Senin, 26 Agustus 2013

Korupsi Berbulu Perdata

Korupsi Berbulu Perdata
Augustinus Simanjuntak  ;    Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 26 Agustus 2013



MAHKAMAH Agung (MA) membuat kegemparan terkait kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). MA memvonis bebas mantan bos Badan Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan yang buron. Sudjiono bebas lewat pintu peninjauan kembali (PK) yang dimohonkan oleh istrinya (ahli waris). Padahal, pada 2004 Sudjiono divonis 15 tahun penjara oleh MA atas kasus kredit fiktif yang merugikan negara sekitar Rp 369 miliar.

Kasus ini berawal dari pengucuran kredit dana BLBI oleh BPUI kepada beberapa perusahaan tanpa jaminan yang jelas. Perusahaan penerimanya ialah: Festival Company Inc sebesar USD 67 juta, Penta Investment Ltd USD 19 juta, dan Kredit Asia Finance Limited (KAFL) USD 34 juta, dan dana pinjaman pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar. Lalu, pada 1997/1998 terjadi krisis moneter yang mengakibatkan pinjaman tersebut tak kembali. Akibatnya, negara dirugikan sekitar USD 120 juta plus 98,7 dolar Singapura.

Di PN Jakarta Selatan Sudjiono divonis bebas karena tindakan dia sebagai Dirut BPUI dianggap sebagai kasus perdata (pinjam-meminjam dana), bukan pidana. Majelis hakim kasasi MA yang dipimpin Bagir Manan memvonis Sudjiono 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, serta membayar uang pengganti Rp 369 miliar. Namun, ketika hendak dieksekusi kejaksaan, Sudjiono buron sampai sekarang.

Corruption by Contract 

Mencermati penanganan kasus BLBI selama ini, kejaksaan maupun pengadilan belum menunjukkan keseriusan. Proses pengusutan skandal agung ini seolah tidak mampu mengungkap siapa saja dalang di balik raibnya puluhan triliun rupiah dana BLBI. Pengusutan kasus BLBI terkesan sarat dengan kepura-puraan, sehingga koruptor pun berlindung di bawah rumitnya kasus, serta proses pelupaan seiring dengan berlalunya waktu.

Selain itu, ada pembiaran tokoh kunci melarikan diri ke luar negeri. Kasus BLBI semakin tidak jelas karena beberapa tokoh kuncinya telah menjadi buron. Misalnya; Joko S. Tjandra, Samadikun Hartono, Sjamsul Nursalim, Bambang Sutrisno, dan Andrian Kiki Iriawan. Selain itu, alat-alat bukti berupa dokumen diduga hangus saat terjadi kebakaran di gedung BI (1997), yang entah disengaja atau tidak. 

Argumentasi hukum bahwa perbuatannya masuk ranah perdata dan bukan pidana bisa dengan mudah dimanfaatkan koruptor untuk bisa lolos. Rupanya, majelis hakim MA yang menyidang perkara Sudjiono belum tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa selama ini jenis korupsi yang ditangani KPK justru memanfaatkan transaksi-transaksi keperdataan.

Hakim MA seharusnya menggali, atau paling tidak meminta kejaksaan untuk terlebih dahulu mengusut ke mana saja dana BLBI itu mengalir. Penggalian fakta hukum oleh MA terlalu dangkal jika hanya berpatokan pada perbuatan perdata Sudjiono (sebagai Dirut) tanpa menelisik siapa saja yang diuntungkan atau kecipratan dana BLBI. Kalau memang MA dalam sidang PK hanya berpatokan pada dakwaan jaksa plus argumentasi keluarga Sudjiono dalam PK, putusan bebas itu juga merupakan bukti lemahnya proses penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan jaksa atas kasus Sudjiono.

Semoga saja reaksi kaget dan pernyataan pejabat kejaksaan di media terkait kaburnya para koruptor BLBI (dulu), atau reaksi atas bebasnya Sudjiono bukan kepura-puraan. Alangkah membosankan mengikuti kasus yang tak jelas akhirnya ini. Perlu diingat bahwa berdasar pasal 30 ayat (2) UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan (mewakili negara) telah pernah melakukan proses hukum yang tidak lazim dalam menangani kasus korupsi. Yaitu, melakukan gugatan perdata terhadap para pengemplang dana BLBI jika proses pidananya dianggap gagal.

Padahal, maksud wewenang perdata yang konkret bagi kejaksaan adalah wewenang dalam rangka penyelamatan aset-aset negara yang telanjur dikuasai pihak ketiga setelah vonis bersalah terhadap seseorang pelaku kejahatan. Lazimnya, koruptor ditindak atau ditahan dulu baru diikuti dengan penyelamatan uang negara melalui upaya penyitaan atas aset-aset si pelaku. Kasus pidana tidak bisa diselesaikan dengan kedudukan yang sejajar antara negara dan pelaku kriminal, baik melalui gugatan perdata maupun negosiasi. 

MA ternyata membenarkan bahwa dakwaan jaksa terhadap Sudjiono di PN Jakarta Selatan masuk dalam ranah perdata. Perbuatan Sudjiono sebagai Dirut BPUI memang terbukti, tetapi bukan perbuatan pidana. Dari argumentasi inilah kelemahan dakwaan jaksa terdeteksi. Jaksa tidak bisa mengungkap keterlibatan pejabat pembuat kebijakan BLBI sekaligus pihak-pihak yang diuntungkan atau kecipratan aliran dana itu. 
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar