|
SERING muncul
pertanyaan dari masyarakat, mengapa tidak ada layanan khusus bagi pasien di
rumah sakit (RS) yang hendak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu? Karena
tidak adanya perlakuan khusus tersebut, ribuan suara pasien di setiap
kabupaten/kota hilang begitu saja. Ini juga akan menjadi persoalan bagi pilgub
Jatim pada besok, Kamis Kliwon, 29 Agustus 2013.
Jika berpedoman pada peraturan KPU RI, memang tidak mungkin KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS mendirikan tempat pemungutan suara (TPS) khusus di dalam RS. Berbeda halnya dengan pelayanan terhadap warga penghuni penjara/lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan TPS khusus di dalam lapas.
Peraturan KPU 15/2010 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilukada di TPS menyebutkan, pemilih yang menjalani rawat inap di RS memberikan suara di TPS terdekat, dengan ketentuan ketua KPPS pada TPS terdekat tersebut menugasi anggota KPPS untuk melayani pemilih yang menjalani rawat inap di RS dalam memberikan suara berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 51 A).
Ketentuan bahwa "pasien di RS memberikan suara di TPS terdekat'' masih sangat sulit dilaksanakan. Mengapa? Pertama, bagaimana penyediaan surat suara di TPS terdekat tersebut. Kedua, sulitnya petugas KPPS di TPS terdekat dengan RS untuk melayani pasien dengan cara mendatangi ke ruang-ruang pasien di RS.
Ketiga, belum adanya batasan yang tegas tentang siapa saja "warga RS yang hari itu'' boleh dilayani oleh KPPS dari TPS terdekat. Yang boleh dilayani hanya pasien yang rawat inap ataukah termasuk pasien yang hari itu antre berobat? Lalu, bagaimana keluarga pasien yang menunggui? Juga, bagaimana karyawan RS (dokter, perawat, dan staf adiministrasi) yang hari itu bertugas?
Hal-hal di atas perlu diatur secara tegas dan jelas agar memudahkan pelaksanaannya di lapangan.
Perlu dipahami bahwa dalam setiap pemilu (pemilu apa saja), TPS harus punya daftar pemilih tetap (DPT) yang jelas/pasti. Baik mengenai nama, jenis kelamin, umur, alamat, dan sebagainya. Dalam pemilukada, jumlah pemilih di setiap TPS dibatasi ketentuan paling banyak 600 orang. Bahkan, dalam pemilu legislatif, jumlah pemilih per TPS dibatasi maksimal hanya 500 orang.
Jatah surat suara adalah sama dengan jumlah DPT di TPS bersangkutan ditambah 2,5 persen untuk cadangan dalam pemilukada. Untuk pemilu legislatif, surat suara cadangan hanya 2 persen.
Apa dampak bagi hak pilih pasien di TPS terdekat? Dampaknya, antara lain, tidak adanya jatah surat suara untuk pasien di RS terdekat. Katakankah sebuah TPS terdekat dengan RS memiliki 400 pemilih dalam DPT-nya. Itu berarti, jatah surat suara untuk TPS tersebut hanya 410 lembar. Tidak ada aturan menjatah surat suara untuk pasien di RS.
Nah, bagaimana jika jumlah pasien yang rawat inap di RS tersebut lebih dari 500 orang? Belum lagi jika ditambah dengan keluarga yang menunggu pasien dan karyawan RS? Perlu pedoman terperinci di lapangan mengingat sensitifnya surat suara.
Juga tidak mungkin ada anggota KPPS dari TPS terdekat yang dapat mendatangi RS. Jumlah personel KPPS maksimal tujuh orang per TPS. Pertanyaannya, jika harus ada anggota KPPS yang mendatangi RS untuk melayani pasien, bagaimana pelayanan pemilih di TPS yang ditinggalkan? Bagaimana jika ada pemilih dalam DPT yang belum nyoblos lalu datang ke TPS untuk nyoblos, sementara banyak anggota KPPS sedang melayani pasien di RS? Repot.
Hak pilih pasien di RS perlu diperhatikan. Intinya, setiap warga yang punya hak pilih harus dapat dilayani dengan mudah untuk penggunaan hak pilih mereka. Dengan kata lain, jangan sampai warga yang punya hak pilih terkendala dalam penggunaan hak pilih mereka. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah membuat putusan, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT pun dapat menggunakan hak pilih dengan hanya berbekal KTP atau kartu keterangan identitas kependudukan lain.
Nah, jika semua pihak berkomitmen bahwa pasien rawat inap di RS harus dilayani hak pilihnya, harus ada aturan khusus yang jelas dan terperinci. Tidak hanya menyangkut penggunaan hak pilih pasien rawat inap. Tetapi, juga menyangkut pasien rawat jalan di poliklinik RS, dokter, perawat, dan bagian administrasi yang hari itu bertugas di RS.
Aturan itu harus menyebut dengan tegas tentang adanya TPS khusus di RS. Jumlah pemilih per TPS-nya ditentukan maksimal berapa, petugas KPPS-nya berapa, dan boleh diambilkan dari mana. Termasuk, ketentuan penjatahan surat suaranya. ●
Jika berpedoman pada peraturan KPU RI, memang tidak mungkin KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS mendirikan tempat pemungutan suara (TPS) khusus di dalam RS. Berbeda halnya dengan pelayanan terhadap warga penghuni penjara/lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan TPS khusus di dalam lapas.
Peraturan KPU 15/2010 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilukada di TPS menyebutkan, pemilih yang menjalani rawat inap di RS memberikan suara di TPS terdekat, dengan ketentuan ketua KPPS pada TPS terdekat tersebut menugasi anggota KPPS untuk melayani pemilih yang menjalani rawat inap di RS dalam memberikan suara berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 51 A).
Ketentuan bahwa "pasien di RS memberikan suara di TPS terdekat'' masih sangat sulit dilaksanakan. Mengapa? Pertama, bagaimana penyediaan surat suara di TPS terdekat tersebut. Kedua, sulitnya petugas KPPS di TPS terdekat dengan RS untuk melayani pasien dengan cara mendatangi ke ruang-ruang pasien di RS.
Ketiga, belum adanya batasan yang tegas tentang siapa saja "warga RS yang hari itu'' boleh dilayani oleh KPPS dari TPS terdekat. Yang boleh dilayani hanya pasien yang rawat inap ataukah termasuk pasien yang hari itu antre berobat? Lalu, bagaimana keluarga pasien yang menunggui? Juga, bagaimana karyawan RS (dokter, perawat, dan staf adiministrasi) yang hari itu bertugas?
Hal-hal di atas perlu diatur secara tegas dan jelas agar memudahkan pelaksanaannya di lapangan.
Perlu dipahami bahwa dalam setiap pemilu (pemilu apa saja), TPS harus punya daftar pemilih tetap (DPT) yang jelas/pasti. Baik mengenai nama, jenis kelamin, umur, alamat, dan sebagainya. Dalam pemilukada, jumlah pemilih di setiap TPS dibatasi ketentuan paling banyak 600 orang. Bahkan, dalam pemilu legislatif, jumlah pemilih per TPS dibatasi maksimal hanya 500 orang.
Jatah surat suara adalah sama dengan jumlah DPT di TPS bersangkutan ditambah 2,5 persen untuk cadangan dalam pemilukada. Untuk pemilu legislatif, surat suara cadangan hanya 2 persen.
Apa dampak bagi hak pilih pasien di TPS terdekat? Dampaknya, antara lain, tidak adanya jatah surat suara untuk pasien di RS terdekat. Katakankah sebuah TPS terdekat dengan RS memiliki 400 pemilih dalam DPT-nya. Itu berarti, jatah surat suara untuk TPS tersebut hanya 410 lembar. Tidak ada aturan menjatah surat suara untuk pasien di RS.
Nah, bagaimana jika jumlah pasien yang rawat inap di RS tersebut lebih dari 500 orang? Belum lagi jika ditambah dengan keluarga yang menunggu pasien dan karyawan RS? Perlu pedoman terperinci di lapangan mengingat sensitifnya surat suara.
Juga tidak mungkin ada anggota KPPS dari TPS terdekat yang dapat mendatangi RS. Jumlah personel KPPS maksimal tujuh orang per TPS. Pertanyaannya, jika harus ada anggota KPPS yang mendatangi RS untuk melayani pasien, bagaimana pelayanan pemilih di TPS yang ditinggalkan? Bagaimana jika ada pemilih dalam DPT yang belum nyoblos lalu datang ke TPS untuk nyoblos, sementara banyak anggota KPPS sedang melayani pasien di RS? Repot.
Hak pilih pasien di RS perlu diperhatikan. Intinya, setiap warga yang punya hak pilih harus dapat dilayani dengan mudah untuk penggunaan hak pilih mereka. Dengan kata lain, jangan sampai warga yang punya hak pilih terkendala dalam penggunaan hak pilih mereka. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah membuat putusan, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT pun dapat menggunakan hak pilih dengan hanya berbekal KTP atau kartu keterangan identitas kependudukan lain.
Nah, jika semua pihak berkomitmen bahwa pasien rawat inap di RS harus dilayani hak pilihnya, harus ada aturan khusus yang jelas dan terperinci. Tidak hanya menyangkut penggunaan hak pilih pasien rawat inap. Tetapi, juga menyangkut pasien rawat jalan di poliklinik RS, dokter, perawat, dan bagian administrasi yang hari itu bertugas di RS.
Aturan itu harus menyebut dengan tegas tentang adanya TPS khusus di RS. Jumlah pemilih per TPS-nya ditentukan maksimal berapa, petugas KPPS-nya berapa, dan boleh diambilkan dari mana. Termasuk, ketentuan penjatahan surat suaranya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar