|
SEJAUH ini belum ada tanda-tanda krisis politik di Mesir
akan segera berakhir. Yang kerap terjadi justru sebaliknya; setiap pihak yang
terlibat dalam seteru politik terus mengalami proses radikalisasi dalam versi
mereka sendiri-sendiri. Militer dan kelompoknya terus mengalami radikalisasi
dalam bentuk penggunaan senjata dan upaya paksa untuk memenangi `kebenaran'
sesuai dengan versi mereka, sedangkan Ikhwanul Muslimin (IM) dan kelompoknya
terus mengalami radikaliasi dalam bentuk aksi `demonstrasi-mabit' untuk mewujudkan `kebenaran' sesuai dengan versi mereka.
Mabit dalam bahasa Arab bermakna
menginap atau bermalam. Menginap di Mina sebagai salah satu kewajiban dalam
ibadah haji, contohnya, disebut dengan istilah mabit di Mina. Penulis kerap
menyebut unjuk rasa yang dilakukan pendukung IM pascapelengseran Mursi sebagai
perbuatan mabit, tak sekadar demonstrasi.
Dikatakan
demikian, karena aksi itu dilakukan selama berhari-hari. Sebagian besar dari
mereka bahkan menetap di sekitar tempat demo, seperti di sekitar Masjid Rabiah
Al-Adawiyah dan yang lainnya, hingga akhirnya mereka dibubarkan secara paksa
dan berdarah-darah oleh keamanan Mesir.
Krisis politik
Hal
yang harus ditegaskan ialah bahwa semua yang terjadi di Mesir merupakan krisis
politik di antara pelbagai macam kekuatan yang ada di negeri seribu menara itu.
Dalam beberapa waktu belakangan, krisis ini mengerucut kepada kelompok IM dan
militer yang melengserkan paksa Muhammad Mursi dan menggantikannya dengan
pemerintahan yang baru.
Krisis
panjang politik Mesir bermula sejak gerakan revolusi 25 Januari 2011 berhasil
melengserkan Hosni Mubarak; sebuah gerakan rakyat yang pada awalnya dimotori
kelompok pemuda dari kelas menengah dengan menggunakan media sosial seperti
Facebook dan Twitter.
Penulis
kerap menyebut revolusi 25 Januari Mesir 2011 sebagai revolusi angkot (angkutan
kota).
Dikatakan demikian kak rena revolusi ini `dinaiki' oleh para penumpang
dari latar belakang berbeda-beda, atau mungkin malah bermusuhan. Persis seperti
perilaku penumpang di dalam angkot, para pihak yang kemudian melibatkan diri
dalam revolusi ini `mendiamkan' perbedaan yang ada sembari menunggu sampai di
halte terakhir; yakni lengsernya Hosni Mubarak. Itulah yang terjadi di Mesir
pasca-Mubarak hingga hari ini.
Secara
de jure, banyak kalangan yang tampil
mewarnai pelbagai macam momentum politik di Mesir pasca-Mubarak. Namun, secara de facto, hanya beberapa kelompok yang
benar-benar menentukan dalam perpolitikan Mesir pascaMubarak. Penulis menyebut
kekuatan-kekuatan ini dengan istilah 3+1, yaitu, militer, IM, loyalis Mubarak,
dan para aktivis muda (dengan catatan mampu melembagakan gerakan mereka). Dari
kekuatan 3+1 tersebut, IM dan militerlah yang paling menentukan.
Sebagai
sama-sama kekuatan lama, IM dan militer menyadari kemampuan dan kelemahan
masing-masing. Mungkin itulah yang membuat dua kekuatan ini bersikap saling
memahami pada masa-masa transisi. Hingga pelbagai macam agenda politik
pascarevolusi berhasil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan militer sebagai
pemegang pemerintahan Mesir pada masa transisi. IM berhasil menjadi pe menang
secara digdaya dalam pelbagai macam agenda politik tersebut, mulai pemilihan
legislatif, pemilihan presiden, hingga pemberlakuan konstitusi baru melalui
referendum.
Tampaknya
kemenangan demi kemenangan yang ada telah membuat IM tampil secara lebih
percaya diri. Hingga IM yang menjadi penguasa Mesir pasca-Mubarak menjalankan
pemerintahan nyaris tanpa kompromi. Marsekal Muhammad Hussain Thanthawi sebagai
menteri pertahanan Mesir dan Ketua Dewan Agung Militer yang mengumumkan
lengsernya Mubarak pun bahkan diganti dengan Jenderal Abdul Fatah As-Sisi pada
pemerintahan Mursi.
Hubungan
baik antara IM dan militer pun mulai memburuk bahkan sampai pada tahap patah
arang seperti sekarang. Sebaliknya, militer belakangan justru tampak lebih
akomodatif terhadap kelompok-kelompok nasionalis dan sekuler yang pada masa
transisi acap tidak dipedulikan. Hingga akhirnya terjadi pemakzulan Muhammad
Mursi yang juga dilakukan militer dan menimbulkan krisis berdarah seperti
sekarang.
Pembenaran sikap
Sejarah
singkat krisis politik di Mesir seperti di atas sangat penting untuk
diketengahkan kembali, mengingat belakangan konflik ini seakan-akan dipahami
sebagai konflik berbau agama oleh pihak tertentu dengan perspektif yang
bernuansa hitam putih; IM sepenuhnya salah, sedangkan lawannya sepenuhnya
benar. Begitu juga sebaliknya. Pemahaman seperti ini bahkan juga mulai berkem
bang di sebagian masyarakat Indonesia.
Pelbagai
macam tragedi berdarah di Mesir mutakhir terlalu besar untuk disandangkan hanya
kepada pihak tertentu, baik militer, kelompok sekuler, nasionalis, maupun
lainnya, mengingat semua aksi kekerasan yang terjadi sebenarnya sebagai akibat
dari proses politik kekuatan yang dimainkan oleh kelompok-kelompok politik di Mesir,
terhitung sejak lengsernya Mubarak hingga hari ini. Dengan kata lain, pelbagai
macam pertumpahan darah di Mesir mutakhir merupakan dosa kolektif yang
dilakukan segenap elite politik Mesir yang lebih memilih adu politik kekuatan
daripada politik kemufakatan.
Hal
itu tak berarti pembenaran terhadap pelbagai macam pembantaian yang dilakukan
aparat dan militer Mesir terhadap para demonstran. Semua aksi kekerasan yang
ada harus diganjar dengan hukum yang setimpal. Namun, harus dipahami juga,
aparat dan militer Mesir pun tidak serta-merta membunuh warga mereka sendiri.
Oleh
karenanya, dalam hemat penulis, bila ada yang mau berperan terkait dengan
krisis politik di Mesir (baik pemerintah, partai, maupun unsur masyarakat
lainnya), hal itu harus dilakukan dengan prinsip menolong saudara yang zalim
dan yang dizalimi (unshur akhaka az-zalim
wal mazlum). Menolong orang yang dizalimi agar tidak dizalimi lagi.
Menolong yang zalim agar tidak melakukan kezaliman kembali. Bukan justru
mendukung setiap pihak untuk terus berlaku zalim ataupun dizalimi.
Di
sinilah pentingnya kompromi yang harus didorong pihak luar kepada pihak-pihak
yang saat ini berseteru di Mesir. Kompromi itu penting dilakukan karena walau
bagaimanapun, yang terjadi di Mesir mutakhir bukan Perang Badar ataupun perang
untuk memperjuangkan kemerdekaan. Itu ialah konflik di antara sesama anak
bangsa Mesir yang bahkan mungkin mempunyai keyakinan agama yang sama.
Indonesia
mempunyai peluang besar dan kapasitas yang cukup untuk memainkan peran moderasi
untuk mendorong tercapainya kompromi di antara segenap kekuatan politik di
Mesir. Selain karena banyak pihak yang mempunyai hubungan khusus dengan
elite-elite Mesir (termasuk dengan elite IM), Indonesia punya pengalaman yang
cukup terkait dengan pembangunan pemerintahan yang demokratis, dan tetap
bertumpu pada nilai-nilai keagamaan, tanpa menjadi negara sekuler ataupun
menjadi negara agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar