|
Demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan yang dianggap sesuai dengan fitrah manusia. Harkat dan martabat
manusia diakui sejajar, tanpa ada diskriminasi. Seseorang dapat berserikat,
berkumpul dan beraspirasi dengan leluasa. Kebebasan dalam berekspresi mendapat
legalitas dari pemerintah.
Fukuyama, dalam bukunya, The End of History and the Last Man
bahkan dengan berani menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang terakhir adalah
demokrasi liberal. Meski demokrasi bangsa ini bukan ala Barat, liberal namun
setidaknya memberikan sebuah gambaran akan urgensi dari sistem pemerintahan
ini.
Prediksi Fukuyama memang patut
dikaji bersama. Analisis yang digunakan cukup memberikan argumentasi yang
mengarahkan bahwa di kemudian hari, sistem pemerintahan terakhir adalah
demokrasi.
Jika ditelusuri lebih jauh,
ternyata pemikiran Fukuyama memiliki korespondensi dengan pemikiran Plato.
Plato menamakan itu dengan istilah Thymos.
Pemikiran ini dilanjutkan oleh Hegel. Ia menyatakan bahwa sifat dasar manusia
adalah ingin diakui. Sifat ingin diakui ini memberikan kesimpulan bahwa seiring
kemajuan pemikiran manusia, demokrasi adalah sistem yang dapat mengakomodasikan
sifat alamiah manusia tersebut.
Analisis Fukuyama juga diperkuat
dengan beberapa fakta yang terjadi dalam sejarah dunia. Runtuhnya Uni Soviet tahun
1991 dan ambruknya Tembok Berlin adalah bukti nyata yang memperkuat teori
Fukuyama. Selain itu, bergantinya beberapa sistem pemerintahan di negara timur
tengah juga turut andil mendukung kuatnya sistem demokrasi sebagai akhir sistim
pemerintahan di dunia ini.
Oligarkhi Terburuk
Dalam perspektif Fukuyama
tersebut, demokrasi memang merupakan sebuah sistem pemerintahan yang ideal.
Demokrasi dapat memberikan kenyamanan bagi keberagaman. Sistim ini menghargai
harkat dan martabat secara sejajar dalam perbedaan.
Akan tetapi, semangat idealis
demokrasi kerapkali tersandera dan tergadaikan. Secara historis, demokrasi
telah diterapkan ketika adanya kaum sofis. Semua orang bebas beretorika. Namun,
nilai kebenaran justru menjadi absurd. Kebenaran bernilai subjektif. Maka,
ketika dapat mempengaruhi orang lain dan dapat memperoleh massa yang banyak,
itu yang dikatakan kebenaran. Pada konteks tersebut, demokrasi rawan
dimanipulasi.
Jika ditarik dalam ranah masa
kini, maka akan tampak jelas bahwa demokrasi sudah terbajak. Politik uang
adalah bentuk nyata bahwa demokrasi telah tergadaikan hanya dengan beberapa
rupiah. Suara dalam pimilihan bukan lagi berdasarkan hati nurani, namun
kepentingan perut.
Padahal, politik uang sama dengan
membunuh diri sendiri dan orang lain. Katakanlah, jika seorang pemimpin
mencalonkan diri dengan melakukan politik uang ternyata tak terpilih, maka
akibatnya calon tersebut akan mengalami depresi. Ia telanjur mengeluarkan uang
yang sangat banyak, bahkan harta-bendanya telah habis terkuras, namun gagal.
Tak jarang, calon pemimpin seperti itu mengalami gangguan jiwa setelah
dinyatakan kekalahannya.
Sedangkan apabila calon pemimpin
yang melakukan politik uang tersebut terpilih, dalam arti menang, maka akan
sangat berbahaya bagi masyarakat. Tak menutup kemungkinan, ketika ia menjabat
akan melakukan korupsi yang sangat merugikan orang banyak. Pasalnya, ia
berusaha untuk mengembalikan dana `yang telah ia keluarkan secara instan'.
Pada kondisi tersebut, politik
uang akan berujung pada kesengsaraan masyarakat. Uang yang harusnya digunakan
untuk kemaslahatan bersama, malah masuk ke kantong pribadi. Sehingga, tak
heran, jika pertumbuhan ekonomi kian tahun beranjak naik, namun kemiskinan juga
masih menggeliat.
Lebih jauh, demokrasi yang telah
terbajak dapat berubah menjadi bentuk pemerintahan oligarki terburuk.
Pemerintahan yang kekuasaaan politiknya secara efektif hanya dipegang oleh
kelompok elit kecil dari masyarakat. Orang-orang yang memiliki kekuatan
finansial besar, yang akan menjadi pemenang. Ini tentu sangat tidak relevan
dengan semangat demokrasi yang menghargai persamaan harkat dan martabat
manusia. Demokrasi yang menghargai kebebasan dalam tiap-tiap manusia untuk
hidup setara, tanpa ada diskriminasi.
Demokrasi merupakan instrumen
untuk mencapai cita-cita bangsa. Meskipun bukan sebagai tujuan, demokrasi
mempunyai peran penting. Tercapai atau tidaknya nilai-nilai luhur bangsa dapat
dilihat dari alat pencapainya. Ketika alat yang digunakan rusak, maka tujuannya
tak akan tercapai secara maksimal, bahkan tidak terwujud.
Dalam negara demokrasi, terdapat
ciri khas yakni kebebasan. Dibandingkan dengan konsep negara lain, demokrasi
paling besar memberikan ruang gerak pada publik. Dari spesifikasi yang menjamin
adanya kebebasan itu, demokrasi kian laris-manis.
Kebebasan adalah unsur penting
yang diinginkan oleh setiap individu. Kebebasan lebih membuka peluang untuk
kemajuan manusia. Ini sesuai dengan kata bijak dari Kahlil Gibran bahwa orang
dapat bebas tanpa kebesaran, tapi tak seorang pun dapat besar tanpa kebebasan.
Dalam pandangan kaum
eksistensialis, kebebasan sangat urgen. Melalui kebebasan, manusia dapat
menemukan jati-dirinya. Akan tetapi, kebebasan tak jarang juga menimbulkan
masalah. Seringkali kebebasan ini merenggut kebebasan orang lain. Orang yang direnggut
kebebasannnya ini juga ingin bebas. Sehingga, sesuai teori konflik Talcot
Parsons, pergesekan antar kepentingan tersebut akan menimbulkan konflik, bahkan
anarkistis tak dapat dielakan.
Kebebasan dalam konteks demokratis
memiliki batasan moral. Kebebasan yang sadar diri bahwa di sekitarnya juga ada
kebebasan orang lain. Dalam arti, kebebasan bentuk ini memerlukan sinergi dari
semua elemen masyarakat dan pemerintah. Serta, kepentingan umum menjadi
teologisnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar