Bienial
sebagai ”Think Tank” Peradaban Alternatif Carla Bianpoen ; Jurnalis dan Pengamat Seni Rupa Kontemporer |
KOMPAS, 11 Juli 2021
Biasanya sebuah bienial,
perhelatan seni rupa dua tahunan, diburu pencinta seni, kolektor, dan
pebisnis seni untuk melihat apakah ada karya ciptaan baru, baik secara ide,
kekaryaan, maupun scalability. Namun, ketika Okwui Enwezor, kurator
karismatik kelahiran Nigeria, menjadi kurator bienial di Venezia (Venice
Biennale) pada tahun 2015, ia menginisiasi paradigma baru. Menentang
orientasi Barat Venice Biennale selama itu, ia memberi artikulasi bahwa dunia
tidaklah terdiri dari Eropa atau Barat semata, Okwui mengubah orientasi
perhelatan internasional itu. Di bawah tema ”All the
World’s Futures”, Okwui memberi akses besar-besaran ke perupa Afrika yang
selama itu belum pernah berpartisipasi di perhelatan Venice dalam jumlah yang
banyak. Maka, karya-karya mereka yang banyak mengenai perlawanan, kekerasan,
represi, yang secara visual kurang elok, banyak yang kurang menyukai dan
kritik para pengamat Barat pun mencela kuratorial Okwui Enwezor. Namun, ada
juga yang merasa senang. Pada edisi Venice Biennale
itu, paviliun nasional Indonesia diwakili oleh Heri Dono dengan karya
besarnya ”Trokomod”, berupa kapal selam hybrid yang menyatukan ide
Troja/Yunani dengan komodo Indonesia. Seperti Okwui Enwezor, Heri Dono pun
menentang perspektif hegemoni Barat dan berpendapat bahwa sudah waktunya
Indonesia ikut berbicara dalam percakapan global, bukan sebagai obyek,
melainkan sebagai subyek yang setara. Menjadi bagian dari kuratorial Okwui
Enwezor menjadi catatan tersendiri. Okwui Enwezor almahum
(1963-2019) memang seorang pendobrak, yang banyak berupaya untuk mengubah
persepsi mengenai dunia yang tidak adil. Edisi Venice Biennale 2015 tidak
terlupakan karena untuk pertama kali karya-karya perupa Afrika ikut serta
pada perhelatan seni rupa dengan karya jumlah yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Saya teringat Okwui
Enwezor lagi baru-baru ini ketika Gwangju Biennale ke-13 yang berlangsung 1
April-10 Mei 2021 tampak ingin mengubah pola pikir yang selama ini jarang
mengikutsertakan budaya dan kearifan leluhur. Dua kurator perempuan—Defne
Ayas, kelahiran Turki dan tinggal di Berlin dan Natasha Ginwala, kelahiran
India dan tinggal antara India dan Berlin—menawarkan budaya pikir yang
alternatif/komprehensif lewat penjelajahan karya yang meliputi semangat hidup
manusia dan kearifan dari berabad-abad lamanya, mulai dari yang purba termasuk
semangat syamanisme, budisme, feminisme, cerita rakyat, kearifan komunitas,
sampai dengan pengetahuan sains dan teknologi terkini termasuk artificial
intelligence dan neuroscience. ”Kami mencoba untuk masuk
ke extended mind,” ungkap para kuator terkenal itu, menyatukan bentuk seni
tertua dengan yang terbaru. Cikal bakal Biennale
Gwangju terletak pada revolusi demokratisasi di Korea Selatan, yang
diperingati setiap dua tahun dengan menghimpun ide ide baru dan
forwardlooking sebagai respons artistik di bawah visi kurator yang diundang. Kearifan
lokal Menarik, bahwa kedua
perupa Indonesia yang terpilih menawarkan karya yang memang merujuk ke
komunitas dan tradisi serta sejarah dan kearifan lokal. Timoteus Anggawan
Kusno (lahir 1989) dari Yogyakarta yang sudah terkenal dengan karya
imajinernya mengenai Tanah Runcuk yang diperkirakan menjadi tanah runduk
Hindia Belanda yang hilang, dan yang dijadikan suatu institusi imajiner yang
membayangkan teks menjadi kenyataan imajiner di bawah rezim kolonial Belanda
di Jawa. Diberi commission untuk
karya baru untuk edisi ke-13 Gwangju Biennale, Kusno yang banyak terilhami
mitologi dan legenda maupun sejarah tanah Jawa, hubungan dengan kolonialisme
serta kekerasan terkait, membuat sebuah instalasi yang ditempatkan di tengah
suasana muram menyerupai suasana kuburan. Berjudul ”Shades of the Unseen”. Karyanya menggugah untuk
memikirkan segala pengalaman sejarah yang sampai kini belum juga ada
penjelasan yang memadai. Ketidakpastian dan trauma kejadian di bawah
kekuasaan kolonial maupun bangsa sendiri divisualkan dengan burung-burung
gagak yang beterbangan mengelilingi sosok harimau berselimut yang terkapar di
lantai (sebagai metafora misteri yang masih tertutup rapat). Cahaya puluhan
lentera kertas dari berbagai asal budaya nyaris tidak memberi klarifikasi,
malah membuat suasana lebih mencekam, merefleksikan keadaan di dunia nyata di
mana ketidakpastian yang belum terungkap masih menghantui sebagai trauma
masyarakat. Tentu juga bukan kebetulan
bahwa perupa Jumaadi (kelahiran 1973) terseleksi untuk ikut serta di bienial
itu. Jumaadi yang tinggal di Sydney tapi masih bolak-balik ke kota kelahiran
di Jawa Timur, studio di Imogiri dan komunitas di Kamasan, banyak membuat
karya yang terinspirasi berbagai budaya dunia, tapi selalu merujuk ke budaya
asal seperti wayang, menjalin dengan komunitas, dan mendalami kearifan lokal.
Jumaadi, misalnya, membuat kanvas dari kain Bali yang tipis dan dilapisi
dengan pasta bubur, yang khas Kamasan. Kurator sebuah perhelatan
seni internasional tampak semakin terbuka terhadap kenyataan, bahwa zaman
hegemoni Barat sudah lewat. Malah perhelatan lima tahunan di Kassel, Jerman,
seperti Documenta 15 berpaling ke Indonesia dan telah memilih kolektif
seniman Indonesia, ruang rupa untuk memimpin kurasi pameran seni bergengsi
yang akan dibuka di Kassel, Jerman pada 2022. Yang menarik adalah bahwa
lumbung, tempat menyimpan hasil pertanian di masyarakat agraria, dijadikan
konsep besarnya Documenta 15. Melihat ke belakang, Jim
Supangkat, kuator senior, menjadi kurator Indonesia pertama yang mulai meniti
jalan menyetarakan konsep bienial. Edisi pertama (2003) menempatkan Indonesia
on the map menurut NY Times waktu itu. Melati Suryodarmo sebagai kurator
Jakarta Biennale 2017 dengan tema JIWA membuat gebrakan dengan mengikut
sertakan tradisi bissu dari Sulawesi Selatan. Bisakah bienial skala
internasional menjadi pusat ide untuk persepsi peradaban yang sesuai dengan
semangat waktu (Zeitgeist) yang berganti ganti? Kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar