|
Dalam
sejumlah kesempatan, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto,
berulangkali mengemukakan gagasan mengenai pentingnya kehadiran “orang kuat”
sebagai pemimpin Indonesia mendatang.
Menurut
Prabowo, perubahan terhadap ketimpangan kesejahteraan, krisis pangan, krisis
energi, dan sejumlah krisis lain saat ini hanya dapat dilakukan melalui
kehadiran “orang kuat” sebagai pemimpin.
Terakhir,
pandangan itu dikemukakan oleh Prabowo saat berpidato dalam peluncuran “Enam
Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra 2014-2019,” belum lama ini.
Sebelumnya, pandangan serupa juga pernah dilontarkan mantan Pangkostrad
tersebut dalam sebuah kesempatan ceramah di Rajaratnam
School of International Studies (RSIS), Agustus tahun lalu.
Tidak
dapat dimungkiri, kemunculan pemikiran mengenai perlunya “orang kuat” (kembali)
hadir di Indonesia dipicu realitas saat ini dimana eksistensi demokrasi belum
banyak memberi arti. Hal itu terjadi lantaran para elite politik kita masih
memaknai demokrasi sebatas pada aspek prosedural semata.
Penguatan
Presidensialisme
Kehadiran
era reformasi yang penuh keterbukaan politik memang telah memberikan ruang luas
bagi bangsa Indonesia untuk menghadirkan demokrasi sebagai aturan main dalam
membangun kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Setelah 32 tahun berada di
bawah kekuasaan rezim otoritarianisme Orde Baru, Indonesia secara
perlahan-lahan bertransformasi menjadi negara demokrasi.
Meskipun
demikian, harus diakui setelah 15 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme
ternyata eksistensi demokrasi di Indonesia belum banyak memberi arti. Demokrasi
seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik.
Apa
yang ada di benak sebagian besar elite politik kita bukanlah bagaimana cara
menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan justru kapan dan bagaimana
cara merebut, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan.
Hal
itu mengakibatkan demokrasi kita menjadi tidak lebih dari sekadar panggung
konsenstasi politik yang penuh kegaduhan dan kebisingan. Tidak heran jika
kemudian kita merasa bimbang melihat praktik demokrasi dan kehidupan politik di
Indonesia dewasa ini. Padahal, sejatinya demokrasi tidak boleh hanya dimaknai
sebatas pada kebebasan untuk berkumpul, berserikat, berorganisasi, dan
berekspresi.
Berbagai
kegaduhan dan kebisingan yang hadir mengiringi perjalanan demokrasi di
Indonesia itu tentu memunculkan konsekuensi tersendiri bagi siapa pun presiden
yang memimpin negeri ini.
Bukan
pekerjaan ringan menjadi seorang presiden dari sebuah pemerintahan yang
disesaki berbagai kegaduhan dan kebisingan politik. Berbagai kegaduhan dan
kebisingan politik itu sering kali menimbulkan goncangan-goncangan yang
mengganggu pemerintahan.
Lebih
jauh, berbagai kegaduhan dan kebisingan politik itu juga mengakibatkan
kelangkaan objektivitas dalam memandang dan melakukan penilaian terhadap kinerja
seorang presiden, termasuk di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Dalam berbagai kesempatan Presiden SBY mengungkapkan tidak
mudah menjadi presiden di era seperti saat ini di mana euforia masih terasa
sangat berlebihan.
Setelah
reformasi bergulir, partai-partai politik kembali menjadi soko guru utama
politik Indonesia. Meskipun menganut sistem presidensial di era reformasi ini
partai politik seakan memiliki kekuasaan begitu besar dalam menentukan dinamika
politik di Indonesia.
Kekuasaan
partai politik yang begitu besar kemudian berlanjut tatkala mereka memasuki
lembaga legislatif.
Jika
di masa lalu lembaga eksekutif memiliki kekuasaan begitu besar (executive heavy), maka di era reformasi
ini justru parlemen yang memiliki kekuasaan begitu besar (legislative heavy). Sebuah realitas politik yang sesungguhnya tidak
dikehendaki saat bangsa ini melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
di masa-masa awal reformasi dahulu.
Pascaempat
kali amendemen UUD 1945 bangunan kekuasaan mengalami perubahan paradigma yang
mengarah pada pengukuhan sistem presidensial secara murni. Prinsip dasar dari
sistem presidensial ialah bahwa basis legitimasi seorang presiden bersumber
dari rakyat dan bukan dari parlemen sebagaimana sistem parlementer.
Karena
itu, penerapan sistem presidensial kemudian disimbolkan dengan pemilihan
pemimpin lembaga eksekutif secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara
langsung ini dimaksudkan untuk menghadirkan pemimpin yang demokratis dan
representatif sesuai dengan keinginan rakyat serta untuk mengurangi praktek
politik uang atau pembelian suara.
Konsekuensi
logis dari hal ini lembaga legislatif tidak lagi memiliki hak untuk memilih dan
meminta laporan keterangan pertanggungjawaban seorang presiden.
Dengan
kata lain semangat UUD 1945 pascaempat kali amendemen sangat bertolak belakang
dengan UUD 1945 terdahulu yang memberikan kewenangan besar kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif untuk menentukan “takdir
politik” seorang presiden yang tengah menjabat. Kini, kebijakan akhir terhadap
pemimpin eksekutif yang bermasalah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi selain
diproses pula melalui jalur peradilan.
Lembaga
eksekutif dan legislatif berada pada posisi sejajar sehingga tidak dapat saling
menjatuhkan. Kedua lembaga itu bersifat mandiri dan menjalankan mekanisme
checks and balances dalam bingkai tatanan ketatanegaraan.
Prinsip
dasar lain dari sistem presidensial ialah bahwa presiden memegang kekuasaan
tertinggi pemerintahan eksekutif. Tidak ada satu pun lembaga politik yang
memiliki posisi lebih tinggi dari presiden, kecuali rakyat secara politik dan
konstitusi secara hukum.
Sejatinya
pemilihan presiden secara langsung membuat lembaga eksekutif berjalan efektif
dalam melayani kepentingan rakyat mengingat legitimasi kekuasaan yang ia
peroleh langsung berasal dari rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.
Namun,
realitas politik menujukkan meskipun presiden telah dipilih secara langsung
oleh rakyat, tetapi ia sering kali dipaksa untuk mengakomodasi berbagai kepetingan
partai yang duduk di legislatif. Sulit dimungkiri penerapan sistem presidensial
dalam konteks multipartai seperti saat ini telah menimbulkan kerumitan
tersendiri.
Dalam
“Presidentialism, Multipartism, and
Democracy: The Difficult Combination,” Scott Mainwaring mengungkapkan
kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai membawa implikasi berupa
tidak adanya kekuatan mayoritas partai politik yang menguasai parlemen sehingga
berpotensi mengakibatkan deadlock
politik.
Hal
ini kemudian memberi peluang bagi parlemen untuk “mengganggu” presiden.
Presiden pun dipaksa untuk melakukan konsensus dan kompromi dengan cita rasa
parlemen sehingga rentan mengarah kepada politik transaksional di mana hubungan
antarelite dibangun di atas pondasi pragmatisme, bukan kesamaan gagasan atau platform politik
Dalam
jangka panjang hal ini tentu sangat merugikan kehidupan demokrasi dan masa
depan sistem presidensial. Kehadiran sebuah pemerintah efektif boleh jadi tidak
akan pernah terwujud. Inilah anomali besar dalam sistem presidensial di
Indonesia saat ini.
Tidak
Relevan
Elaborasi
di atas menujukkan pandangan mengenai perlunya menghadirkan (kembali) “orang
kuat” di Indonesia tidak relevan. Eksistensi demokrasi yang belum banyak
memberi arti seperti saat ini hanya dapat diperbaiki melalui pembenahan
institusi-institusi publik agar menjadi lebih transparan dan akuntabel. Selain
itu, jaminan terhadap kebebasan sipil dan penegakan hukum juga perlu dikuatkan.
Semua
hal itu dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi yang dapat berujung
pada kehadiran sebuah pemerintahan yang efektif. Kehadiran “orang kuat” hanya akan membawa negara ini kembali ke rezim
otoritarian sebagaimana masa Orde Lama dan Orde Baru dahulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar