Sabtu, 17 Juli 2021

 

Memilih Takdir Baik di Era Pandemi

Biyanto ;  Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

KOMPAS, 15 Juli 2021

 

 

                                                           

Setidaknya ada tiga aliran penting yang membahas takdir dalam literatur tentang ilmu kalam (teologi). Tiga aliran itu adalah jabariyah (fatalism), qadariyah (free will atau free act), dan ahlus sunnah wal jamaah (middleism).

 

Aliran jabariah mengajarkan bahwa seluruh perbuatan manusia pada dasarnya telah ditentukan Tuhan sejak semula. Manusia seakan tidak memiliki pilihan dalam berbuat.

 

Sementara aliran qadariah menekankan pentingnya kebebasan manusia untuk memilih perbuatan baik atau buruk. Atas dasar itulah manusia dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya di hadapan pengadilan akhirat kelak.

 

Di tengah aliran jabariyah dan qadariyah yang ekstrem itu muncul mazhab tengahan (wasathiyah), yakni ahlus sunnah wal jamaah. Tokoh utamanya adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

 

Meski dua tokoh ini berbeda dalam beberapa hal, namun memiliki pandangan yang hampir sama dalam memosisikan perbuatan manusia di hadapan kekuasaan Tuhan.

 

Dua pendiri aliran ahlus sunnah wal jamaah itu menyatakan bahwa dengan daya dan kekuatan yang diberikan Tuhan, manusia memiliki pilihan dalam menentukan perbuatan. Pada konteks ini kita mengenal teori tentang ikhtiar atau usaha (kasb) manusia.

 

Respons tokoh agama terhadap Covid-19

 

Perspektif teologi itu penting untuk mencermati respons tokoh-tokoh agama terhadap berbagai ikhtiar dalam pengendalian pandemi Covid-19. Kata “pengendalian” dipilih karena itu berada dalam jangkauan ikhtiar manusia.

 

Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Covid-19 mulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021 merupakan bagian dari ikhtiar mengendalikan pandemi.

 

Ironinya, terjadi silang pendapat antar tokoh agama dalam merespons kebijakan PPKM. Perbedaan pendapat semakin mengeras jika kebijakan PPKM berkaitan dengan pembatasan pemanfaatan tempat ibadah. Sebagian tokoh agama bahkan ada yang mengaitkan kebijakan itu dengan murka Tuhan.

 

Pandangan ini memang tidak merepresentasikan keseluruhan tokoh agama. Sejumlah tokoh agama yang berhimpun di Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) justru mendukung kebijakan pemerintah dalam pengendalian pandemi Covid-19.

 

Mereka berpandangan bahwa kebijakan itu merupakan bagian dari ikhtiar menjalankan ajaran agama yang sangat fundamental, yakni menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs).

 

Karena itulah tatkala pemerintah memutuskan kebijakan PPKM, maka umat diimbau untuk mematuhi dengan penuh kesadaran. Kebijakan ini diberlakukan sejak terjadi lonjakan kasus Covid-19 pada tahun kedua pandemi.

 

Di sejumlah kampung yang jauh dari keramaian tetapi masuk zona merah, para pemimpinnya bahkan telah melakukan lockdown, yakni penutupan akses dari dalam atau luar desa.

 

Kebijakan ini memang tidak mudah, terutama bagi para pekerja harian. Musim pandemi sama sekali tidak menyurutkan langkah pekerja harian untuk beraktivitas. Mereka tetap keluar dari rumah seraya menyatakan; “Kami tidak takut Covid. Kami hanya takut anak-istri tidak makan.”

 

Jalan pikiran ini dapat dipahami karena mereka tidak memiliki banyak pilihan. Jika mereka berada di rumah, berarti tidak ada penghasilan. Dampaknya, kebutuhan hidup mereka terganggu. Untuk kelompok masyarakat ini pemerintah beserta elemen civil society harus terus-menerus memberikan perhatian agar mereka terjaga dari bahaya dan tetap berkehidupan layak.

 

Selama kebijakan PPKM, kegiatan keagamaan di luar rumah juga dibatasi. Umat diminta menahan diri dengan tak beribadah berjamaah di masjid, gereja, dan rumah ibadah lainnya. Kegiatan keagamaan yang melibatkan kerumunan massa juga harus dihentikan.

 

Pentingnya ikhtiar

 

Pada konteks ini penting mengikuti imbauan para ulama dan tokoh agama dari berbagai ormas keagamaan agar umat sementara waktu beribadah di rumah. Imbauan itu sejalan dengan ajaran; “Menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada mewujudkan kebaikan (Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih).

 

Umat perlu menempatkan keselamatan jiwa dan kesehatan diri di atas segalanya. Imbauan ini penting karena dalam beberapa hari ke depan umat Islam akan merayakan Idul Adha dan ibadah kurban.

 

Pelaksanaan Idul Adha dan ibadah kurban penting memerhatikan panduan yang sudah dirumuskan pemerintah dan ormas keagamaan.

 

Dalam kondisi darurat Covid-19, umat harus berpikir dengan kaidah: “Semua orang pada dasarnya sakit, kecuali yang telah terbukti sehat.”

 

Pola pikir ini penting untuk menjaga diri supaya tidak tertular virus korona. Sebab, secara fisik tidak dapat dibedakan siapa yang terkena virus dan siapa yang tidak.

 

Menjaga diri agar terhindar dari wabah berbahaya merupakan ikhtiar yang rasional. Dalam situasi wabah yang pandemik, jangan ada agamawan yang menantang takdir seraya berpikiran fatalistik. Mereka selalu menyatakan bahwa hidup, mati, sehat, sakit, dan rezeki merupakan takdir Tuhan.

 

Mereka yang berpandangan fatalistik juga mengritik fatwa ulama dan ormas keagamaan yang menyerukan umat agar beribadah di rumah. Mereka yang berfatwa agar masjid dan musala ditutup selama musim pandemi bahkan dikatakan sebagai paranoid.

 

Pandangan tersebut sangat berbahaya karena berdasarkan hukum Tuhan (sunnatullah), seseorang akan sakit jika tidak menjaga diri dan berbudaya hidup sehat. Itu berarti kondisi sehat bukan semata pemberian Tuhan, melainkan juga hasil ikhtiar terbaik manusia.

Untuk itulah senyampang masih ada kesempatan untuk memilih, marilah kita berikhtiar yang terbaik. Sebagai umat yang beriman dan berilmu, kita tidak boleh gagap merespons musim pandemik. Terlebih jika yang gagap itu adalah tokoh-tokoh agama.

 

Semua orang tentu tidak ingin menjadi korban di era pandemi. Apalagi jika hal itu disebabkan perilaku ceroboh seraya berlindung di balik pandangan yang fatalistik. Pilihan rasionalnya tentu kita berikhtiar untuk memilih takdir terbaik di era pandemi. Penting dipahami bahwa di ujung ikhtiar kita itulah takdir Tuhan akan menyertai. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar