Sabtu, 17 Juli 2021

 

Belajar Memanusia

Iwan Pranoto ;  Guru Besar Institut Teknologi Bandung

KOMPAS, 15 Juli 2021

 

 

                                                           

Jika diketikkan ‘mencetak SDM’ di Google, akan berderet lebih dari satu juta rujukan terkait frasa ini. Penggunaan kata ‘mencetak’ dengan diimbuhi kata 'SDM’ seperti paket kombo lengkap dalam mendehumanisasi. Kata mencetak sudah mengeksploitasi, apalagi ini dieksplisitkan lagi dengan SDM.

 

Sumber daya manusia (SDM) dalam KBBI diartikan sebagai “potensi manusia yang dapat dikembangkan untuk proses produksi.” Istilah aslinya human resource, populer di abad ke-20.

 

Awalnya, istilah ini dicetuskan sebagai sebuah kiasan guna menghargai kapasitas manusia. Namun, seperti banyak istilah, harapan dan kenyataan kerap bertolak belakang. Dalam berjalannya waktu, yang terjadi justru esensi kemanusiaan dalam istilah itu semakin memudar. Ini yang dikritisi dengan tajam melalui makalah "A Human is not a Resource" (McGaughey, 2020). McGaughey menegaskan bahwa dengan istilah itu, manusia telah diturunkan derajatnya dan menjadi sumber, suplai, atau modal.

 

Dampaknya, tanpa direncanakan, “pembendaan” pekerja ini menyusupi akal dan menyebar di masyarakat. Istilah ini, lanjutnya, sekarang melumrah, bertebaran di judul buku teks, papan nama, istilah keseharian, dan menjadi penghela utama gig economy: gagasan keliru bahwa manusia merupakan sebuah sumber daya.

 

Penggunaan kata SDM tersebut sama sekali bukan urusan sepele. Menurut McGaughey, “Kata itu berpengaruh. Kata membawa makna.” Konyolnya, data menunjukkan, setiap kali prinsip utama dari teori 'sumber daya manusia' diterapkan sepenuhnya, hasilnya di capaian kemakmuran pekerja malah memburuk (Idem, 2020).

 

Rasanya tak mungkin ada ibu yang rela anaknya kelak menjadi sumber daya, sejajar dengan batubara atau bensin. Demikian pula seorang guru ataupun pemimpin institusi pendidikan sudah seharusnya gusar jika ada yang menginstruksikan siswa dicetak menjadi SDM.

 

Namun, pada sisi lainnya, sudah semestinya seseorang menjalani pendidikan untuk menerampilkan dirinya agar dapat bekerja dan mencukupi dirinya sendiri secara material dan finansial. Jadi, usaha mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja dan mencari nafkah merupakan hal sesuatu yang lumrah dan mulia.

 

Memanusia

 

Begawan pendidikan konstruktif Mochtar Buchori di masa hidupnya berkali-kali mengingatkan, pendidikan harus memfasilitasi pelajar untuk belajar menafkahi dirinya dan juga memuliakan kehidupannya.

 

Sekitar setengah abad sebelumnya, pemikir pendidikan dan Rektor IKIP Sanata Dharma, Pater N Driyarkara, memanggungkan istilah hominisasi dan humanisasi dalam pendidikan. Beliau menekankan perbedaan antara usaha seseorang menjadi hominid dan menjadi human. Menurut KBBI, hominid diartikan sebagai “suku yang mencakupi manusia dan makhluk mirip manusia yang telah punah.”

 

Tidak seperti hominid lain, manusia harus menjadi hominid dan manusia sekaligus. Seorang manusia harus mampu menghidupi dirinya secara badani dan sekaligus menumbuhkan dirinya menjadi manusia yang berperangai halus dan berbudi. Pendidikan (melalui keluarga, masyarakat, atau sekolah) sebagai sebuah kreasi peradaban bertugas memfasilitasi dua sasaran tersebut sekaligus.

 

Melalui perspektif kecerdasan, guru manajemen Stephen Covey merumuskan model manusia utuh secara lebih eksplisit dan operasional (Covey, 2004).

 

Menurutnya, seorang manusia dalam hidupnya harus dapat memenuhi empat kebutuhan pertumbuhan: badan, akal, hati, dan jiwa. Khususnya, seorang manusia perlu mampu menyediakan dirinya pangan, papan, sandang, dan juga menjaga kesehatan tubuhnya.

 

Kemudian, dia harus mampu serta tetap berhasrat untuk belajar dan mengasah akalnya. Dia juga perlu cakap merawat hubungan emosional serta sosial dengan masyarakat dan dengan dirinya sendiri. Yang terakhir, dia perlu merawat kesadaran agungnya untuk mewariskan dunia yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.

 

Namun, dengan semakin dahsyatnya pragmatisme, sasaran hominisasi dan humanisasi tadi tidak berjalan harmonis dalam pendidikan. “Di zaman teknologi ini,” kata Rama Driyarkara, “bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan perkembangan manusia” (Driyarkara, 2006, hlm. 363).

 

Perlu dicatat, kalimat itu sama sekali bukan berarti bahwa menjadi hominid tak penting, bahkan kurang penting dibanding menjadi manusia, tetapi setiap manusia perlu mengembangkan keduanya berbarengan. Pendidikan dari tataran paling dasar sampai paling tinggi perlu menjaga kemajuan, keterpaduan, dan keharmonisan dua sasaran tadi.

 

Pengajaran "dua rel"

 

Masalah yang muncul dalam praktik pendidikan bukan karena kedua sasaran tadi tak berkembang beriringan, tetapi justru pendidikan berjalan beriringan tetapi di dua jalur rel yang berbeda. Sekelompok siswa melalui satu jalur menyiapkan diri untuk segera masuk dunia kerja dan kelompok lainnya melalui jalur lainnya meneruskan mempelajari keilmuan lebih dalam dan lebih lama.

 

Akibatnya, segregasi dan pengkastaan melalui pendidikan, mau diakui atau tidak diaku, telah terjadi.

 

Di masa revolusi industri pertama, kedua, sampai ketiga yang dicirikan berturut-turut sebagai langkah memesinkan, memproduksi massal, dan mengotomasi; dunia industri dan perdagangan menganggap sistem pengajaran dua rel itu cocok dengan keperluan industri. Sampai abad lalu sejumlah kantor dagang, institusi komersial, bahkan organisasi buruh di beberapa negara industri, menyokong sistem pengajaran dual-track atau rel ganda tadi.

 

Sejumlah pendidik dan pebisnis pragmatis juga mengompori dengan pertanyaan apa gunanya siswa sekolah menengah, yang akhirnya akan memasuki jenis pekerjaan bergaji-rendah, perlu belajar lebih tinggi dari jenjang SMA?

 

Lebih jauh, mengapa mereka perlu belajar filsafat, sejarah, dan sastra? Ini rangkaian pertanyaan retorika yang sudah akrab di dunia pendidikan.

 

Dermawan Peter Thiel menyeriusi pertanyaan atau tantangan tadi dengan menawarkan “beasiswa” bagi para remaja cerdas yang mau meninggalkan pendidikan tinggi dan langsung berlatih mengembangkan usaha rintisan (start-up) berbasis web (Clynes, 2017). Ada yang mengritisi Thiel, tetapi cetusan idenya berhasil mengusik kemapanan pendidikan.

 

Menurut Presiden Universitas Harvard, Larry Summers, pendidikan tinggi memang perlu berubah, tetapi menggunakan dana filantrofi guna membujuk para pelajar untuk meninggalkan perguruan tinggi merupakan gagasan yang “sangat berbahaya.”

 

Di abad silam, pemikir dan pereformasi pendidikan paling berpengaruh AS, John Dewey, sudah menentang keras ide sistem pendidikan rel ganda ini. Pendidikan yang sekadar memuaskan permintaan “end user” akan memandang siswa sebagai konsumen playlist pengetahuan (Roth, 2012). Menurut Dewey, pengajaran rel ganda ini hanya akan memperparah ketimpangan.

 

Di dekade ketiga di abad ke-21 ini, sistem pengajaran dua rel itu semakin meragukan. Dunia hari ini dicirikan dengan laju perkembangan pengetahuan dan difusinya yang super pesat. Konsekuensinya, menurut teknolog John S Brown, waktu paruh pengetahuan dan keterampilan di zaman ini hanya lima tahun.

 

Brown menambahkan, di masa lalu, siklus mengadopsi pengetahuan/teknologi baru mengikuti tahap inovasi (penemuan), sindikasi (litbang), dan periode panjang difusi (masuk pasar) yang stabil dapat digambarkan seperti sebuah huruf ‘S’ besar. Itu zaman saat pengetahuan mencair lambat, tetapi sekarang pengetahuan mencurah deras.

 

Akibatnya, sekarang kurvanya terdiri dari rangkaian banyak kurva ‘S’ berukuran kecil. Jarak dari inovasi sampai difusi dan munculnya inovasi baru lain (substitusi) terjadi semakin singkat dan sering.

 

Periode grafik ‘S’ itu pada zaman inovasi TV berwarna lebih dari 70 tahun, tetapi sekarang komputer dengan ratusan peranti lunaknya sudah berkali-kali berganti hanya dalam 10 tahun. Dengan laju perubahan seperti itu, siswa dan pekerja dituntut menguasai pengetahuan baru seperti berenang di jeram yang aliran airnya kuat, cepat, dan berubah terus-menerus. Maka, seorang pekerja di zaman ini butuh terus belajar keahlian baru.

 

Bahkan, seseorang yang secara sengaja berlatih dengan kecakapan tertentu untuk sebuah pekerjaan spesifik pula tidak mungkin mampu bertahan di kariernya, yang sekarang lebih dari 60 tahun, tanpa belajar pengetahuan lain serta memutakhirkan keterampilannya.

Ini berarti pelajar yang mengikuti rel yang semula diarahkan untuk segera bekerja juga perlu mengembangkan dirinya dalam berpikir dan kecakapan umum lainnya, sama seperti temannya yang di rel pendidikan umum. Tak beda.

 

Sebaliknya, pendidikan tinggi umum seperti universitas semakin menginginkan lulusannya memiliki pengalaman praktik di dunia kerja sebelum lulus. Pelajar di institusi pendidikan umum juga diarahkan memahami praktik dunia industri secara nyata.

 

Tampak bahwa dua jalur di sistem pengajaran rel ganda itu sudah konvergen mendekat. Zaman pengetahuan-mencurah-deras ini telah membuat segregasi pengajaran dua rel tadi tidak sekontras di abad silam. Gairah dan terampil belajar untuk mengembangkan diri relevan bagi pelajar di jalur mana saja. Siswa di kedua rel sama-sama perlu belajar memanusia.

 

Akhirnya, apa pun strategi pembangunan yang digagas, manusia tidak boleh dijadikan sumber daya. Bahkan seorang manusia yang mungkin terlahir dengan kemampuan berbeda yang mungkin dianggap tidak cukup sebagai komponen “produktif” untuk industri, dirinya tetap seorang manusia yang sedang memanusia. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar