|
BISA dipastikan KarSa (Soekarwo-Saifullah
Yusuf) dalam pilgub (29/8) periode 2013-2018 mendapat kesempatan lima tahun
lagi dari rakyat untuk menjadi gubernur Jatim. Hasil quick count menempatkan suara pasangan incumbent itu mencapai 46,6-49,22 persen, sedangkan lawan terberat,
yakni Berkah (Khofifah-Herman), mendapat 35,84-38,42 persen suara.
Pilgub Jatim ini heboh oleh El Clasico. Lima tahun lalu Khofifah Indar Parawansa berpasangan dengan Mudjiono (Kaji). Pilgub 2008 itu berlangsung dua putaran, bahkan di beberapa daerah sampai tiga putaran. Biaya pilgub tersebut memecahkan rekor sampai Rp 835 miliar. Dengan PAD Rp 5,7 triliun, ketika itu ternyata dibutuhkan ongkos pilgub sampai 14,6 persen. Dari perspektif ekonomi menggunakan hitung-hitungan loss benefit ratio sederhana, ongkos tersebut sangat tidak rasional.
Kini rasa penasaran Khofifah, yang sekarang berpasangan dengan Herman Sumawiredja atau (Berkah), sudah terbayar. Dinamika politik rakyat Jatim berbeda jika dibanding 2008. Alangkah baik bila disikapi dengan legawa.
Rakyat Jawa Timur saat ini harus berfokus pada KarSa. Janji-janji yang ditebar saat kampanye harus ditepati. Namun, jika diperhatikan, KarSa sebenarnya tidak berjanji dalam angka-angka. Mereka memahami, janji akan berkonsekuensi pada ongkos yang sangat mahal jika ditagih.
Dalam berbagai debat kandidat gubernur, KarSa memosisikan diri tidak membuat program baru, namun bersikap defensif atas kritik para kandidat pasangan baru. KarSa harus menjelaskan keberhasilan programnya secara makro. Jikapun toh meleset, mereka berdalih masih diperlukan partisipasi publik yang implementasinya masih dibangun KarSa. Akhirnya, tidak bisa dicatat apa janji KarSa sebenarnya.
Hal itu sangat berbeda dengan janji-janji ''bombastis'' yang ditebar pasangan Jempol dan Beres. Janji pasangan (yang kalah) itu mudah diingat. Jempol (Bambang D.H.-Said Abdullah) berjanji membagikan Rp 500 juta per desa setiap tahun kepada seluruh desa di Jawa Timur. Beres (Eggy Sudjana-M.Sihat) berjanji menebar Rp 1 miliar untuk masing-masing desa yang mencapai 8.506 desa di Jatim. Jika pasangan itu menang, mungkin PAD Jawa Timur langsung tergerus Rp 4,2 triliun sampai Rp 8,5 triliun.
Konsekuensi ''tidak berjanjinya'' KarSa itu harus diterima rakyat Jatim sebagai cek kosong bahwa Jatim mungkin akan normatif seperti sekarang. Pada masa pemerintahan kedua, umumnya kepala daerah bertindak aman daripada berpikir progresif yang rentan dengan risiko hukum dan politik. Itulah pintarnya komunikasi politik KarSa yang melanjutkan Jatim-1 periode 2013-2018.
Masih Ada 2014
Provinsi Jawa Timur sebetulnya merupakan provinsi yang gifted, dikarunia kekayaan besar dan sumber daya alam bervariasi. Nilai pendapatan domestik regional bruto (PDRB) diperkirakan mencapai Rp 1.136,08 triliun pada tahun ini dan menduduki urutan kedua dalam perolehan PAD di Indonesia setelah DKI Jakarta. Karena itulah, gaji yang dibawa pulang gubernur Jatim mencapai Rp 643,2 juta per bulan atau terbesar di Indonesia.
Menjadi gubernur Jatim adalah posisi aman senyaman-nyamannya di Indonesia. Gubernur tidak dipusingkan oleh persoalan kemacetan kota, sampah, kaum urban, terorisme, atau banjir perkotaan seperti yang dipusingkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Provinsi ini adalah provinsi cash cow. Artinya, provinsi yang sudah menghasilkan. Siapa pun gubernurnya tinggal menikmati hasilnya. Untung dari sisi geografi, sosial, dan secara ekonomi untung segala-galanya.
Atas kalkulasi tersebut, jika gubernur melakukan sedikit hal kecil menjadi lebih baik, kinerjanya akan diingat oleh rakyat sepanjang masa. Proyek Jembatan Suramadu mungkin tidak melibatkan Gubernur Soekarwo secara langsung. Namun, dia mendapat berkah reputasi karena kebetulan penyelesaian proyek terjadi dalam masa pemerintahannya.
Sebaliknya, ketika ada konflik aliran seperti yang terjadi di Madura, image kantor gubernur tetap selamat karena polisi pasang badan menjadi kambing hitam. Kantor gubernur juga tetap aman meski masalah lumpur Lapindo belum tuntas. Sebab, ada PT Minarak Lapindo Jaya yang bisa disalahkan.
Namun, kali ini KarSa tidak boleh bersembunyi di balik masalah-masalah yang membelit rakyatnya. Misalnya, pengangguran dan kemiskinan serta indeks pembangunan manusia (IPM) yang masih berat. Masyarakat Jatim sudah semakin cerdas, mampu membedakan mana yang benar-benar kinerja kantor gubernur dan mana yang hanya diklaim.
Periode kedua ini adalah kemenangan KarSa dengan ''cek kosong''. Namun, rakyat masih bisa menilai dan memberikan penghakiman. Sebanyak 30,034 juta suara rakyat Jatim ini akan menentukan pada pemilu suksesi nasional 2014. Waktu setahun ini bisa menjadi penentu. Sebab, Soekarwo juga petinggi Partai Demokrat. Bukankah setahun aktivitas Jokowi di Jakarta, memang dengan liputan media yang masif, menjadi sangat berarti untuk popularitas?
Selamat kepada gubernur ''baru''! ●
Pilgub Jatim ini heboh oleh El Clasico. Lima tahun lalu Khofifah Indar Parawansa berpasangan dengan Mudjiono (Kaji). Pilgub 2008 itu berlangsung dua putaran, bahkan di beberapa daerah sampai tiga putaran. Biaya pilgub tersebut memecahkan rekor sampai Rp 835 miliar. Dengan PAD Rp 5,7 triliun, ketika itu ternyata dibutuhkan ongkos pilgub sampai 14,6 persen. Dari perspektif ekonomi menggunakan hitung-hitungan loss benefit ratio sederhana, ongkos tersebut sangat tidak rasional.
Kini rasa penasaran Khofifah, yang sekarang berpasangan dengan Herman Sumawiredja atau (Berkah), sudah terbayar. Dinamika politik rakyat Jatim berbeda jika dibanding 2008. Alangkah baik bila disikapi dengan legawa.
Rakyat Jawa Timur saat ini harus berfokus pada KarSa. Janji-janji yang ditebar saat kampanye harus ditepati. Namun, jika diperhatikan, KarSa sebenarnya tidak berjanji dalam angka-angka. Mereka memahami, janji akan berkonsekuensi pada ongkos yang sangat mahal jika ditagih.
Dalam berbagai debat kandidat gubernur, KarSa memosisikan diri tidak membuat program baru, namun bersikap defensif atas kritik para kandidat pasangan baru. KarSa harus menjelaskan keberhasilan programnya secara makro. Jikapun toh meleset, mereka berdalih masih diperlukan partisipasi publik yang implementasinya masih dibangun KarSa. Akhirnya, tidak bisa dicatat apa janji KarSa sebenarnya.
Hal itu sangat berbeda dengan janji-janji ''bombastis'' yang ditebar pasangan Jempol dan Beres. Janji pasangan (yang kalah) itu mudah diingat. Jempol (Bambang D.H.-Said Abdullah) berjanji membagikan Rp 500 juta per desa setiap tahun kepada seluruh desa di Jawa Timur. Beres (Eggy Sudjana-M.Sihat) berjanji menebar Rp 1 miliar untuk masing-masing desa yang mencapai 8.506 desa di Jatim. Jika pasangan itu menang, mungkin PAD Jawa Timur langsung tergerus Rp 4,2 triliun sampai Rp 8,5 triliun.
Konsekuensi ''tidak berjanjinya'' KarSa itu harus diterima rakyat Jatim sebagai cek kosong bahwa Jatim mungkin akan normatif seperti sekarang. Pada masa pemerintahan kedua, umumnya kepala daerah bertindak aman daripada berpikir progresif yang rentan dengan risiko hukum dan politik. Itulah pintarnya komunikasi politik KarSa yang melanjutkan Jatim-1 periode 2013-2018.
Masih Ada 2014
Provinsi Jawa Timur sebetulnya merupakan provinsi yang gifted, dikarunia kekayaan besar dan sumber daya alam bervariasi. Nilai pendapatan domestik regional bruto (PDRB) diperkirakan mencapai Rp 1.136,08 triliun pada tahun ini dan menduduki urutan kedua dalam perolehan PAD di Indonesia setelah DKI Jakarta. Karena itulah, gaji yang dibawa pulang gubernur Jatim mencapai Rp 643,2 juta per bulan atau terbesar di Indonesia.
Menjadi gubernur Jatim adalah posisi aman senyaman-nyamannya di Indonesia. Gubernur tidak dipusingkan oleh persoalan kemacetan kota, sampah, kaum urban, terorisme, atau banjir perkotaan seperti yang dipusingkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Provinsi ini adalah provinsi cash cow. Artinya, provinsi yang sudah menghasilkan. Siapa pun gubernurnya tinggal menikmati hasilnya. Untung dari sisi geografi, sosial, dan secara ekonomi untung segala-galanya.
Atas kalkulasi tersebut, jika gubernur melakukan sedikit hal kecil menjadi lebih baik, kinerjanya akan diingat oleh rakyat sepanjang masa. Proyek Jembatan Suramadu mungkin tidak melibatkan Gubernur Soekarwo secara langsung. Namun, dia mendapat berkah reputasi karena kebetulan penyelesaian proyek terjadi dalam masa pemerintahannya.
Sebaliknya, ketika ada konflik aliran seperti yang terjadi di Madura, image kantor gubernur tetap selamat karena polisi pasang badan menjadi kambing hitam. Kantor gubernur juga tetap aman meski masalah lumpur Lapindo belum tuntas. Sebab, ada PT Minarak Lapindo Jaya yang bisa disalahkan.
Namun, kali ini KarSa tidak boleh bersembunyi di balik masalah-masalah yang membelit rakyatnya. Misalnya, pengangguran dan kemiskinan serta indeks pembangunan manusia (IPM) yang masih berat. Masyarakat Jatim sudah semakin cerdas, mampu membedakan mana yang benar-benar kinerja kantor gubernur dan mana yang hanya diklaim.
Periode kedua ini adalah kemenangan KarSa dengan ''cek kosong''. Namun, rakyat masih bisa menilai dan memberikan penghakiman. Sebanyak 30,034 juta suara rakyat Jatim ini akan menentukan pada pemilu suksesi nasional 2014. Waktu setahun ini bisa menjadi penentu. Sebab, Soekarwo juga petinggi Partai Demokrat. Bukankah setahun aktivitas Jokowi di Jakarta, memang dengan liputan media yang masif, menjadi sangat berarti untuk popularitas?
Selamat kepada gubernur ''baru''! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar