|
Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Migas Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa
(13/8) lalu, seakan jadi pembenaran atas sinyalemen yang selama ini berkembang
di masyarakat bahwa sektor migas sarat korupsi.
Korupsi di
negeri ini sebenarnya bukan monopoli sektor migas, di sektor lain pun terjadi.
Namun, karena korupsi di sektor migas (dapat) berdampak luas, hal ini menjadi
faktor yang membuat sektor migas lebih disorot.
Pada 1974/1975,
inefisiensi dan kesalahan pengelolaan yang terindikasi kuat sebagai korupsi
terjadi di Pertamina, menyebabkan utang perusahaan pada saat itu mencapai 10,5
miliar dollar AS (Glassburner, 1976; Robison, 1986; Schulte Nordholt, 1997).
Utang sebesar itu lebih kurang setara dengan 30 persen total produk nasional
bruto (gross national product/GNP)
Indonesia saat itu.
Dari Robison
(1986), Schulte Nordholt (1997), dan ReforMiner
Institute (2011) diketahui, inefisiensi yang sedemikian besar itu terjadi
karena dua sebab. Pertama, faktor politik, yaitu Pertamina menjadi ”sapi perah”
rezim yang berkuasa dan kekuatan-kekuatan politik lain yang dominan. Kedua,
karena faktor tata kelola kelembagaan migas nasional yang bermasalah. Pertamina
pada saat itu memiliki kewenangan besar, tetapi lemah dalam aspek
pengawasannya.
Faktor politik
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, kedudukan Pertamina pada saat itu langsung di
bawah presiden, sebagai wakil negara dalam melakukan kontrak bagi produksi (production sharing contract/PSC) dengan
kontraktor migas yang sebagian besar adalah asing. Termasuk dalam kewenangan
ini adalah menjual minyak mentah dan gas bagian negara hasil dari PSC. Kasus
korupsi yang diduga terjadi di SKK Migas saat ini kemungkinan besar juga
disebabkan, atau setidaknya terkait, dua faktor tersebut.
Posisi dan
fungsi SKK Migas sebagai lembaga pemerintah yang mengelola perputaran uang di
sektor hulu migas, yang per tahun mencapai Rp 500 triliun lebih, memungkinkan
terjadinya fenomena yang serupa dengan ”sapi perah” pada masa lalu.
Secara politik,
hal ini mengondisikan siapa yang menduduki posisi kunci di SKK Migas harus
menanggung konsekuensi ”melayani” penguasa dan/atau kekuatan-kekuatan politik
lain yang memiliki pengaruh. Jika tidak mengikuti aturan main itu, atau tak
dapat memainkan politiknya secara ”cantik”, seseorang akan sulit menduduki atau
bertahan lama di posisi kunci SKK Migas.
Fenomena ini sangat
mungkin bukan hanya terjadi pada era SKK Migas, melainkan juga sebelumnya
ketika lembaga ini masih bernama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP
Migas) dan Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKSP
Migas). Juga dapat terjadi pada BUMN migas atau energi lainnya. Jika
inefisiensi dan korupsi yang terjadi disebabkan oleh faktor politik ini,
penanganannya relatif sulit. Selama kultur politik di negeri ini menjadikan
sektor migas dan lembaga di dalamnya sebagai ”sapi perah”, selama itu pula
korupsi dan inefisiensi lain di sektor migas akan terus terjadi.
Faktor kelembagaan
Kewenangan SKK
Migas sebagai pengendali kegiatan usaha hulu migas, yang di dalamnya mencakup
kewenangan menunjuk pihak ketiga untuk menjual minyak mentah dan gas bagian
negara dengan hanya memiliki komisi pengawas, juga menggambarkan tata kelola
kelembagaan hulu migas nasional yang rendah aspek pengawasan dan
akuntabilitasnya. Keberadaan Komisi Pengawas SKK Migas, yang sebelumnya tidak
ada dalam struktur lembaga BP Migas, lebih bernuansakan formalitas dan
pencitraan saja demi mengakomodasi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang memang menyoroti lemahnya aspek pengawasan ketika membubarkan BP Migas.
Esensi lemahnya pengawasan dan akuntabilitas karena sebelumnya posisi dan
kedudukan BP Migas di bawah presiden masih tetap terbawa ketika BP Migas
berganti nama menjadi SKSP Migas dan SKK Migas.
Meskipun faktor
ini juga bersifat struktural, peminimalan korupsi atau inefisiensinya lebih
mudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menurunkan derajat SKK Migas dari
sebuah badan pemerintah menjadi hanya sebagai badan usaha milik negara, dengan
kewenangan terbatas menangani kontrak kerja sama atau portofolio investasi
negara dengan perusahaan migas lain untuk blok-blok migas yang tidak dikelola
sendiri oleh Pertamina. Jadi, posisinya lebih kurang setara dengan Pertamina,
di bawah kementerian tertentu, di bawah pengawasan dewan komisaris yang dapat
terdiri atas unsur-unsur independen.
Secara relatif,
bentuk badan usaha dengan indikator-indikator keuangan, seperti modal, aset,
laba, biaya, investasi, dan utang, akan lebih akuntabel daripada bentuk badan pemerintah
yang cenderung hanya menonjolkan besaran penerimaan negara sebagai indikator
utama kinerjanya. Dengan berbentuk badan usaha, rantai birokrasi penjualan
minyak mentah dan gas bagian negara juga menjadi lebih pendek. Badan usaha
dapat melakukan penjualan sendiri sehingga tidak lagi memerlukan kehadiran
pihak ketiga seperti sekarang.
Dalam proyeksi
ke depan, bentuk badan usaha juga dapat lebih menjamin transparansi dan
akuntabilitas manakala suatu saat badan usaha tersebut terbuka untuk publik.
Kelembagaan sektor migas Norwegia, dengan dua perusahaan migas negara (Statoil
dan Petoro) di bawah Kementerian Perminyakan dan Energi, terbukti telah
mengurangi inefisiensi dan korupsi yang sebelumnya juga terjadi dalam
pengelolaan sektor migas negara itu (ReforMiner,
2011). Perubahan struktural semacam ini pada gilirannya juga dapat
meminimalkan pengaruh politik yang memicu terjadinya korupsi.
Dalam konteks
Indonesia, perubahan struktural hanya dapat dilakukan jika pemerintah dan DPR
mengganti UU Migas No 22/2001, yang sebagian besar pasalnya yang berhubungan
dengan kegiatan hulu migas telah dinyatakan MK tidak memiliki kekuatan hukum
tetap karena bertentangan dengan konstitusi. Itulah yang seharusnya dilakukan
pemerintah saat MK membubarkan BP Migas pada November 2012. Bukan sekadar ganti
”baju” dari BP Migas menjadi SKSP Migas dan SKK Migas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar