Jumat, 30 Agustus 2013

Demokrasi dan Politik Uang

Demokrasi dan Politik Uang
Setyo Pamuji ;   Peneliti pada Kajian Filsafat dan Politik
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 29 Agustus 2013


Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang dianggap sesuai dengan fitrah manusia. Harkat dan martabat manusia diakui sejajar, tanpa ada diskriminasi. Seseorang dapat berserikat, berkumpul dan beraspirasi dengan leluasa. Kebebasan dalam berekspresi mendapat legalitas dari pemerintah.
Fukuyama, dalam bukunya, The End of History and the Last Man bahkan dengan berani menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang terakhir adalah demokrasi liberal. Meski demokrasi bangsa ini bukan ala Barat, liberal namun setidaknya memberikan sebuah gambaran akan urgensi dari sistem pemerintahan ini.

Prediksi Fukuyama memang patut dikaji bersama. Analisis yang digunakan cukup memberikan argumentasi yang mengarahkan bahwa di kemudian hari, sistem pemerintahan terakhir adalah demokrasi.

Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata pemikiran Fukuyama memiliki korespondensi dengan pemikiran Plato. Plato menamakan itu dengan istilah Thymos. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Hegel. Ia menyatakan bahwa sifat dasar manusia adalah ingin diakui. Sifat ingin diakui ini memberikan kesimpulan bahwa seiring kemajuan pemikiran manusia, demokrasi adalah sistem yang dapat mengakomodasikan sifat alamiah manusia tersebut.

Analisis Fukuyama juga diperkuat dengan beberapa fakta yang terjadi dalam sejarah dunia. Runtuhnya Uni Soviet tahun 1991 dan ambruknya Tembok Berlin adalah bukti nyata yang memperkuat teori Fukuyama. Selain itu, bergantinya beberapa sistem pemerintahan di negara timur tengah juga turut andil mendukung kuatnya sistem demokrasi sebagai akhir sistim pemerintahan di dunia ini.

Oligarkhi Terburuk

Dalam perspektif Fukuyama tersebut, demokrasi memang merupakan sebuah sistem pemerintahan yang ideal. Demokrasi dapat memberikan kenyamanan bagi keberagaman. Sistim ini menghargai harkat dan martabat secara sejajar dalam perbedaan.

Akan tetapi, semangat idealis demokrasi kerapkali tersandera dan tergadaikan. Secara historis, demokrasi telah diterapkan ketika adanya kaum sofis. Semua orang bebas beretorika. Namun, nilai kebenaran justru menjadi absurd. Kebenaran bernilai subjektif. Maka, ketika dapat mempengaruhi orang lain dan dapat memperoleh massa yang banyak, itu yang dikatakan kebenaran. Pada konteks tersebut, demokrasi rawan dimanipulasi.

Jika ditarik dalam ranah masa kini, maka akan tampak jelas bahwa demokrasi sudah terbajak. Politik uang adalah bentuk nyata bahwa demokrasi telah tergadaikan hanya dengan beberapa rupiah. Suara dalam pimilihan bukan lagi berdasarkan hati nurani, namun kepentingan perut.

Padahal, politik uang sama dengan membunuh diri sendiri dan orang lain. Katakanlah, jika seorang pemimpin mencalonkan diri dengan melakukan politik uang ternyata tak terpilih, maka akibatnya calon tersebut akan mengalami depresi. Ia telanjur mengeluarkan uang yang sangat banyak, bahkan harta-bendanya telah habis terkuras, namun gagal. Tak jarang, calon pemimpin seperti itu mengalami gangguan jiwa setelah dinyatakan kekalahannya.

Sedangkan apabila calon pemimpin yang melakukan politik uang tersebut terpilih, dalam arti menang, maka akan sangat berbahaya bagi masyarakat. Tak menutup kemungkinan, ketika ia menjabat akan melakukan korupsi yang sangat merugikan orang banyak. Pasalnya, ia berusaha untuk mengembalikan dana `yang telah ia keluarkan secara instan'.

Pada kondisi tersebut, politik uang akan berujung pada kesengsaraan masyarakat. Uang yang harusnya digunakan untuk kemaslahatan bersama, malah masuk ke kantong pribadi. Sehingga, tak heran, jika pertumbuhan ekonomi kian tahun beranjak naik, namun kemiskinan juga masih menggeliat.

Lebih jauh, demokrasi yang telah terbajak dapat berubah menjadi bentuk pemerintahan oligarki terburuk. Pemerintahan yang kekuasaaan politiknya secara efektif hanya dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat. Orang-orang yang memiliki kekuatan finansial besar, yang akan menjadi pemenang. Ini tentu sangat tidak relevan dengan semangat demokrasi yang menghargai persamaan harkat dan martabat manusia. Demokrasi yang menghargai kebebasan dalam tiap-tiap manusia untuk hidup setara, tanpa ada diskriminasi.

Demokrasi merupakan instrumen untuk mencapai cita-cita bangsa. Meskipun bukan sebagai tujuan, demokrasi mempunyai peran penting. Tercapai atau tidaknya nilai-nilai luhur bangsa dapat dilihat dari alat pencapainya. Ketika alat yang digunakan rusak, maka tujuannya tak akan tercapai secara maksimal, bahkan tidak terwujud.

Dalam negara demokrasi, terdapat ciri khas yakni kebebasan. Dibandingkan dengan konsep negara lain, demokrasi paling besar memberikan ruang gerak pada publik. Dari spesifikasi yang menjamin adanya kebebasan itu, demokrasi kian laris-manis.

Kebebasan adalah unsur penting yang diinginkan oleh setiap individu. Kebebasan lebih membuka peluang untuk kemajuan manusia. Ini sesuai dengan kata bijak dari Kahlil Gibran bahwa orang dapat bebas tanpa kebesaran, tapi tak seorang pun dapat besar tanpa kebebasan.

Dalam pandangan kaum eksistensialis, kebebasan sangat urgen. Melalui kebebasan, manusia dapat menemukan jati-dirinya. Akan tetapi, kebebasan tak jarang juga menimbulkan masalah. Seringkali kebebasan ini merenggut kebebasan orang lain. Orang yang direnggut kebebasannnya ini juga ingin bebas. Sehingga, sesuai teori konflik Talcot Parsons, pergesekan antar kepentingan tersebut akan menimbulkan konflik, bahkan anarkistis tak dapat dielakan.


Kebebasan dalam konteks demokratis memiliki batasan moral. Kebebasan yang sadar diri bahwa di sekitarnya juga ada kebebasan orang lain. Dalam arti, kebebasan bentuk ini memerlukan sinergi dari semua elemen masyarakat dan pemerintah. Serta, kepentingan umum menjadi teologisnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar