KOMPAS, 02
Agustus 2013
|
Dunia berada
dalam penderitaan. Penderitaan yang begitu merata, sangat urgen untuk
mengungkap perwujudannya sehingga akan jelas betapa dalam penderitaan ini.
Petikan ini
merupakan pembuka ringkasan Deklarasi Etik Global (1993) yang dibacakan 20
tahun silam dalam pertemuan Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago Park.
Kala itu
perwakilan tokoh agama sudah menyadari ancaman kekerasan, konflik sektarian,
ketimpangan ekonomi, dan bencana ekologis yang akan menghantui kehidupan di
masa mendatang. Namun, krisis kemanusiaan yang sudah diingatkan itu tak
terbendung menimbulkan kerusakan ekologis, krisis pangan, ketimpangan ekonomi
yang melebar, angka pengangguran merangkak akibat ketidakpastian ekonomi
global, serta eskalasi konflik dan kekerasan sektarian yang mematikan.
Potret global
itu mengiringi 1,6 miliar pemeluk Islam (23 persen) di seluruh penjuru dunia
menjalani bulan Ramadhan tahun ini. Ramadhan datang pada saat sebagian besar
umat Islam di dunia masih larut dalam sengketa sektarian, kemelut politik, dan
kondisi perekonomian yang tidak berpihak pada masyarakat miskin. Perang saudara
masih berkecamuk di Suriah, transisi politik yang bermuara pada kekerasan di
Mesir, konflik politik sekta- rian Sunni-Syiah nyaris tak terhentikan di Irak
dan Pakistan, ketidakadilan terhadap persekusi Muslim Rohingnya di Myanmar, ketegangan
sektarian Buddha-Muslim di Sri Lanka, dan krisis kebinekaan di Indonesia
merupakan deretan realitas kontemporer yang memilukan.
Menurut survei Pew Research Center (2013), Indonesia
bersama Mesir dan Pakistan berada pada kategori sangat tinggi untuk indeks
pembatasan kebebasan beragama dan indeks kebencian sosial. Ketiga negara ini
merupakan kelompok negara dengan populasi mayoritas Muslim di dunia. Survei ini
dilakukan untuk memeriksa perkembangan kedua indeks tersebut menyusul musim
semi Arab di Timur Tengah. Survei ini juga mencatat bahwa tren peningkatan
terjadi tidak hanya di negara- negara dengan indeks kebencian yang sangat
tinggi seperti Indonesia dan Nigeria, tetapi juga di negara dengan indeks
moderat seperti Amerika Serikat dan Swiss.
Di antara
indikator yang dijadikan parameter, indeks pembatasan kebebasan oleh negara
adalah rendahnya penghormatan terhadap praktik kebebasan beragama, intervensi
negara dalam penentuan kesesatan satu keyakinan, pembatasan aktivitas
keagamaan, pelarangan terhadap kelompok tertentu, dan pengabaian hak-hak
konstitusi atas dasar pilihan kepercayaan. Setali tiga uang, indeks kebencian
sosial Indonesia juga sudah pada level mencemaskan karena ada peningkatan
intensitas kriminalisasi yang dipicu kebencian agama, kekerasan antarkelompok
agama, penyebaran kebencian dalam aktivitas keagamaan, dan kelompok agama
menghalangi kegiatan kelompok lain.
Di satu sisi,
situasi sosial, ekonomi, dan politik bangsa kita lebih baik dibandingkan dengan
Mesir, Suriah, Irak, dan Pakistan yang masih terus dilanda ketegangan bahkan
konflik berdarah saat memasuki Ramadhan. Pada sisi lain, kita tak bisa menutup
mata bahwa masih cukup banyak warga negara yang harus terusir dari kampung
halamannya, menjadi pengungsi di negeri sendiri. Yang menimpa warga Ahmadiyah
di Transito, Mataram, dan warga Syiah-Sampang yang dipaksa relokasi ke Sidoarjo
mewakili cermin retak negeri ini. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa
perkembangan politik dan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan tidak serta-merta
menjadi jaminan Indonesia pada zona aman pada konteks toleransi sosial dan
perlindungan kebebasan beragama.
Praksis puasa
Kegembiraan
umat Islam merayakan bulan Ramadhan harus dibarengi refleksi dan transformasi
menjawab bahkan melampaui persoalan sosial kemanusiaan seperti diulas di atas.
Ibadah puasa berdimensi praksis, ditandai oleh kuatnya tarikan horizontal
(solidaritas sosial) yang sebanding dengan tarikan vertikal (hubungan personal
dengan Tuhan).
Dengan mengutip
Chopp, Farid Esack mendefinisikan praksis sebagai ”tindakan sadar yang diambil
suatu komunitas manusia yang bertanggung jawab atas tekad politiknya sendiri...
berdasarkan kesadaran bahwa manusialah yang membentuk sejarah” (2000: 145).
Dari sinilah praksis puasa merupakan tirakat (jalan-proses latihan) guna
menjalani pembatasan diri, penderitaan, dan ketersisihan sehingga melahirkan
empati, tanggung jawab, dan solidaritas atas apa-apa yang tidak dikehendaki
yang justru lahir dari perilaku destruktif umat manusia sendiri.
Oleh karena
itu, pemahaman menahan diri (al imsak)
dalam berpuasa tak semata- mata mendisiplinkan diri dari euforia kenikmatan
ragawi, tetapi juga pengenda- lian diri terhadap kebinalan ego individu,
golongan, dan kelompok. Mengikuti empat level kesadaran dari Otto Scharmer
(2010), puasa merupakan laboratorium proses transformasi dari kesadaran
egosistem (I-in-it) menuju kesadaran
ekosistem (I-in-now). Pada level
pertama, kualitas keberhasilan puasa berpusat pada diri sendiri yang
berorientasi kompetisi. Level kesadaran ekosistem menempatkan laku puasa
sebagai bagian integral dari pergulatan realitas kekinian yang menekankan
koneksitas dan kolektivitas.
Puasa sebagai
proses transformasi kemanusiaan tersirat dalam sabda Nabi Muhammad, ”Berapa
banyak orang yang berpuasa, namun mereka tidak mendapat apa pun kecuali rasa
lapar dan dahaga”. Menurut Syeikh Ali Ahmad al Jarjawy, hadis ini
mengindikasikan dua hal. Pertama, esensi agama adalah akhlak mulia yang
termanifestasi dalam perkataan dan perbuatan. Kedua, prasasti keberhasilan
puasa adalah habituasi nilai-nilai kebajikan dalam pergaulan, menyambung tali
persaudaraan, menyebarkan semangat welas asih, saling memaafkan, dan menolong
antarsesama manusia.
Menghalau
penderitaan
Praksis puasa
adalah komitmen menghalau penderitaan, mengikis ketidakpedu- lian, memupus
kebencian, dan menghormati kehidupan. Laku puasa ini mencer- minkan nilai-nilai
inti Islam yang menjadi pilar ajaran Islam nirkekerasan yang bersifat aktif
seperti ketaatan kepada Tuhan, keadilan, kebaikan, kasih sayang, pemaafan,
kemurahan hati, pengakuan atas hak orang lain, dan kearifan. Seyogianya
keluhuran nilai-nilai kemanusiaan Ramadhan itu meredakan ketegangan dan
menjernihkan hati dalam menghadapi persoalan-persoalan yang diprovokasi
kebencian, sektarianisme, dan perbedaan pandangan.
Dengan
demikian, bulan Ramadhan tak saja merupakan panggilan menyucikan diri, tetapi
juga panggilan mengorbankan egosentrisme yang menegasikan fitrah kehidupan
seperti diingatkan QS Al Maidah (48); ”Sekiranya
Tuhan menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Tuhan
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu”.
Ramadhan adalah
proses tirakat yang senantiasa mengingatkan orang berpuasa mendengarkan,
merasakan, dan memahami realitas-realitas baru di luar dirinya. Ramadhan
menjadi stasiun persinggahan yang seharusnya menempa pelakunya belajar hidup
keluar dari zona nyaman, termasuk kenyamanan ego mayoritas. Sangat jelas,
perintah puasa hanya ditujukan kepada umat Islam, tetapi pesan moralnya
menggarami lautan persoalan kemanusiaan universal yang kontekstual. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar