|
MAHKAMAH Agung (MA) membuat kegemparan
terkait kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). MA
memvonis bebas mantan bos Badan Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan
yang buron. Sudjiono bebas lewat pintu peninjauan kembali (PK) yang dimohonkan
oleh istrinya (ahli waris). Padahal, pada 2004 Sudjiono divonis 15 tahun
penjara oleh MA atas kasus kredit fiktif yang merugikan negara sekitar Rp 369
miliar.
Kasus
ini berawal dari pengucuran kredit dana BLBI oleh BPUI kepada beberapa perusahaan
tanpa jaminan yang jelas. Perusahaan penerimanya ialah: Festival Company Inc
sebesar USD 67 juta, Penta Investment Ltd USD 19 juta, dan Kredit Asia Finance
Limited (KAFL) USD 34 juta, dan dana pinjaman pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar.
Lalu, pada 1997/1998 terjadi krisis moneter yang mengakibatkan pinjaman
tersebut tak kembali. Akibatnya, negara dirugikan sekitar USD 120 juta plus
98,7 dolar Singapura.
Di PN Jakarta Selatan Sudjiono divonis bebas karena tindakan dia sebagai
Dirut BPUI dianggap sebagai kasus perdata (pinjam-meminjam dana), bukan pidana.
Majelis hakim kasasi MA yang dipimpin Bagir Manan memvonis Sudjiono 15 tahun
penjara dan denda Rp 50 juta, serta membayar uang pengganti Rp 369 miliar.
Namun, ketika hendak dieksekusi kejaksaan, Sudjiono buron sampai sekarang.
Corruption by Contract
Mencermati penanganan kasus BLBI selama ini, kejaksaan maupun pengadilan
belum menunjukkan keseriusan. Proses pengusutan skandal agung ini seolah tidak
mampu mengungkap siapa saja dalang di balik raibnya puluhan triliun rupiah dana
BLBI. Pengusutan kasus BLBI terkesan sarat dengan kepura-puraan, sehingga
koruptor pun berlindung di bawah rumitnya kasus, serta proses pelupaan seiring
dengan berlalunya waktu.
Selain itu, ada pembiaran tokoh kunci melarikan diri ke luar negeri.
Kasus BLBI semakin tidak jelas karena beberapa tokoh kuncinya telah menjadi
buron. Misalnya; Joko S. Tjandra, Samadikun Hartono, Sjamsul Nursalim, Bambang
Sutrisno, dan Andrian Kiki Iriawan. Selain itu, alat-alat bukti berupa dokumen
diduga hangus saat terjadi kebakaran di gedung BI (1997), yang entah disengaja
atau tidak.
Argumentasi hukum bahwa perbuatannya masuk ranah perdata dan bukan pidana
bisa dengan mudah dimanfaatkan koruptor untuk bisa lolos. Rupanya, majelis
hakim MA yang menyidang perkara Sudjiono belum tahu atau memang pura-pura tidak
tahu bahwa selama ini jenis korupsi yang ditangani KPK justru memanfaatkan
transaksi-transaksi keperdataan.
Hakim MA seharusnya menggali, atau paling tidak meminta kejaksaan untuk
terlebih dahulu mengusut ke mana saja dana BLBI itu mengalir. Penggalian fakta
hukum oleh MA terlalu dangkal jika hanya berpatokan pada perbuatan perdata
Sudjiono (sebagai Dirut) tanpa menelisik siapa saja yang diuntungkan atau
kecipratan dana BLBI. Kalau memang MA dalam sidang PK hanya berpatokan pada
dakwaan jaksa plus argumentasi keluarga Sudjiono dalam PK, putusan bebas itu
juga merupakan bukti lemahnya proses penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan
jaksa atas kasus Sudjiono.
Semoga saja reaksi kaget dan pernyataan pejabat kejaksaan di media
terkait kaburnya para koruptor BLBI (dulu), atau reaksi atas bebasnya Sudjiono
bukan kepura-puraan. Alangkah membosankan mengikuti kasus yang tak jelas
akhirnya ini. Perlu diingat bahwa berdasar pasal 30 ayat (2) UU Nomor 16/2004 tentang
Kejaksaan, kejaksaan (mewakili negara) telah pernah melakukan proses hukum yang
tidak lazim dalam menangani kasus korupsi. Yaitu, melakukan gugatan perdata
terhadap para pengemplang dana BLBI jika proses pidananya dianggap gagal.
Padahal, maksud wewenang perdata yang konkret bagi kejaksaan adalah
wewenang dalam rangka penyelamatan aset-aset negara yang telanjur dikuasai
pihak ketiga setelah vonis bersalah terhadap seseorang pelaku kejahatan.
Lazimnya, koruptor ditindak atau ditahan dulu baru diikuti dengan penyelamatan
uang negara melalui upaya penyitaan atas aset-aset si pelaku. Kasus pidana
tidak bisa diselesaikan dengan kedudukan yang sejajar antara negara dan pelaku
kriminal, baik melalui gugatan perdata maupun negosiasi.
MA ternyata membenarkan bahwa dakwaan jaksa terhadap Sudjiono di PN
Jakarta Selatan masuk dalam ranah perdata. Perbuatan Sudjiono sebagai Dirut
BPUI memang terbukti, tetapi bukan perbuatan pidana. Dari argumentasi inilah
kelemahan dakwaan jaksa terdeteksi. Jaksa tidak bisa mengungkap keterlibatan
pejabat pembuat kebijakan BLBI sekaligus pihak-pihak yang diuntungkan atau
kecipratan aliran dana itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar