|
Harga daging sapi masih tinggi. Upaya
pemerintah lewat Bulog mengimpor daging sapi dan sapi siap potong dari
Australia agar harga daging turun tak berhasil. Padahal, demi hajat orang
banyak untuk mendapatkan daging berharga wajar, pemerintah telah ”menerobos”
sejumlah aturan yang ada.
Ternyata hukum
ekonomi tak berjalan karena meski pasokan melimpah, harga tetap tinggi. Jelas
ada yang tak beres di balik ini semua. Ini membuat
berita Kompas (17/7/2013) meragukan kebenaran penurunan jumlah sapi
sebesar 19 persen. Tadinya saya berpikir kelangkaan daging sapi akibat
penurunan populasi yang mengakibatkan harga daging tinggi. Namun, setelah
pasokan sapi dan daging sapi ditambah, ternyata harga masih tetap tinggi. Jadi,
tak ada korelasi antara harga daging dan ketersediaan sapi ataupun daging.
Situasi pasar menjadi terombang-ambing.
Fenomena ini
juga salah satu bukti betapa berbahayanya bangsa kita ke depan tanpa adanya
kedaulatan pangan! Kita sudah bergantung kepada negara lain untuk memenuhi
kebutuhan daging sapi berharga wajar. Jika ini terjadi pada komoditas lain
juga, apa jadinya bangsa kita? Oleh karena itu, perlu ada perubahan strategi
sangat mendasar untuk membangun usaha dan industri peternakan sapi di Indonesia
agar terhindar dari kebergantungan kepada negara lain.
Untuk strategi
jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah memperbaiki usaha
beternak sapi bagi 6,5 juta peternak berskala kecil. Mereka yang menguasai
lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus diajak berbisnis secara
benar melalui pendekatan kolektif dengan satu manajemen. Kondisi alam, budaya
masyarakat, dan karakter peternak di Indonesia memungkinkan hal itu. Pendekatan
ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan peternak Australia yang harus
bersifat individualis karena kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter
peternaknya memang berbeda dengan Indonesia.
Selama ini
peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan tak
berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan lokasinya
menyebar. Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan
berbeda-beda. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi tingkat
keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap rendah.
Beberapa
peternak malah terkesan mengejek ”Kalau
ada bantuan pemerintah, kami anggap untuk refreshing aja, Pak”, kata
seorang peternak kepada saya. Dari diskusi lebih lanjut, ternyata para peternak
tahu pemerintah selama ini hanya melaksanakan proyek dan tidak membina mereka
untuk dapat mandiri. Pemerintah di sini bukan hanya Kementerian Pertanian,
melainkan juga kementerian lain yang menggunakan ternak sebagai komoditas dalam
proyeknya.
Hal itu dapat
diartikan bahwa pendekatan proyek yang selama ini berjalan tidak mencerdaskan
peternak dan tidak membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya saing.
Namun, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal
karena beberapa proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis
sebagaimana yang terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD). Namun,
keberhasilan program ini kurang berdampak secara signifikan.
Peternak mandiri
Jadi, yang
perlu diupayakan ke depan adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis secara
mandiri melalui usaha kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang
diusahakan harus ada minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu
kawasan padat sapi. Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut,
baik dari aspek teknis maupun nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya
usaha itu berjalan mandiri.
Dengan
demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi, tetapi
harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi
pada upaya meningkatkan kualitas peternak ataupun memperkuat fasilitas
pendukungnya dalam beternak. Untuk jangka pendek, serahkan urusan pemenuhan
daging kepada para pelaku bisnis yang memang menguasai pasar dan pemerintah tak
perlu ikut bermain di dalamnya. Peran pemerintah sebaiknya tetap sebagai
regulator saja. Kenapa? Itu karena Bulog ternyata gagal menurunkan harga daging
di pasar. Bisa saja niat baik pemerintah untuk menurunkan harga daging via
Bulog ”dipelintir” oknum tak bertanggung jawab sehingga tujuan dari niat baik
itu tidak tercapai.
Saya menduga
ada perlawanan pelaku bisnis sapi kepada pemerintah dalam hal penyediaan daging
sapi di Indonesia kali ini. Ketika para pelaku usaha diberi kuota impor, di
antara mereka sendiri bersaing untuk mendapatkan kuota terbanyak. Segala cara
digunakan agar dapat kuota besar dengan harapan dapat untung besar. Bisa jadi
mereka ”cakar-cakaran” dalam upaya memperebutkan kuota impor. Namun, ketika
pemerintah sendiri ikut menangani impor daging dan impor sapi siap potong via
Bulog dalam rangka menurunkan harga daging, para pelaku bisnis mungkin
merapatkan barisan dan kompak ”melawan” pemerintah. Dengan masih tingginya
harga daging di pasar, ”duel” pelaku bisnis dengan pemerintah tampaknya
dimenangi pelaku bisnis.
Mudah-mudahan
analisis saya tersebut salah. Namun, seandainya benar, semua pihak mulai perlu
bernegosiasi dengan tetap saling menghormati profesionalitas masing-masing. Pemerintah
harus bertindak sebagai regulator dan pelaku bisnis sebagai aktor. Demi
kepentingan nasional, pelaku bisnis harus pula bergandeng tangan dengan
pemerintah untuk membantu peternak berskala kecil agar dapat lebih berdaya
saing. Ketika para peternak berskala kecil menjadi maju dan besar melalui usaha
kolektifnya, mereka dapat saja berkolaborasi dengan perusahaan besar untuk
berbisnis sapi dengan peternak Australia. Saya yakin, harga sapi akan bisa
dikendalikan melalui mekanisme pasar karena para pelaku bisnis sapi memang
sudah merupakan komunitas sendiri. Oleh karena itu, semua pihak harus berpikir
positif untuk melahirkan hasil yang positif juga. Dengan demikian, semua pihak
tersenyum, konsumen pun ikut tersenyum! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar