|
Teori seni sebenarnya merupakan perumusan logis sistematis
mengenai pengalaman seni dari hidup ini yang tiap kali selalu mengalami
keterbatasannya apabila dilogis-logiskan lantaran sumbernya ada dalam telaga
jernih intuisi dan kehidupan mulia yang melampaui rasionalitas, logika, atau
dimensi epistemologis dari kehidupan itu sendiri.
Di sini pula simplifikasi atau penyederhanaan wilayah kehidupan sebagai tempat jelajah kebenaran (untuk ilmu pengetahuan) merupakan satu wilayah verum (benar) dan wilayah berikutnya adalah sisi bonum atau ranah etika mengenai sisi etis dari hidup ini. Ada tiga wilayah hidup yaitu verum (untuk ilmu pengetahuan, epistemologis), etika (bonum), dan estetika (pulchrum).
Dengan kata lain, kehidupan yang mahakaya dan multidimensi (multiragam sisi) memuat dimensi logisnya dalam filsafat sistematis rasional logis. Hidup yang sama memuat dimensi ”indahnya atau estetisnya” dalam filsafat seni atau estetika. Kehidupan yang sama mempunya dimensi kebaikannya dalam etika.
Lihatlah ciri khas watak kehidupan adalah multidimensinya, keanekaragamannya. Bila kita membatasi kehidupan yang multidimensi itu hanya dalam ”tiga dimensi”, yang ”baik” dari hidup ini dikenal dan dijelajahi sebagai ranah etika. Yang ”benar” dan logis dari kehidupan difilsafatkan dalam epistemologi. Sementara yang ”asri atau indah” dari kehidupan merupakan ”cakrawala luas estetika”.
Tampilan simbolik maupun realis keindonesiaan kita sudah dirajut dan ”dirumus padat” dalam pengalaman ratusan tahun setelah mengalami multidimensinya kehidupan Nusantara yang ragam identitas suku, religi, maupun identitas-identitas lain. Kearifan para pendahulu kita dalam menghidupi Indonesia yang majemuk ini sudah dirajut dalam sikap hidup di mana pun bangsa pulau dan bahari ini berkelana dan bertemu dengan saudara-saudaranya yang beda suku,
agama, bumi, atau adat istiadat sehingga yang dinasihatkan dan dijadikan sikap hidup toleransi adalah pepatah nasihat hidup yang berbunyi: ”di mana bumi dipijak, di situ langit hendaklah dijunjung”. Artinya, menghormati alam dengan penghuninya sesama saudara serta menjunjung Sang Pencipta atau langit adalah sikap menghayati hidup dalam toleransi di mana pun dan ke mana pun.
Dalam perenungan mengenai makna kearifan hidup yang menjadi sikap yang harus diambil dalam keragaman Nusantara ini, dihayatilah pepatah hidup ”lain ladang lain belalang dan lain lubuk lain pula ikannya”. Hanya ketika yang indah, yang benar dan yang baik dari keragaman penyusun keindonesiaan sudi dan peduli untuk selalu memberikan kontribusinya bagi keindonesiaan yang dalam Pembukaan Konstitusi UUD 1945 dicitakan makin menjadi adil, sejahtera,
beradab, dan saling menghormati karena sama-sama ciptaan Tuhan, pencapaian-pencapaian matangnya kesadaran berbangsa dari kotak-kotak suku, agama, dan golongan sadar untuk menapaki jalan pencerahan 1908. Lalu selangkah maju matang berkesadaran satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia, jejak tapak ini merealisasikan ”kebinekaan menjadi ika” setelah mengalami betapa hancurnya diadu domba dalam politik divide et impera.
Maka itu, setelah formal bernegara hukum yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dan berdaulatnya rakyat dipastikan kini gugatan sumbangan masing-masing penyusun keindonesiaan terus berdentang. Apa yang bisa disumbangkan oleh kekatolikan untuk Indonesia? Bila Monsiegnur Soegiyopranoto Sj sudah menegaskan 100% Indonesia dan 100% Katolik, gugatannya tetaplah apa yang baik dari kekatolikan untuk Indonesia;
apa yang benar yang terus mau disumbangkan bagi Indonesia serta apa yang ”indah” untuk dikontribusikan bagi Indonesia? Demikian pula, yang bernilai dari keislaman, dari kehinduan, dari kebuddhaan, religi bumi, dari kebatakan, keminangan, kejawaan, kefloresan, dan seterusnya untuk disumbangkan bagi keindonesiaan.
Dalam dekade-dekade ini, kita alami riuh gaduhnya jalan politis keindonesiaan kita. Bila diekstremkan, jalan politis yang semestinya berupa tindakan bersama agar hidup bersama kita semakin sejahtera satu sama lain, semakin adil, serta praksis kuasa kita ditanggungjawabkan dalam etika politis, namun yang terjadi lebih banyak pecah dan retak-retaknya karena kesewenangan keserakahan dan setan-setan gundul dan setan cebol kekuasaan yang tega menghabisi sesama.
Sementara jalan ekonomi yang gegap gempita di wilayah makro, namun miskin peduli di wilayah ekonomi mikro orang kecil semakin mereduksi hubungan kita serta nilai baik, benar, dan indah melulu dihitung dari nilai tukar uang dan uang melulu. Karena itu, rupanya jalan seni yang dalam kearifan-kearifan hidup bangsa kita diungkapkan tidak pertama-tama untuk dirumuskan logis sistematis, tetapi lebih lebih untuk dihayati dan dihidupi, akan menjadi jalan besar kita sekarang untuk kembali ”amemayu hayuning bawana”, artinya, mengikhtiarkan untuk membuat hidup dan dunia kita semakin indah manusiawi.
Sebelum dirumus-rumuskan logis, perjalanan seni bangsa ini adalah ”penghayatan”; kita bersyukur atas hidup ini dengan nyanyi, berdendang dengan tari, dan mengekspresikan warna-warni-kehidupan-lewat-kuas-kanvas dalam lukisan modern Indonesia. Namun, tengoklah rangkaian dahsyat lukisan-lukisan tradisional dan asli gores tangan ragam bangsa ini dalam batik tulis, dalam rajut kain, dalam patung, karya-karya seni beraneka ragam yang memuliakan kehidupan ini.
Watak unik para seniman kita tertuang dalam apa yang disebut sebagai ”sikap dan visi kesenimanan” dalam ”kredo”. Hanya dengan saling belajar dari keragaman kredo itulah Indonesia yang bineka sekaligus ika akan berkembang ke depan. Apa artinya? Bila sastrawan kredo seninya atau visi seni untuk peradabannya mahir dan biasa memakai prosa untuk novelis atau puisi untuk penyair, semoga mereka ini mau belajar pada teknokrat atau insinyur yang biasa berbahasa konstruksi teknik bangunan.
Maksud dialog kredo itu secara bersahaja bisa ditulis sebagai berikut: ”Pada awalnya adalah kata. Pada awalnya adalah garis. Pada awalnya adalah warna. Bagi yang biasa berkata-kata, belajarlah dalam dialog-dialog karakter garis saudara-saudarimu. Bagi yang biasa berbahasa diam hanya berbahasa warna dan garis, belajarlah dari saudara-saudarimu yang biasa berbahasa kata-kata.
Bagi yang terlalu berbahasa wacana dan retorika, banyak belajarlah pada rakyat jelata yang lebih diam dan berbahasa hati bahkan lebih sering menyimpan dalam-dalam pahitnya hidup dalam relung hatinya. Semua ini semogalah saling dihayati agar dialog peradaban diperjuangkan hingga kehidupan dimuliakan.”
Di sini pula simplifikasi atau penyederhanaan wilayah kehidupan sebagai tempat jelajah kebenaran (untuk ilmu pengetahuan) merupakan satu wilayah verum (benar) dan wilayah berikutnya adalah sisi bonum atau ranah etika mengenai sisi etis dari hidup ini. Ada tiga wilayah hidup yaitu verum (untuk ilmu pengetahuan, epistemologis), etika (bonum), dan estetika (pulchrum).
Dengan kata lain, kehidupan yang mahakaya dan multidimensi (multiragam sisi) memuat dimensi logisnya dalam filsafat sistematis rasional logis. Hidup yang sama memuat dimensi ”indahnya atau estetisnya” dalam filsafat seni atau estetika. Kehidupan yang sama mempunya dimensi kebaikannya dalam etika.
Lihatlah ciri khas watak kehidupan adalah multidimensinya, keanekaragamannya. Bila kita membatasi kehidupan yang multidimensi itu hanya dalam ”tiga dimensi”, yang ”baik” dari hidup ini dikenal dan dijelajahi sebagai ranah etika. Yang ”benar” dan logis dari kehidupan difilsafatkan dalam epistemologi. Sementara yang ”asri atau indah” dari kehidupan merupakan ”cakrawala luas estetika”.
Tampilan simbolik maupun realis keindonesiaan kita sudah dirajut dan ”dirumus padat” dalam pengalaman ratusan tahun setelah mengalami multidimensinya kehidupan Nusantara yang ragam identitas suku, religi, maupun identitas-identitas lain. Kearifan para pendahulu kita dalam menghidupi Indonesia yang majemuk ini sudah dirajut dalam sikap hidup di mana pun bangsa pulau dan bahari ini berkelana dan bertemu dengan saudara-saudaranya yang beda suku,
agama, bumi, atau adat istiadat sehingga yang dinasihatkan dan dijadikan sikap hidup toleransi adalah pepatah nasihat hidup yang berbunyi: ”di mana bumi dipijak, di situ langit hendaklah dijunjung”. Artinya, menghormati alam dengan penghuninya sesama saudara serta menjunjung Sang Pencipta atau langit adalah sikap menghayati hidup dalam toleransi di mana pun dan ke mana pun.
Dalam perenungan mengenai makna kearifan hidup yang menjadi sikap yang harus diambil dalam keragaman Nusantara ini, dihayatilah pepatah hidup ”lain ladang lain belalang dan lain lubuk lain pula ikannya”. Hanya ketika yang indah, yang benar dan yang baik dari keragaman penyusun keindonesiaan sudi dan peduli untuk selalu memberikan kontribusinya bagi keindonesiaan yang dalam Pembukaan Konstitusi UUD 1945 dicitakan makin menjadi adil, sejahtera,
beradab, dan saling menghormati karena sama-sama ciptaan Tuhan, pencapaian-pencapaian matangnya kesadaran berbangsa dari kotak-kotak suku, agama, dan golongan sadar untuk menapaki jalan pencerahan 1908. Lalu selangkah maju matang berkesadaran satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia, jejak tapak ini merealisasikan ”kebinekaan menjadi ika” setelah mengalami betapa hancurnya diadu domba dalam politik divide et impera.
Maka itu, setelah formal bernegara hukum yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dan berdaulatnya rakyat dipastikan kini gugatan sumbangan masing-masing penyusun keindonesiaan terus berdentang. Apa yang bisa disumbangkan oleh kekatolikan untuk Indonesia? Bila Monsiegnur Soegiyopranoto Sj sudah menegaskan 100% Indonesia dan 100% Katolik, gugatannya tetaplah apa yang baik dari kekatolikan untuk Indonesia;
apa yang benar yang terus mau disumbangkan bagi Indonesia serta apa yang ”indah” untuk dikontribusikan bagi Indonesia? Demikian pula, yang bernilai dari keislaman, dari kehinduan, dari kebuddhaan, religi bumi, dari kebatakan, keminangan, kejawaan, kefloresan, dan seterusnya untuk disumbangkan bagi keindonesiaan.
Dalam dekade-dekade ini, kita alami riuh gaduhnya jalan politis keindonesiaan kita. Bila diekstremkan, jalan politis yang semestinya berupa tindakan bersama agar hidup bersama kita semakin sejahtera satu sama lain, semakin adil, serta praksis kuasa kita ditanggungjawabkan dalam etika politis, namun yang terjadi lebih banyak pecah dan retak-retaknya karena kesewenangan keserakahan dan setan-setan gundul dan setan cebol kekuasaan yang tega menghabisi sesama.
Sementara jalan ekonomi yang gegap gempita di wilayah makro, namun miskin peduli di wilayah ekonomi mikro orang kecil semakin mereduksi hubungan kita serta nilai baik, benar, dan indah melulu dihitung dari nilai tukar uang dan uang melulu. Karena itu, rupanya jalan seni yang dalam kearifan-kearifan hidup bangsa kita diungkapkan tidak pertama-tama untuk dirumuskan logis sistematis, tetapi lebih lebih untuk dihayati dan dihidupi, akan menjadi jalan besar kita sekarang untuk kembali ”amemayu hayuning bawana”, artinya, mengikhtiarkan untuk membuat hidup dan dunia kita semakin indah manusiawi.
Sebelum dirumus-rumuskan logis, perjalanan seni bangsa ini adalah ”penghayatan”; kita bersyukur atas hidup ini dengan nyanyi, berdendang dengan tari, dan mengekspresikan warna-warni-kehidupan-lewat-kuas-kanvas dalam lukisan modern Indonesia. Namun, tengoklah rangkaian dahsyat lukisan-lukisan tradisional dan asli gores tangan ragam bangsa ini dalam batik tulis, dalam rajut kain, dalam patung, karya-karya seni beraneka ragam yang memuliakan kehidupan ini.
Watak unik para seniman kita tertuang dalam apa yang disebut sebagai ”sikap dan visi kesenimanan” dalam ”kredo”. Hanya dengan saling belajar dari keragaman kredo itulah Indonesia yang bineka sekaligus ika akan berkembang ke depan. Apa artinya? Bila sastrawan kredo seninya atau visi seni untuk peradabannya mahir dan biasa memakai prosa untuk novelis atau puisi untuk penyair, semoga mereka ini mau belajar pada teknokrat atau insinyur yang biasa berbahasa konstruksi teknik bangunan.
Maksud dialog kredo itu secara bersahaja bisa ditulis sebagai berikut: ”Pada awalnya adalah kata. Pada awalnya adalah garis. Pada awalnya adalah warna. Bagi yang biasa berkata-kata, belajarlah dalam dialog-dialog karakter garis saudara-saudarimu. Bagi yang biasa berbahasa diam hanya berbahasa warna dan garis, belajarlah dari saudara-saudarimu yang biasa berbahasa kata-kata.
Bagi yang terlalu berbahasa wacana dan retorika, banyak belajarlah pada rakyat jelata yang lebih diam dan berbahasa hati bahkan lebih sering menyimpan dalam-dalam pahitnya hidup dalam relung hatinya. Semua ini semogalah saling dihayati agar dialog peradaban diperjuangkan hingga kehidupan dimuliakan.”
Seperti kredo seorang ekspresionis bernama Affandi,
cuatan-cuatan jari dan dominasi warna kuning selalu menjadi ciri ekspresi
lukisanku sebab kuning adalah warna padi tropis tanah airku Indonesia yang kuharapkan
menguning dengan butir padat gabah siap dipanen. Begitu pula mengapa Affandi
banyak melukis matahari? Karena inilah keindonesiaan dengan matahari sepanjang
khatulistiwa di cuatan lukisan tangan Affandi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar