|
Tahun ini usia
NKRI 68 tahun. Kalau generasi anak saya nanti mencapai usia setinggi umur saya
saat ini, dan cucunya pun telah memiliki cucu, apakah mereka itu masih bisa
makan nasi dan lauk-pauk seperti sekarang?
Ini masalah
pangan bangsa di masa depan, 32 tahun dari sekarang. Berbagai opini mengenai
pangan dengan data statistik lengkap menunjukkan betapa kritikal kalau kita
tetap berpegang pada pola pangan kita saat ini yang dominan nasi dan lauk-
pauk. Menghadirkan nasi dan lauk-pauk sepiring penuh baru berarti makan.
Bisakah diubah?
Fokusnya sejak
dulu kala tidak berubah. Masalah pangan selalu dihadapi dengan intensifikasi
budidaya padi. Kebijakan politik pangan pemerintah seperti itu sah- sah saja
karena bagaimanapun kecukupan bahan pangan harus terjamin. Jika produksi dalam
negeri tak mencukupi, impor pun jadi. Lalu, bagaimana peran masyarakat yang
sebagian besar bukan petani padi?
Luas lahan
untuk pertanaman padi di Jawa makin ciut akibat alih fungsi. Jumlah penangannya
juga kian menyusut akibat bertani padi kurang memberikan penghasilan
dibandingkan sektor lain. Buruh tani makin kecil jumlahnya sehingga untuk
pekerjaan tanam dan panen kekurangan tenaga kerja. Faktor-faktor ini kurang
mendukung upaya pengadaan logistik bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan
pokok sebagian besar bangsa ini.
Impor beras
masih leluasa dilakukan, tetapi dengan jumlah penduduk dunia yang makin besar
tiga dekade mendatang, impor akan makin susah dilakukan. Penting untuk mengubah
kebijakan politik pertanian pangan kita. Kita juga harus bisa mengubah pola
makan, dengan tak lagi membedakan komponen pangan di piring kita dan lebih
mengarahkan pada pangan berbasis gizi dengan setiap unsurnya berkedudukan sama,
apakah itu sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, vitamin, atau mineral.
Semua harus berkecukupan masuk ke dalam perut kita, dan tak harus berbentuk
makanan pokok dan lauk-pauk. Singkatnya, proses ”demokratisasi” unsur pangan di
piring kita.
Kesulitan kita
menggantikan nasi dengan sumber karbohidrat lain selama ini karena tak mudah
mendapatkan kombinasi lauk- pauk yang sesuai selera makan kita. Betapa sulitnya
menemukan lauk-pauk tiga macam dicampur dalam satu piring yang dapat memenuhi
selera makan kita, apabila nasi kita ganti dengan jagung rebus atau ubi kayu
rebus sebagai makanan pokok.
Sebaliknya,
akan lebih leluasa jika sumber karbohidrat itu kita makan (sendiri-sendiri)
bersama dengan udang goreng, ayam, tahu, atau tempe goreng sebagai sumber
protein. Model ini kita sebut saja sebagai single dishes model (SDM)
dalam pola makan kita menggantikan model nasi plus lauk-pauk (NPLp). Dengan SDM
menggantikan NPLp, kita tak menghadapi kesulitan menyajikan sepiring makanan
yang membangkitkan selera akibat tak sesuainya kombinasi lauk-pauk.
Pengembangan
industri pangan
Masa 32 tahun
adalah waktu yang akan dilalui menuju 100 tahun usia Indonesia merdeka. Waktu
yang tidak panjang untuk mengubah budaya makan, kecuali kita berusaha keras di
masing-masing keluarga, karena semua menyadari pentingnya mengubah pola makan
demi keberlanjutannya generasi ke depan. Sekarang saja, pemerintah sudah
mengampanyekan one day no rice.
Jangan-jangan 32 tahun yang akan datang kita mencapai situasi one year no rice, kalau bangsa kita
sudah berjumlah setengah miliar manusia, sesudah lahan sawah padi di Jawa
tinggal separuh luas saat ini. Lalu, sumber karbohidrat apa yang bisa menjadi
konsumsi sehari-hari kalau pola makan kita masih model NPLp?
Kita memang
tidak perlu pesimistis dengan luasan lahan dan lautan kita yang begitu besar.
Begitu pula dengan iklim tropis yang panas dan basah, pertumbuhan tanaman
dimungkinkan sepanjang tahun, serta sumber protein berlimpah di lautan. Namun,
kita juga tak boleh sembrono, terutama dihadapkan pada potensi bencana alam
yang sering mengakibatkan produksi pangan merosot drastis.
Dengan
perubahan pola makan dari NPLp ke SDM, kita bisa leluasa mengurangi konsumsi
nasi kita. Dengan mengubah pola NPLp yang makan dengan satu tahap menjadi tiga
tahap pada model SDM, akan lebih mudah mengganti nasi pada tahap kedua dan
seterusnya dengan sumber karbohidrat lain. Hal ini bisa terjadi karena sumber
karbohidrat kita proses jadi produk tepung. Sehingga yang kita makan bukan
berwujud nasi lagi, tetapi roti, keik, kue, dan lain-lain. Semuanya proses
industrial.
Segenap bahan
pangan kita diupayakan menjadi produk industri sehingga bisa disajikan di meja
makan secara instan. Untuk itu perlu didorong proses industrialisasi bahan
pangan kita, baik sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, maupun mineral.
Langkah ini lebih memajukan sektor pertanian dan lebih cepat menyejahterakan
petani kita. Semua akan sinkron dengan upaya lebih memopulerkan sistem makan
kita dengan model SDM. Demi keberlanjutan hidup bangsa ini, perubahan budaya
makan perlu kita lakukan dan jangan hanya terpaku pada proses produksi bahan
pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar