|
KASUS korupsi pembangunan pusat
olah raga Hambalang dan impor daging sapi merupakan contoh dari sekian banyak
kasus yang dilatarbelakangi perburuan rente partai politik (parpol). Belum lagi
jika kita melihat kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi di lingkungan
legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) ataupun eksekutif
(menteri, gubernur, dan bupati/wali kota).
Tidak dapat dimungkiri kebutuhan parpol terhadap dana besar
agar bisa memenangi pemilu telah mendorong para politikus berlaku koruptif. Parpol
membutuhkan sumber pendanaan besar agar mesin politik dapat berfungsi secara
maksimal dalam mendulang suara pemilih. Parpol harus mencari cara agar
eksistensi mereka tetap terjaga baik dalam masyarakat dan mampu meraih suara
signifikan dalam pemilu.
Awalnya parpol menarik sumbangan dari para anggota mereka
melalui iuran.
Namun, seiring dengan kian mahalnya biaya kampanye pemilu, parpol mulai mencari donasi dari lingkungan eksternal. Kini, hampir seluruh parpol di banyak negara mengandalkan sumber dana dari sumbangan perseorangan dan perusahaan.
Namun, seiring dengan kian mahalnya biaya kampanye pemilu, parpol mulai mencari donasi dari lingkungan eksternal. Kini, hampir seluruh parpol di banyak negara mengandalkan sumber dana dari sumbangan perseorangan dan perusahaan.
Pada titik inilah sumbangan keuangan parpol perlu diatur.
Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 memang telah mengatur
sumber keuangan parpol. Ada tiga sumber keuangan parpol, yaitu, pertama iuran
anggota parpol bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal
oleh parpol. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan UU mengenai besaran
iuran anggota. Namun, tidak banyak parpol yang menjalankan mekanisme ini secara
teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur.
Kedua, sumbangan yang sah menurut hukum. Terkait sah
menurut hukum. Terkait dengan hal ini, Pasal 35 UU Nomor 2 Tahun 2011
memaparkan tiga sumbangan yang dimaksud: (1) perseorangan anggota parpol yang
pelaksanaannya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, (2)
perseorangan bukan anggota parpol paling banyak senilai Rp1 miliar per orang
dalam waktu 1 tahun anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling
banyak senilai Rp7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu
1 tahun anggaran.
Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari
APBN/APBD a diberikan secara proporsional d kepada parpol yang mendapatkan
kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan didasarkan pada
jumlah perolehan suara.
Berebut sumber
dana
Akan tetapi, karena agenda politik setiap parpol sangat
banyak dan memerlukan dana besar, sumber keuangan parpol sebagaimana diatur
dalam UU tersebut tidak mencukupi dan memadai. Biaya politik yang sangat mahal
mendorong parpol berlomba-lomba memperebutkan sumber-sumber keuangan negara.
Anggaran negara pun dipandang sebagai sumber pendanaan yang sangat potensial.
Parpol pun mulai berburu rente melalui kader-kader mereka di lembaga legislatif
ataupun eksekutif. Perburuan rente yang dilakukan parpol ini jelas merugikan
rakyat karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan atau
akses politik.
Secara umum ada tiga modus utama perburuan rente yang
dilakukan parpol. Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD). Modus ini
dapat berupa: (1) candidacy buying dalam seleksi anggota DPR/DPRD, (2)
menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, (3) membajak kebijakan
dan anggaran, (4) transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan (5) transaksi
dalam legislasi.
Kedua, melalui lembaga eksekutif. Parpol menempatkan
kader-kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara (BUMN), dan
institusi pemerintahan yang memiliki akses dana besar. Selain itu, modus ini
juga dilakukan parpol dengan cara mendorong kader mereka untuk menjadi kepala
daerah atau menyewakan parpol sebagai kendaraan politik dalam pemilihan umum
kepala daerah kepada kandidat tertentu yang memiliki dana besar dengan harga
fantastis.
Ketiga, melalui pengusaha. Pengusaha diminta memberikan
sumbangan untuk kegiatan operasional dan kampanye sebuah parpol. Kemudian para
pengusaha ini diberikan imbalan berupa kemudahan mendapatkan akses proyek-proyek
pemerintah sehingga mendorong terjadinya korupsi.
Kontrol publik yang terbatas serta ketiadaan transparansi
dan akuntabilitas semakin menguatkan persekongkolan para elite politik.
Aspek transparansi memang menjadi persoalan utama dalam hal
praktik pendanaan parpol di Indonesia. Akibat ketiadaan transparansi keuangan
parpol, publik pun tidak dapat mengetahui siapa saja pihak penyumbang,
besarannya, dan seberapa besar sumbangan itu kelak berpengaruh terhadap parpol
dan kandidat bersangkutan.
Berangkat dari realitas miris itu, diperlukan
langkah-langkah perbaikan terkait dengan masalah keuangan parpol. Langkah-langkah
perbaikan itu berupa reformasi keuangan parpol yang mencakup tiga hal, yaitu
reformasi sumber keuangan parpol, reformasi pengelolaan keuangan partai
politik, dan reformasi pengeluaran keuangan parpol.
Di samping itu, perlu juga dipertimbangkan gagasan
pembiayaan parpol oleh negara. Belakangan, gagasan ini kerap diwacanakan
sejumlah pihak, baik pengamat maupun politisi.
Praktik kotor
Dasar utama dari pertimbangan gagasan pembiayaan parpol
oleh negara adalah posisi dan peran strategis kehadiran parpol dalam kehidupan
demokrasi dan kelangsungan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Tanggung jawab
negara agar parpol berfungsi secara optimal pun kemudian menjadi logis dan
relevan.
Alasan lain selama ini marak praktik korupsi yang
menggerogoti APBN dan APBD. Praktik kotor itu banyak dilakukan oknum di
legislatif dan ek sekutif. Selama ini, diperkira kan 30% ang garan negara dikorupsi,
de ngan berbagai modus, teruta ma penggelembungan anggaran proyek.
Jika tahun ini belanja APBN mencapai Rp1.600 triliun
berarti ada sekitar Rp480 triliun anggaran yang berpotensi untuk dikorupsi.
Karena itu, ketimbang membiarkan penggalangan biaya politik melalui cara-cara
merugikan negara tersebut, lebih baik mengalokasikan anggaran lebih besar bagi
parpol.
Di saat bersamaan parpol harus didorong untuk meninggalkan
cara-cara haram menggalang dana untuk memenuhi kebutuhan biaya politik. Jika
masih ada parpol melakukan perburuan rente terhadap anggaran proyek-proyek
negara, sanksi tegas harus diberikan, seperti diskualifikasi dari keikutsertaan
dalam pemilu.
Selama ini alokasi dana APBN untuk parpol yang memiliki
kursi di parlemen dapat dikatakan jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
parpol. Untuk itu, di masa mendatang perlu pengalokasian dana lebih besar dari
negara bagi parpol dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka saat pemilu.
Meskipun demikian, subsidi negara terhadap parpol tidak
harus serta-merta diartikan melalui pemberian uang secara tunai. Subsidi negara
terhadap parpol dapat juga dilakukan secara nontunai, seperti menyediakan saksi
untuk tiap-tiap parpol. Selama ini cukup banyak dana yang dikeluarkan parpol
untuk membayar saksi saat proses pemilihan berlangsung. Hal itu dirasakan
sangat membebani keuangan parpol bersangkutan.
Elaborasi di atas menunjukkan biaya politik tinggi untuk
kepentingan pemilu sudah teridentifikasi sebagai pangkal persoalan. Kini
tinggal kemauan politik negara untuk berani mengambil langkah-langkah terobosan
untuk meminimalkan praktikpraktik kotor perburuan rente di masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar