha Ginwala, kelahiran India dan tinggal antara India dan Berlin—menawarkan budaya pikir yang alternatif/komprehensif lewat penjelajahan karya yang meliputi semangat hidup manusia dan kearifan dari berabad-abad lamanya, mulai dari yang purba termasuk semangat syamanisme, budisme, feminisme, cerita rakyat, kearifan komunitas, sampai dengan pengetahuan sains dan teknologi terkini termasuk artificial intelligence dan neuroscience.

 

”Kami mencoba untuk masuk ke extended mind,” ungkap para kuator terkenal itu, menyatukan bentuk seni tertua dengan yang terbaru.

 

Cikal bakal Biennale Gwangju terletak pada revolusi demokratisasi di Korea Selatan, yang diperingati setiap dua tahun dengan menghimpun ide ide baru dan forwardlooking sebagai respons artistik di bawah visi kurator yang diundang.

 

Kearifan lokal

 

Menarik, bahwa kedua perupa Indonesia yang terpilih menawarkan karya yang memang merujuk ke komunitas dan tradisi serta sejarah dan kearifan lokal. Timoteus Anggawan Kusno (lahir 1989) dari Yogyakarta yang sudah terkenal dengan karya imajinernya mengenai Tanah Runcuk yang diperkirakan menjadi tanah runduk Hindia Belanda yang hilang, dan yang dijadikan suatu institusi imajiner yang membayangkan teks menjadi kenyataan imajiner di bawah rezim kolonial Belanda di Jawa.

 

Diberi commission untuk karya baru untuk edisi ke-13 Gwangju Biennale, Kusno yang banyak terilhami mitologi dan legenda maupun sejarah tanah Jawa, hubungan dengan kolonialisme serta kekerasan terkait, membuat sebuah instalasi yang ditempatkan di tengah suasana muram menyerupai suasana kuburan. Berjudul ”Shades of the Unseen”.

 

Karyanya menggugah untuk memikirkan segala pengalaman sejarah yang sampai kini belum juga ada penjelasan yang memadai. Ketidakpastian dan trauma kejadian di bawah kekuasaan kolonial maupun bangsa sendiri divisualkan dengan burung-burung gagak yang beterbangan mengelilingi sosok harimau berselimut yang terkapar di lantai (sebagai metafora misteri yang masih tertutup rapat). Cahaya puluhan lentera kertas dari berbagai asal budaya nyaris tidak memberi klarifikasi, malah membuat suasana lebih mencekam, merefleksikan keadaan di dunia nyata di mana ketidakpastian yang belum terungkap masih menghantui sebagai trauma masyarakat.

 

Tentu juga bukan kebetulan bahwa perupa Jumaadi (kelahiran 1973) terseleksi untuk ikut serta di bienial itu. Jumaadi yang tinggal di Sydney tapi masih bolak-balik ke kota kelahiran di Jawa Timur, studio di Imogiri dan komunitas di Kamasan, banyak membuat karya yang terinspirasi berbagai budaya dunia, tapi selalu merujuk ke budaya asal seperti wayang, menjalin dengan komunitas, dan mendalami kearifan lokal. Jumaadi, misalnya, membuat kanvas dari kain Bali yang tipis dan dilapisi dengan pasta bubur, yang khas Kamasan.

 

Kurator sebuah perhelatan seni internasional tampak semakin terbuka terhadap kenyataan, bahwa zaman hegemoni Barat sudah lewat. Malah perhelatan lima tahunan di Kassel, Jerman, seperti Documenta 15 berpaling ke Indonesia dan telah memilih kolektif seniman Indonesia, ruang rupa untuk memimpin kurasi pameran seni bergengsi yang akan dibuka di Kassel, Jerman pada 2022. Yang menarik adalah bahwa lumbung, tempat menyimpan hasil pertanian di masyarakat agraria, dijadikan konsep besarnya Documenta 15.

 

Melihat ke belakang, Jim Supangkat, kuator senior, menjadi kurator Indonesia pertama yang mulai meniti jalan menyetarakan konsep bienial. Edisi pertama (2003) menempatkan Indonesia on the map menurut NY Times waktu itu. Melati Suryodarmo sebagai kurator Jakarta Biennale 2017 dengan tema JIWA membuat gebrakan dengan mengikut sertakan tradisi bissu dari Sulawesi Selatan.

 

Bisakah bienial skala internasional menjadi pusat ide untuk persepsi peradaban yang sesuai dengan semangat waktu (Zeitgeist) yang berganti ganti? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar