|
JIKA dibandingkan dengan 2009,
jumlah partai politik peserta pemilu pada 2014 jauh berkurang, dari 40 partai
menjadi 12 partai nasional dan 3 partai lokal. Sekalipun tidak terlalu
membingungkan seperti dulu, situasinya tetap saja tidak sederhana. Bagi
konstituen yang mayoritas berpendidikan rendah-menengah (sekitar 85 juta dari
SD, dan sekitar 70 juta dari tingkat menengah) visi-misi partai-partai politik
tumpang-tindih dan umumnya tidak gampang dicerna. Karena itu, proses pemilu
menuntut kepiawaian partai untuk memperkenalkan diri sebagai penyelamat masa
depan kehidupan bangsa. Seberapa jauh para caleg menyadari fakta ini? Seberapa
jauh pula kejujuran mereka dalam kampanye dapat dipertanggungjawabkan?
Dari sisi lain, sebagian besar
konstituen masih akan memilih jawaban ‘instan’: apa yang bisa langsung mereka
dapatkan mengingat tingkat penghidupan mereka umumnya tergolong rendah. Money politics rasanya masih akan marak.
Kalau tidak bersangkutan dengan kepentingan pribadi masing-masing, ada juga
masyarakat konstituen yang menghendaki agar kebutuhan komunitas langsung
dipenuhi. Misalnya, ada tiang listrik bengkok di daerahnya yang mengakibatkan
aliran listrik terganggu, maka tak segan-segan mereka meminta caleg untuk
menggantinya dengan yang lempeng.
Kasus serupa ini akan sering terjadi di mana-mana.
Konsekuensinya adalah para caleg harus membekali diri dengan cukup dana untuk
memenuhi harapan konstituen. Diperkirakan, seorang caleg memerlukan bukan hanya
jutaan, melainkan mungkin puluhan bahkan ratusan juta untuk bisa diterima para
konstituen, antara lain demi mengatasi keadaan darurat semacam itu, selain
untuk menjamu konstituen dalam rangka kampanye. Itu pun tidak menjamin bahwa
mereka akan dipilih.
Angan-angan duduk
nyaman
Dapat dipastikan banyak di antara mereka yang mengajukan
diri sebagai caleg mengangankan nantinya akan duduk nyaman di kursi DPR,
terhormat, dan bermartabat sambil mendiskusikan perumusan bagi terwujudnya
kemaslahatan rakyat banyak. Mulai awal minggu ini, 6.607 orang yang terdaftar
sebagai calon tetap sudah mulai berkampanye terbatas untuk bertarung memperebutkan
560 kursi di DPR. Pada tahap ini, mereka sibuk mengatur diri dalam rangka
kampanye.
Partai politik tentu mengharapkan merekapun mengampanyekan
aspirasi dan agenda kebijakan partai, yang diterjemahkan dengan bahasa
sederhana supaya mengena di hati konstituen. Untuk itu, para caleg perlu
mengikuti pendidikan pembekalan terus-menerus oleh partai. Selain platform
partai, mereka perlu tahu cara-cara berkampanye yang merakyat, mempertemukan
visi-misi partai dengan kebutuhan yang dirasakan konstituen. Tidak mudah,
memang. Maka, asumsi bahwa partai-partai politik hanya sibuk mengumpulkan suara
tidak sepenuhnya benar. Banyak pertimbangan praktis yang harus dipikirkan.
Namun, asumsi negatif itu timbul karena ada oknumoknum
partai politik, bahkan beberapa petingginya, yang dengan seenaknya memanfaatkan
kehebohan ini untuk keuntungan pribadi. Kesibukan KPK mengumpulkan sejumlah
koruptor kakap dari kalangan partai politik mengakibatkan sejumlah partai
terpaksa menanggung dosa. Gencarnya pemberitaan media massa dalam rangka
menjaga moral dan etika bangsa sudah pasti menyusahkan partai-partai yang
bersangkutan. Namun, itulah demokrasi.
Lebih-lebih karena partai-partai politik
dianggap pilar-pilar demokrasi, tak boleh ada pembiaran terhadap mereka yang bersalah.
Bagaimana akibat penyelewengan sebagian oknum mereka, kita lihat hasilnya nanti
di Pemilu 2014. Pembelajaran demokrasi sedang berjalan.
Calon alternatif
D-Day bukan
hanya untuk menentukan para caleg terpilih, melainkan juga untuk memastikan
siapa RI-1 lima tahun sejak 2014. Sebagian partai politik telah mempersiapkan
jago mereka. Pertanyaannya, apakah yang dijagokan partai politik bisa diterima
sebagai jago para konstituen? Itulah yang sedang ramai menjadi percaturan
pendapat. Rakyat memang mengenal tokoh-tokoh lama, masing-masing dengan rekam
jejak yang jelas. Rakyat mengenal pula partai-partai politik yang mengusung
mereka, masing-masing dengan kiprahnya.
Namun, heterogenitas konstituen membuat proses penyaringan
tidak gampang. Tidak gampang memilih di antara sekian banyak tokoh hebat, yang
masing-masing memiliki daya tarik tersendiri bagi konstituen yang heterogen.
Yang menarik, kepada rakyat diperkenalkan pula tokoh-tokoh
alternatif. Sebagian mendapat ekspose gam blang karena tugas mereka sehari-hari
yang langsung bersangkutan dengan kepentingan publik. Yang lain-lain
menjalankan tugas yang, walaupun tidak kalah penting, sifatnya terlalu abstrak
bagi pengertian rakyat banyak. Ada lagi yang oleh segolongan dianggap memenuhi
kriteria untuk menjadi RI-1, tetapi sepak terjangnya tidak dikenal orang
kebanyakan. Para calon alternatif juga orang-orang hebat.
Lagi-lagi konstituen dibuat bingung dengan hadirnya sekitar
25 tokoh yang telah dideklarasikan ataupun yang masih kandidat capres. Apa
aspirasi para capres dan apa yang sebenarnya mereka cari? Apa pula yang rakyat
cari? Rasanya segenap pihak harus tahu dan jujur tentang landasan berpikir
masing-masing agar yang ingin dipilih ataupun yang harus memilih tahu apa yang
menentukan pilihan.
Di samping itu semua, perumusannya harus sesuai dengan
aturan-aturan pemilihan umum yang berlaku. Para tokoh itu rasanya wajib
berkampanye atau dikampanyekan. Konstituen pun, yang heterogenitasnya tinggi,
perlu dan wajib tahu apa-siapa yang dipilihnya. Jangan yang terpilih sekadar
penyebar citra dan pesona, sebab masa depan kita menjadi taruhannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar