|
Ada empat sindrom dalam psikologi
perilaku, terutama bertaut dengan kehendak untuk berkuasa. Pertama, sindrom
Napoleon. Ungkapan ini diambil dari penggambaran tampilan Napoleon
(pasca-Revolusi Prancis) yang berfisik pendek, tetapi berambisi besar
menaklukkan Eropa. Secara psikologis, sindrom ini mau menunjuk gejala perilaku
"si pungguk merindukan bulan", yang selalu mau tampil menguasai semuanya,
"menjajah" kemerdekaan orang lain dan tega-teganya menyingkirkan
orang lain atas nama kebenaran.
Intinya, "si cebol"
ingin dilegitimasi dan diberi pengakuan sebagai penguasa. Ciri-cirinya,
otoriter, merasa dirinya paling benar. Kekecilan fisiknya tak pernah diterimanya
secara rendah hati sebagai keterbatasan, tetapi dijadikan pendorong untuk
menyingkirkan yang berbeda dengan dirinya atau yang menghalanginya.
Kedua, sindrom pendiri. Setelah
institusi mengalami regenerasi kepemimpinan di tangan yang lebih muda, ia yang
dulu pernah menjadi pendiri tetap saja "berhasrat" untuk terus
intervensi karena khawatir institusi yang didirikannya melenceng dari visi
awalnya. Ini terjadi karena ia sudah menanamkan tradisi-tradisi yang harus
terus diikuti meski sudah pensiun dan tidak menjabat lagi hingga menimbulkan
"bayang-bayang" senioritas abadi.
Ketiga, sindrom post power. Yang amat lazim terjadi,
setelah orang tidak memegang kekuasaan, tidak memiliki wewenang atau tidak
menjabat lagi, tetapi masih mau berperilaku seperti masih di kursi jabatannya.
Cirinya, ia tidak rela menyadari bahwa dirinya sudah tidak memegang kekuasaan
lagi, maka yang terucap di mana-mana adalah kisah suksesnya dalam ekspresi his story.
Keempat, sindrom "anak
mama" atau "anak papa". Sindrom ini karena terlalu banyak
digendongnya si anak oleh mama atau papanya yang melambangkan proteksi
berlebihan hingga mengalami ketergantungan. Orangtua tidak cukup memberi ruang
bagi perkembangan kemandirian anak menuju pribadi dewasa yang otonom. Sindrom
ini menghasilkan orang-orang dengan pribadi heteronom, tidak mandiri, dan
selalu banyak pertimbangan dalam bersikap dan bertindak.
Ciri-cirinya, mudah bercurah-hati
atau mengeluh serta mengungkapkan apa saja yang menjadi ketidak-enakan yang
sebenarnya untuk orang dewasa merupakan tantangan pergulatan biasa, namun
baginya menjadi medium untuk meminta perhatian. Seakan-akan seluruh dunia harus
tahu dan mengerti bahwa ia sudah bekerja keras demi orang lain.
Refleksi keempat sindrom di atas
penting diketahui untuk menjelaskan kaburnya nilai-nilai yang benar, baik dan
indah yang kita hidupi saat ini. Budi cerdas dan nurani jernih sangat
diperlukan untuk mengatasi fenomena sindrom politik. Apalagi, jika politik
dimaknai sebagai permainan kekuasaan dan wewenang untuk menggapai kesejahteraan
bersama.
Di dasar pemahaman kekuasaan
termuat kemampuan dan kegiatan apa pun untuk mengontrol orang lain demi
kepentingan si empunya kuasa. Dari sini, begitu mudahnya politik tergelincir
untuk menjadikan hidup bersama sebagai ajang perebutan kuasa untuk saling
mengerkah (memakan). Sebagaimana dikemukakan Thomas Hobbes, homo homini lupus bahwa manusia adalah
serigala yang saling mengerkah sesamanya.
Agar
tak tergelincir, ada baiknya dalam berpolitik perlu mengacu pada apa yang
ditawarkan Driyarkara bahwa "manusia semogalah menjadi sahabat atau rekan
bagi sesamanya" (homo homini socius). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar