Kamis, 29 Agustus 2013

Menyikapi Krisis Politik Mesir

Menyikapi Krisis Politik Mesir
Hasibullah Satrawi ;   Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan dunia Islam
MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2013


SEJAUH ini belum ada tanda-tanda krisis politik di Mesir akan segera berakhir. Yang kerap terjadi justru sebaliknya; setiap pihak yang terlibat dalam seteru politik terus mengalami proses radikalisasi dalam versi mereka sendiri-sendiri. Militer dan kelompoknya terus mengalami radikalisasi dalam bentuk penggunaan senjata dan upaya paksa untuk memenangi `kebenaran' sesuai dengan versi mereka, sedangkan Ikhwanul Muslimin (IM) dan kelompoknya terus mengalami radikaliasi dalam bentuk aksi `demonstrasi-mabit' untuk mewujudkan `kebenaran' sesuai dengan versi mereka.

Mabit dalam bahasa Arab bermakna menginap atau bermalam. Menginap di Mina sebagai salah satu kewajiban dalam ibadah haji, contohnya, disebut dengan istilah mabit di Mina. Penulis kerap menyebut unjuk rasa yang dilakukan pendukung IM pascapelengseran Mursi sebagai perbuatan mabit, tak sekadar demonstrasi.

Dikatakan demikian, karena aksi itu dilakukan selama berhari-hari. Sebagian besar dari mereka bahkan menetap di sekitar tempat demo, seperti di sekitar Masjid Rabiah Al-Adawiyah dan yang lainnya, hingga akhirnya mereka dibubarkan secara paksa dan berdarah-darah oleh keamanan Mesir.

Krisis politik

Hal yang harus ditegaskan ialah bahwa semua yang terjadi di Mesir merupakan krisis politik di antara pelbagai macam kekuatan yang ada di negeri seribu menara itu. Dalam beberapa waktu belakangan, krisis ini mengerucut kepada kelompok IM dan militer yang melengserkan paksa Muhammad Mursi dan menggantikannya dengan pemerintahan yang baru.

Krisis panjang politik Mesir bermula sejak gerakan revolusi 25 Januari 2011 berhasil melengserkan Hosni Mubarak; sebuah gerakan rakyat yang pada awalnya dimotori kelompok pemuda dari kelas menengah dengan menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Penulis kerap menyebut revolusi 25 Januari Mesir 2011 sebagai revolusi angkot (angkutan kota). 
Dikatakan demikian kak rena revolusi ini `dinaiki' oleh para penumpang dari latar belakang berbeda-beda, atau mungkin malah bermusuhan. Persis seperti perilaku penumpang di dalam angkot, para pihak yang kemudian melibatkan diri dalam revolusi ini `mendiamkan' perbedaan yang ada sembari menunggu sampai di halte terakhir; yakni lengsernya Hosni Mubarak. Itulah yang terjadi di Mesir pasca-Mubarak hingga hari ini.

Secara de jure, banyak kalangan yang tampil mewarnai pelbagai macam momentum politik di Mesir pasca-Mubarak. Namun, secara de facto, hanya beberapa kelompok yang benar-benar menentukan dalam perpolitikan Mesir pascaMubarak. Penulis menyebut kekuatan-kekuatan ini dengan istilah 3+1, yaitu, militer, IM, loyalis Mubarak, dan para aktivis muda (dengan catatan mampu melembagakan gerakan mereka). Dari kekuatan 3+1 tersebut, IM dan militerlah yang paling menentukan.

Sebagai sama-sama kekuatan lama, IM dan militer menyadari kemampuan dan kelemahan masing-masing. Mungkin itulah yang membuat dua kekuatan ini bersikap saling memahami pada masa-masa transisi. Hingga pelbagai macam agenda politik pascarevolusi berhasil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan militer sebagai pemegang pemerintahan Mesir pada masa transisi. IM berhasil menjadi pe menang secara digdaya dalam pelbagai macam agenda politik tersebut, mulai pemilihan legislatif, pemilihan presiden, hingga pemberlakuan konstitusi baru melalui referendum.

Tampaknya kemenangan demi kemenangan yang ada telah membuat IM tampil secara lebih percaya diri. Hingga IM yang menjadi penguasa Mesir pasca-Mubarak menjalankan pemerintahan nyaris tanpa kompromi. Marsekal Muhammad Hussain Thanthawi sebagai menteri pertahanan Mesir dan Ketua Dewan Agung Militer yang mengumumkan lengsernya Mubarak pun bahkan diganti dengan Jenderal Abdul Fatah As-Sisi pada pemerintahan Mursi.

Hubungan baik antara IM dan militer pun mulai memburuk bahkan sampai pada tahap patah arang seperti sekarang. Sebaliknya, militer belakangan justru tampak lebih akomodatif terhadap kelompok-kelompok nasionalis dan sekuler yang pada masa transisi acap tidak dipedulikan. Hingga akhirnya terjadi pemakzulan Muhammad Mursi yang juga dilakukan militer dan menimbulkan krisis berdarah seperti sekarang.

Pembenaran sikap

Sejarah singkat krisis politik di Mesir seperti di atas sangat penting untuk diketengahkan kembali, mengingat belakangan konflik ini seakan-akan dipahami sebagai konflik berbau agama oleh pihak tertentu dengan perspektif yang bernuansa hitam putih; IM sepenuhnya salah, sedangkan lawannya sepenuhnya benar. Begitu juga sebaliknya. Pemahaman seperti ini bahkan juga mulai berkem bang di sebagian masyarakat Indonesia.

Pelbagai macam tragedi berdarah di Mesir mutakhir terlalu besar untuk disandangkan hanya kepada pihak tertentu, baik militer, kelompok sekuler, nasionalis, maupun lainnya, mengingat semua aksi kekerasan yang terjadi sebenarnya sebagai akibat dari proses politik kekuatan yang dimainkan oleh kelompok-kelompok politik di Mesir, terhitung sejak lengsernya Mubarak hingga hari ini. Dengan kata lain, pelbagai macam pertumpahan darah di Mesir mutakhir merupakan dosa kolektif yang dilakukan segenap elite politik Mesir yang lebih memilih adu politik kekuatan daripada politik kemufakatan.

Hal itu tak berarti pembenaran terhadap pelbagai macam pembantaian yang dilakukan aparat dan militer Mesir terhadap para demonstran. Semua aksi kekerasan yang ada harus diganjar dengan hukum yang setimpal. Namun, harus dipahami juga, aparat dan militer Mesir pun tidak serta-merta membunuh warga mereka sendiri.

Oleh karenanya, dalam hemat penulis, bila ada yang mau berperan terkait dengan krisis politik di Mesir (baik pemerintah, partai, maupun unsur masyarakat lainnya), hal itu harus dilakukan dengan prinsip menolong saudara yang zalim dan yang dizalimi (unshur akhaka az-zalim wal mazlum). Menolong orang yang dizalimi agar tidak dizalimi lagi. Menolong yang zalim agar tidak melakukan kezaliman kembali. Bukan justru mendukung setiap pihak untuk terus berlaku zalim ataupun dizalimi.

Di sinilah pentingnya kompromi yang harus didorong pihak luar kepada pihak-pihak yang saat ini berseteru di Mesir. Kompromi itu penting dilakukan karena walau bagaimanapun, yang terjadi di Mesir mutakhir bukan Perang Badar ataupun perang untuk memperjuangkan kemerdekaan. Itu ialah konflik di antara sesama anak bangsa Mesir yang bahkan mungkin mempunyai keyakinan agama yang sama.
Indonesia mempunyai peluang besar dan kapasitas yang cukup untuk memainkan peran moderasi untuk mendorong tercapainya kompromi di antara segenap kekuatan politik di Mesir. Selain karena banyak pihak yang mempunyai hubungan khusus dengan elite-elite Mesir (termasuk dengan elite IM), Indonesia punya pengalaman yang cukup terkait dengan pembangunan pemerintahan yang demokratis, dan tetap bertumpu pada nilai-nilai keagamaan, tanpa menjadi negara sekuler ataupun menjadi negara agama. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar