Sabtu, 31 Agustus 2013

Kesengkarutan Kedelai Kealpaan Beruntun

Kesengkarutan Kedelai Kealpaan Beruntun
Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
MEDIA INDONESIA, 30 Agustus 2013


SIKLUS itu kembali lagi: kenaikan harga kedelai. Ketika siklus itu tiba, semua pihak terkaget-kaget. Pemerintah tak berdaya karena tidak memiliki instrumen apa pun untuk menstabilkan harga kedelai. Pengusaha tahu dan tempe menjerit. Mereka menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai yang kini harganya melambung tinggi. Kenaikan harga kedelai memang jauh dari toleransi. Sebelum Ramadan, harga kedelai masih Rp 6.600 per kg. Kini kedelai sudah melambung menjadi Rp9.300 per kg alias naik 40%. Kenaikan masih mungkin terus terjadi karena negara eksportir kedelai, Amerika Serikat, dilanda kekeringan akut. Pelemahan rupiah membuat harga kian melangit.

Solusi menekan margin keuntungan dan menciutkan kapasitas produksi, mengurangi ukuran dan menurunkan mutu produk tidak lagi menolong. Dari sisi input, semua bahan perantara industri ini harganya naik, seperti minyak goreng, terigu, gula, dan telur. Menaikan harga, produsen terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula, tidak seperti sektor yang entry-exit barriernya tinggi, konsumen sektor ini peka harga (price elastic). Ketika harga naik permintaan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha.

Jika tidak ada solusi dalam jangka pendek, dipastikan barisan penganggur akan bertambah. Sektor ini telah menghidupi ratusan ribu rakyat jelata, dari petani kedelai, produsen tempe, tahu, kecap, pedagang tahu tempe hingga penjual gorengan pinggir jalan. Bagi konsumen, lenyapnya tahu, tempe dari pasar adalah kerugian besar. Dari sisi harga, protein tempe tahu jauh lebih murah ketimbang telur dan daging. Karena itu, bagi rakyat jelata tahu tempe sebenarnya bisa jadi solusi masalah kekurangan energi protein warga.

Gonjang-ganjing kedelai saat ini bukan kali pertama. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2008 saat krisis pangan mengoyak. Dalam setahun, harga kedelai naik 218%. Produsen/pedagang tempe tahu mogok dan demo. Akhirnya pemerintah membebaskan bea masuk dan menyubsidi kedelai kepada produsen tahu tempe Rp1.000/kg selama tiga bulan. Tidak ada kebijakan berdimensi jangka panjang sebagai antisipasi bila kejadian serupa terulang. Kealpaan mengambil pelajaran pada 2008 itu berbuah pahit saat ini.

Gonjang-ganjing kedelai tak mungkin diselesaikan dengan cara-cara ad hoc dan jangka pendek. Solusi harus menusuk m jantung masalah, meminjam istilah Prof Pantjar Simatupang (2012), yaitu fenomena `dekedelaisasi'. Dekedelaisasi terjadi lantaran tiga segitiga ini: penurunan hasil relatif kedelai, penurunan harga relatif, dan serbuan impor. Penurunan hasil relatif kedelai terjadi karena daya saing kedelai terhadap ja gung, tebu, dan padi merosot. Produktivitas dan harga relatif menurun. Ujung-ujungnya usaha tani kedelai tidak menguntungkan. Ini yang membuat petani domestik meninggalkan kedelai.

Emoh menanam kedelai ini sudah amat gawat. Pada 1992 luas panen kedelai masih 1.665.706 hektare, menurun jadi 1.279.079 hektare, dan tinggal 620.928 hektare pada 2011 (38% dari 1992). Karena produktivitas naik lambat, konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,843 juta ton (2011) atau tinggal 45%. Ini terjadi karena jalinan dua faktor: liberalisasi dan senjang hasil penelitian adopsi petani.

Meski sudah terjadi sejak 1992, fenomena dekedelaisasi meningkat drastis setelah Indonesia jadi pasien IMF pada 1997-1998. Saat itu, Indonesia harus meliberalisasi pasar pangan, termasuk kedelai. Tak hanya subsidi, benteng pertahanan dari serbuan impor pun dilucuti. Pada saat yang sama, perhatian pada kedelai mengendur. Fokus kebijakan saat itu-­dan berlanjut hingga kini--at all cost bias pada beras.

Hasil-hasil riset tak memadai. Jika pun ada, tidak serta-merta diadopsi petani. Di sisi lain, produktivitas negara-negara produsen utama kedelai terus membaik. Saat ini, produktivitas kedelai Indonesia kurang dari setengah produktivitas AS, Kanada, Brasil, Argentina, dan Italia. Penu runan harga relatif terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai, seperti pada beras atau gula. Pada saat yang sama, produk impor lebih murah. Efek spiral merosotnya daya saing antarkomoditas dan daya saing internasional saling menguatkan, dan ini membuat kedelai masuk lingkaran setan dekedelaisasi. 

Bersinergi dengan proteksi (tarif dan nontarif ) yang minimal membuat ketergantungan Indonesia pada impor kedelai kian sempurna. Jika pada 1990-an kita swasembada, kini produksi domestik hanya mampu memasok 30% kebutuhan.

Serbuan impor kedelai, yang mayoritas transgenik, didorong inkonsistensi kebijakan kedelai transgenik dan beleid ofensif AS lewat subsidi (langsung dan ekspor). Produksi kedelai transgenik dilarang, di sisi lain impor yang 90% dari AS nyaris tak ada pembatasan. Beleid ofensif AS itu membuat harga kedelai impor amat murah. Inilah yang sering jadi alasan banyak pihak melegalisasi impor, ketimbang membeli kedelai petani domestik.

Argumen di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Argumen ini ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi subsidi. Di AS kedelai adalah 1 dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari US$24,3 miliar subsidi pada 2005 sekitar 70%-80% diterima 20 komoditas ini. Ujung dari beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai AS naik dari 2% jadi 13% (Action Aid, 2007).

Jika menyimak problem struktural di atas, ke depan dibutuhkan perubahan kebijakan sistematis. Yang paling mendasar adalah menghentikan liberalisasi pasar kedelai karena ini jadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan. Proteksi bisa dilakukan dengan mengombinasikan tarif dan nontarif, termasuk pengaturan ketat impor kedelai transgenik. Kebijakan itu harus disinergikan dengan beleid harga yang memungkinkan petani kembali mau menanam kedelai. Pada saat yang sama, perluasan lahan kedelai tak bisa ditawar-tawar. Terakhir, karena kedelai telah jadi mata rantai ekonomi yang penting, tak ada salahnya menjadikannya bagian dari kebijakan stabilisasi dengan beleid stok. Tanpa rangkaian kebijakan ini, gonjang-gonjang kedelai di Republik ini akan berulang. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar