Jumat, 30 Agustus 2013

Demokrasi dan “Orang Kuat”

Demokrasi dan “Orang Kuat”
Bawono Kumoro ;   Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 29 Agustus 2013
  

Dalam sejumlah kesempatan, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, berulangkali mengemukakan gagasan mengenai pentingnya kehadiran “orang kuat” sebagai pemimpin Indonesia mendatang.

Menurut Prabowo, perubahan terhadap ketimpangan kesejahteraan, krisis pangan, krisis energi, dan sejumlah krisis lain saat ini hanya dapat dilakukan melalui kehadiran “orang kuat” sebagai pemimpin.
Terakhir, pandangan itu dikemukakan oleh Prabowo saat berpidato dalam peluncuran “Enam Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra 2014-2019,” belum lama ini. Sebelumnya, pandangan serupa juga pernah dilontarkan mantan Pangkostrad tersebut dalam sebuah kesempatan ceramah di Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Agustus tahun lalu.

Tidak dapat dimungkiri, kemunculan pemikiran mengenai perlunya “orang kuat” (kembali) hadir di Indonesia dipicu realitas saat ini dimana eksistensi demokrasi belum banyak memberi arti. Hal itu terjadi lantaran para elite politik kita masih memaknai demokrasi sebatas pada aspek prosedural semata.

Penguatan Presidensialisme

Kehadiran era reformasi yang penuh keterbukaan politik memang telah memberikan ruang luas bagi bangsa Indonesia untuk menghadirkan demokrasi sebagai aturan main dalam membangun kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Setelah 32 tahun berada di bawah kekuasaan rezim otoritarianisme Orde Baru, Indonesia secara perlahan-lahan bertransformasi menjadi negara demokrasi.

Meskipun demikian, harus diakui setelah 15 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme ternyata eksistensi demokrasi di Indonesia belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik.

Apa yang ada di benak sebagian besar elite politik kita bukanlah bagaimana cara menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan justru kapan dan bagaimana cara merebut, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan.

Hal itu mengakibatkan demokrasi kita menjadi tidak lebih dari sekadar panggung konsenstasi politik yang penuh kegaduhan dan kebisingan. Tidak heran jika kemudian kita merasa bimbang melihat praktik demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia dewasa ini. Padahal, sejatinya demokrasi tidak boleh hanya dimaknai sebatas pada kebebasan untuk berkumpul, berserikat, berorganisasi, dan berekspresi.
Berbagai kegaduhan dan kebisingan yang hadir mengiringi perjalanan demokrasi di Indonesia itu tentu memunculkan konsekuensi tersendiri bagi siapa pun presiden yang memimpin negeri ini.

Bukan pekerjaan ringan menjadi seorang presiden dari sebuah pemerintahan yang disesaki berbagai kegaduhan dan kebisingan politik. Berbagai kegaduhan dan kebisingan politik itu sering kali menimbulkan goncangan-goncangan yang mengganggu pemerintahan.

Lebih jauh, berbagai kegaduhan dan kebisingan politik itu juga mengakibatkan kelangkaan objektivitas dalam memandang dan melakukan penilaian terhadap kinerja seorang presiden, termasuk di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam berbagai kesempatan Presiden SBY mengungkapkan tidak mudah menjadi presiden di era seperti saat ini di mana euforia masih terasa sangat berlebihan.

Setelah reformasi bergulir, partai-partai politik kembali menjadi soko guru utama politik Indonesia. Meskipun menganut sistem presidensial di era reformasi ini partai politik seakan memiliki kekuasaan begitu besar dalam menentukan dinamika politik di Indonesia.
Kekuasaan partai politik yang begitu besar kemudian berlanjut tatkala mereka memasuki lembaga legislatif.

Jika di masa lalu lembaga eksekutif memiliki kekuasaan begitu besar (executive heavy), maka di era reformasi ini justru parlemen yang memiliki kekuasaan begitu besar (legislative heavy). Sebuah realitas politik yang sesungguhnya tidak dikehendaki saat bangsa ini melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di masa-masa awal reformasi dahulu.

Pascaempat kali amendemen UUD 1945 bangunan kekuasaan mengalami perubahan paradigma yang mengarah pada pengukuhan sistem presidensial secara murni. Prinsip dasar dari sistem presidensial ialah bahwa basis legitimasi seorang presiden bersumber dari rakyat dan bukan dari parlemen sebagaimana sistem parlementer.

Karena itu, penerapan sistem presidensial kemudian disimbolkan dengan pemilihan pemimpin lembaga eksekutif secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung ini dimaksudkan untuk menghadirkan pemimpin yang demokratis dan representatif sesuai dengan keinginan rakyat serta untuk mengurangi praktek politik uang atau pembelian suara.

Konsekuensi logis dari hal ini lembaga legislatif tidak lagi memiliki hak untuk memilih dan meminta laporan keterangan pertanggungjawaban seorang presiden.

Dengan kata lain semangat UUD 1945 pascaempat kali amendemen sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 terdahulu yang memberikan kewenangan besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif untuk menentukan “takdir politik” seorang presiden yang tengah menjabat. Kini, kebijakan akhir terhadap pemimpin eksekutif yang bermasalah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi selain diproses pula melalui jalur peradilan.

Lembaga eksekutif dan legislatif berada pada posisi sejajar sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Kedua lembaga itu bersifat mandiri dan menjalankan mekanisme checks and balances dalam bingkai tatanan ketatanegaraan.

Prinsip dasar lain dari sistem presidensial ialah bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan eksekutif. Tidak ada satu pun lembaga politik yang memiliki posisi lebih tinggi dari presiden, kecuali rakyat secara politik dan konstitusi secara hukum.

Sejatinya pemilihan presiden secara langsung membuat lembaga eksekutif berjalan efektif dalam melayani kepentingan rakyat mengingat legitimasi kekuasaan yang ia peroleh langsung berasal dari rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.

Namun, realitas politik menujukkan meskipun presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi ia sering kali dipaksa untuk mengakomodasi berbagai kepetingan partai yang duduk di legislatif. Sulit dimungkiri penerapan sistem presidensial dalam konteks multipartai seperti saat ini telah menimbulkan kerumitan tersendiri.

Dalam “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination,” Scott Mainwaring mengungkapkan kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai membawa implikasi berupa tidak adanya kekuatan mayoritas partai politik yang menguasai parlemen sehingga berpotensi mengakibatkan deadlock politik.

Hal ini kemudian memberi peluang bagi parlemen untuk “mengganggu” presiden. Presiden pun dipaksa untuk melakukan konsensus dan kompromi dengan cita rasa parlemen sehingga rentan mengarah kepada politik transaksional di mana hubungan antarelite dibangun di atas pondasi pragmatisme, bukan kesamaan gagasan atau platform politik

Dalam jangka panjang hal ini tentu sangat merugikan kehidupan demokrasi dan masa depan sistem presidensial. Kehadiran sebuah pemerintah efektif boleh jadi tidak akan pernah terwujud. Inilah anomali besar dalam sistem presidensial di Indonesia saat ini.

Tidak Relevan

Elaborasi di atas menujukkan pandangan mengenai perlunya menghadirkan (kembali) “orang kuat” di Indonesia tidak relevan. Eksistensi demokrasi yang belum banyak memberi arti seperti saat ini hanya dapat diperbaiki melalui pembenahan institusi-institusi publik agar menjadi lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, jaminan terhadap kebebasan sipil dan penegakan hukum juga perlu dikuatkan.


Semua hal itu dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi yang dapat berujung pada kehadiran sebuah pemerintahan yang efektif. Kehadiran “orang kuat” hanya akan membawa negara ini kembali ke rezim otoritarian sebagaimana masa Orde Lama dan Orde Baru dahulu. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar