|
SIKLUS itu kembali lagi: kenaikan
harga kedelai. Ketika siklus itu tiba, semua pihak terkaget-kaget.
Pemerintah tak berdaya karena tidak memiliki instrumen apa pun untuk
menstabilkan harga kedelai. Pengusaha tahu dan tempe menjerit. Mereka menuntut
pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai yang kini harganya melambung
tinggi. Kenaikan harga kedelai memang jauh dari toleransi. Sebelum Ramadan,
harga kedelai masih Rp 6.600 per kg. Kini kedelai sudah melambung menjadi
Rp9.300 per kg alias naik 40%. Kenaikan masih mungkin terus terjadi karena
negara eksportir kedelai, Amerika Serikat, dilanda kekeringan akut. Pelemahan
rupiah membuat harga kian melangit.
Solusi
menekan margin keuntungan dan menciutkan kapasitas produksi, mengurangi ukuran
dan menurunkan mutu produk tidak lagi menolong. Dari sisi input, semua bahan
perantara industri ini harganya naik, seperti minyak goreng, terigu, gula, dan
telur. Menaikan harga, produsen terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula,
tidak seperti sektor yang entry-exit
barriernya tinggi, konsumen sektor ini peka harga (price elastic). Ketika harga naik permintaan turun. Satu-satunya
jalan hanya menutup usaha.
Jika
tidak ada solusi dalam jangka pendek, dipastikan barisan penganggur akan
bertambah. Sektor ini telah menghidupi ratusan ribu rakyat jelata, dari petani
kedelai, produsen tempe, tahu, kecap, pedagang tahu tempe hingga penjual
gorengan pinggir jalan. Bagi konsumen, lenyapnya tahu, tempe dari pasar adalah
kerugian besar. Dari sisi harga, protein tempe tahu jauh lebih murah ketimbang
telur dan daging. Karena itu, bagi rakyat jelata tahu tempe sebenarnya bisa
jadi solusi masalah kekurangan energi protein warga.
Gonjang-ganjing
kedelai saat ini bukan kali pertama. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2008 saat
krisis pangan mengoyak. Dalam setahun, harga kedelai naik 218%.
Produsen/pedagang tempe tahu mogok dan demo. Akhirnya pemerintah membebaskan
bea masuk dan menyubsidi kedelai kepada produsen tahu tempe Rp1.000/kg selama
tiga bulan. Tidak ada kebijakan berdimensi jangka panjang sebagai antisipasi
bila kejadian serupa terulang. Kealpaan mengambil pelajaran pada 2008 itu
berbuah pahit saat ini.
Gonjang-ganjing kedelai tak mungkin diselesaikan dengan
cara-cara ad hoc dan jangka pendek.
Solusi harus menusuk m jantung masalah, meminjam istilah Prof Pantjar
Simatupang (2012), yaitu fenomena `dekedelaisasi'. Dekedelaisasi terjadi
lantaran tiga segitiga ini: penurunan hasil relatif kedelai, penurunan harga
relatif, dan serbuan impor. Penurunan hasil relatif kedelai terjadi karena daya
saing kedelai terhadap ja gung, tebu, dan padi merosot. Produktivitas dan harga
relatif menurun. Ujung-ujungnya usaha tani kedelai tidak menguntungkan. Ini yang membuat petani domestik meninggalkan kedelai.
Emoh
menanam kedelai ini sudah amat gawat. Pada 1992 luas panen kedelai masih
1.665.706 hektare, menurun jadi 1.279.079 hektare, dan tinggal 620.928 hektare
pada 2011 (38% dari 1992). Karena produktivitas naik lambat, konsekuensinya
produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,843 juta ton (2011)
atau tinggal 45%. Ini terjadi karena jalinan dua faktor: liberalisasi dan
senjang hasil penelitian adopsi petani.
Meski
sudah terjadi sejak 1992, fenomena dekedelaisasi meningkat drastis setelah
Indonesia jadi pasien IMF pada 1997-1998. Saat itu, Indonesia harus
meliberalisasi pasar pangan, termasuk kedelai. Tak hanya subsidi, benteng pertahanan
dari serbuan impor pun dilucuti. Pada saat yang sama, perhatian pada kedelai
mengendur. Fokus kebijakan saat itu-dan berlanjut hingga kini--at all cost bias pada beras.
Hasil-hasil
riset tak memadai. Jika pun ada, tidak serta-merta diadopsi petani. Di sisi
lain, produktivitas negara-negara produsen utama kedelai terus membaik. Saat
ini, produktivitas kedelai Indonesia kurang dari setengah produktivitas AS,
Kanada, Brasil, Argentina, dan Italia. Penu runan harga relatif terjadi karena
tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai, seperti pada beras atau gula.
Pada saat yang sama, produk impor lebih murah. Efek spiral merosotnya daya
saing antarkomoditas dan daya saing internasional saling menguatkan, dan ini
membuat kedelai masuk lingkaran setan dekedelaisasi.
Bersinergi dengan proteksi
(tarif dan nontarif ) yang minimal membuat ketergantungan Indonesia pada impor
kedelai kian sempurna. Jika pada 1990-an kita swasembada, kini produksi
domestik hanya mampu memasok 30% kebutuhan.
Serbuan
impor kedelai, yang mayoritas transgenik, didorong inkonsistensi kebijakan
kedelai transgenik dan beleid ofensif
AS lewat subsidi (langsung dan ekspor). Produksi kedelai transgenik dilarang,
di sisi lain impor yang 90% dari AS nyaris tak ada pembatasan. Beleid ofensif AS itu membuat harga
kedelai impor amat murah. Inilah yang sering jadi alasan banyak pihak
melegalisasi impor, ketimbang membeli kedelai petani domestik.
Argumen
di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Argumen ini ceroboh dan sesat.
Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena harga
itu terdistorsi subsidi. Di AS kedelai adalah 1 dari 20 komoditas yang dilindungi
dan disubsidi. Dari US$24,3 miliar subsidi pada 2005 sekitar 70%-80% diterima
20 komoditas ini. Ujung dari beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996,
dumping kedelai AS naik dari 2% jadi 13% (Action
Aid, 2007).
Jika
menyimak problem struktural di atas, ke depan dibutuhkan perubahan kebijakan
sistematis. Yang paling mendasar adalah menghentikan liberalisasi pasar kedelai
karena ini jadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan. Proteksi
bisa dilakukan dengan mengombinasikan tarif dan nontarif, termasuk pengaturan
ketat impor kedelai transgenik. Kebijakan itu harus disinergikan dengan beleid
harga yang memungkinkan petani kembali mau menanam kedelai. Pada saat yang
sama, perluasan lahan kedelai tak bisa ditawar-tawar. Terakhir, karena kedelai
telah jadi mata rantai ekonomi yang penting, tak ada salahnya menjadikannya
bagian dari kebijakan stabilisasi dengan beleid stok. Tanpa rangkaian kebijakan
ini, gonjang-gonjang kedelai di Republik ini akan berulang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar