Rabu, 28 Agustus 2013

2030 : Mampukah Memimpin di Negeri Sendiri?

2030 : Mampukah Memimpin di Negeri Sendiri?
Bambang Irianto  ;    Pengamat Pendidikan dan Pendidik
KORAN SINDO, 27 Agustus 2013


Analisis yang dilakukan The McKinsey Global Institute (September, 2012) menunjukkan bahwa potensi yang dimiliki Indonesia pada 2030 dibandingkan 2012 mengalami pergeseran. 

Berdasarkan laporan tersebut, peringkat kekuatan ekonomi Indonesia yang berada di posisi ke-16 membaik menjadi posisi ketujuh. Dengan penguatan perekonomian, jumlah konsumen pun meningkat dari 45 juta menjadi 135 juta. Urbanisasi pun kian kentara, porsi dari penduduk yang tinggal di kota akan meningkat dari 53% menjadi 71%. Seiring dengan tingkat urbanisasi tersebut, kontribusi terhadap PDB juga akan meningkat dari 74% menjadi 86%. 

Pangsa pasar berkembang dari USD0,5 triliun menjadi USD1,8 triliun. Akibat itu, kebutuhan tenaga terampil akan bergeser dari 55 menjadi 113 juta orang. Analisis tersebut dilengkapi dengan proyeksi kebutuhan tenaga kerja (menurut jenjang pendidikan) pada 2030. Tenaga kerja tamatan pendidikan tinggi akan dibutuhkan sebanyak 25 juta, tetapi hanya akan mampu diisi 23 juta. Indonesia akan membutuhkan 35 juta tamatan SMA (umum), namun hanya akan terpenuhi sekitar 25 juta.

 Sedangkan tenaga tamatan SMK yang dibutuhkan 17 juta orang, tetapi kita akan memiliki suplai 30 juta sehingga akan kelebihan 13 juta. Sementara tenaga kerja yang hanya tamatan SMP akan tersedia 20 juta melebihi dari 39 juta yang diperlukan. Angka-angka tersebut membuat kita terkejut sekaligus miris. Betapa tidak? Jika kondisi layanan pendidikan tetap seperti saat ini, proyeksi over supply tamatan SMK dan SMP pada 2030 tersebut benar akan terjadi. Sebaliknya, Indonesia akan kekurangan tamatan SMA dan perguruan tinggi. 

Jika hal ini terjadi, Indonesia tak akan henti-hentinya mengekspor tenaga kerja dengan hanya berlatar belakang pendidikan SMP dan SMK. Jika proyeksi kebutuhan tenaga kerja tersebut di atas dapat dipenuhi dari sisi kuantitas untuk setiap jenjang, masih belum menjamin kualitas tamatan kita sesuai dengan yang diperlukan lapangan kerja. Salah satu rujukan yang dapat digunakan untuk bicara tentang kualitas pendidikan adalah The 21st Century Student Outcomes yang mulai digunakan beberapa pemangku kepentingan dalam menetapkan arah peningkatan kualitas pendidikan. 

Bagaimana dengan Indonesia? Jika ditinjau dari sudut kuantitas mata pelajaran yang harus diajarkan, Kurikulum 2013 SMP dan SMA masih relatif banyak. Kalau toh jenis dan jumlah mata pelajaran boleh direduksi hingga tinggal beberapa mata pelajaran pokok yang diperlukan setiap individu murid, tidak menjamin produk pendidikan kita dapat menghasilkan tamatan yang memenuhi The 21st Century Student Outcomes jika pendekatan, metode, strategi, dan taktik pembelajaran yang diterapkan para guru masih konvensional. 

Salah satu contoh, murid kita tak akan mampu berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi manakala learning environment (physical and psychological) tidak mendukung. Hal ini hanya bisa diubah kalau guru mampu menerapkan model-model pembelajaran tertentu di antaranya pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, yang menuntut guru menerapkan pendekatan dan metode yang variatif. 

Uraian di atas mengarahkan kita untuk menarik kesimpulan bahwa jika Indonesia ingin mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja seperti yang diproyeksikan di atas, sejumlah pekerjaan rumah harus segera diselesaikan yaitu masalah akses, kualitas, dan relevansi pendidikan. Tiga masalah itu pun diakui ada oleh para pengambil kebijakan selama beberapa tahun belakangan ini. Bahkan disebut- sebut di dalam rencana strategis Kemendikbud. 

Anehnya, oknum pemerintah pun ada yang menyebutnya ini masalah klasik. Memang benar klasik karena masalah itu dibiarkan tetap muncul hingga sekarang alias belum terselesaikan sehingga semakin klasik. Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan para pengambil kebijakan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut? Pertama, penetapan target jumlah lulusan setiap jenjang pendidikan. 

Para pengambil keputusan di bidang pendidikan di Indonesia sudah harus memulai ancang-ancang dan menetapkan target jumlah lulusan di setiap jenjang pendidikan dan jenis satuan pendidikan dengan angka yang realistis. Kedua, tetapkan jumlah mata pelajaran sesuai yang diperlukan. Upaya pemerintah untuk membenahi pendidikan di Tanah Air dengan melakukan penyempurnaan kurikulum secara periodik adalah sah dan wajib hukumnya. 

Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah perubahan tersebut ada relevansinya dengan kompetensi tamatan yang kelak diperlukan di lapangan kerja. Tidak menutup kemungkinan, selama ini dalam menetapkan suatu mata pelajaran menjadi wajib dipelajari setiap murid bukan karena substansinya diperlukan setiap murid atau benar-benar diperlukan di lapangan, melainkan karena menjaga stabilitas agar guru mata pelajaran tersebut tetap mendapat jatah jam mengajar dan agar fakultas-fakultas terkait tetap ada. 

Sudah saatnya pengambil kebijakan menetapkan (khususnya satuan pendidikan SMA) hanya beberapa mata pelajaran inti yang wajib diikuti, sisanya pilihan. Ketiga, benahi sistem akreditasi sekolah negeri. Apanya yang harus dibenahi? Salah satu contoh adalah sekolah divonis jelek oleh hasil akreditasi khususnya terkait tenaga pendidik dan sarana-prasarana. Mari kita berpikir secara jujur. Pemenuhan tenaga pendidik untuk sekolah negeri menjadi kewajiban sekolah atau pemerintah? Begitu pula pemenuhan saranaprasarana. 

Adilkah sekolah menerima vonis jika tenaga pendidik dan sarana-prasarana yang dimiliki tidak sesuai standar? Keempat, kaitkan sertifikasi guru dengan kinerja guru. Di dalam suatu seminar disampaikan hasil kajian World Bank yang menyatakan bahwa sertifikasi guru hanya mengubah kesejahteraan guru, tapi tidak mengubah kualitas kinerja guru. Karena itu, perlu dikaitkan syarat pemberian sertifikasi dengan kinerja guru di depan kelas. Kelima, hentikan membuat kebijakan yang dilandasi kepentingan politis sesaat. 

Pengalaman selama 68 tahun Indonesia merdeka menunjukkan bahwa harapan bangsa tidak selalu dapat dipenuhi oleh pengambil kebijakan. Kita sering dibuat heran, banyak para pengambil kebijakan di bidang pendidikan—baik yang di eksekutif maupun legislatif—yang mengenyam hingga tamatkan pendidikannya di universitas terkenal di banyak negara maju. Tetapi, mengapa kebijakan yang ada tidak mampu mengakselerasi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. 

Ini tidak menutup kemungkinan rancangan kebijakan yang dibuatnya pada awalnya sudah baik dan benar, namun tidak selalu dapat dijadikan kebijakan karena masih dikalahkan dengan kepentingan politis sesaat. Namun, sambil menunggu para pengambil kebijakan melakukan pembenahan, peran serta masyarakat dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan akan sangat membantu akselerasi peningkatan akses, kualitas, dan mewujudkan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan. 

Sebagai masyarakat bentuk partisipasi apa yang dapat dilakukan untuk turut serta meningkatkan akses dan kualitas pendidikan? Sudah banyak pengusaha yang berinisiatif mendirikan sekolah dengan memadukan atau mengadopsi kurikulum dari negara lain. Ada perusahaan yang menyediakan beasiswa, ada pula institusi yang menyediakan bantuan dana pendidikan. 

Sudah banyak juga anggota masyarakat mengangkat anak asuh. Beberapa korporasi dengan menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) membantu rehabilitasi atau pengadaan ruang belajar, media belajar atau sumber belajar. Ada institusi penyedia jasa untuk melaksanakan pelatihan guru. 

Sebenarnya banyak sekali bentuk partisipasi yang dapat dilakukan bukan? Agar potensi masyarakat tersebut dapat diberdayakan, perlu ada upaya ekstra agar potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar