|
Gubernur silih berganti, datang dan pergi, sesudah berkuasa
dan memimpin rakyat di daerahnya, tapi rakyat tak bergerak ke mana-mana.
Rakyat tetap rakyat dan mereka tetap di rumah masing-masing. Gubernur demi gubernur, yang datang dan pergi itu, ada yang ternyata mengabaikan rakyat, tapi ada yang melindungi mereka. Dengan sendirinya, timbul akibat yang jelas: ada yang mengecewakan, ada pula yang memberi rakyat harapan. Rakyat memang gembira karena ada harapan, dan untuk sementara, ketika mereka hendak memilih gubernur baru, ukurannya harapan itu. Betapa baik hati rakyat di seluruh Nusantara ini.
Mereka cukup diberi harapan, yang memancar- mancar ke seluruh pelosok daerah: menyeberang sungai, menerabas hutan-hutan, melintasi gunung-gunung dan batas-batas samudera, dengan segenap gelombang-gelombangnya yang menderu, menembus dinding-dinding kota, lalu merayap ke dalam jiwa rakyat, yang menanti, kapan janji— yang hanya berupa katakata itu—menjadi tindakan nyata.
Gubernur tidak boleh hanya ”ngeyem-yemi”, yang membuat rakyat berharap, tetapi dia harus bisa betul-betul membuat rakyatnya merasa ”ayem tenterem” bukan oleh sebuah puisi dan janji, melainkan oleh tindakan demi tindakan, kebijakan demi kebijakan, yang mengayomi dan melindungi seluruh rakyat sebagaimana mandat ”suci” konstitusi kita.
Rakyat tidak boleh dibikin menjadi kecewa lagi, terus menerus, karena mereka yang kecewa bisa membakar isi seluruh kota dan mendengki para pemimpin— atau mantan pemimpin— yang kerjanya penuh dusta dan aniaya kepada rakyat yang hanya berharap agar hidupnya terlindung dan mata pencaharian pokoknya tak terganggu. Kemudian, pada tahap yang agak sedikit lebih tinggi, mereka berharap ”tradisi” yang mereka junjung tinggi tak dirusak dan tak diganggu oleh kebijakan yang berkiblat bukan pada kepentingan rakyat dan bukan aspirasi yang mereka junjung tinggi.
Di mana-mana rakyat berharap seperti ini. Di manamana hak-hak rakyat dilindungi konstitusi. Tapi di manamana kita dengar gubernur selingkuh dan rakyatnya kecewa. Relasi kekuasaan antara gubernur dan rakyatnya terekam di dalam sejarah politik di kota provinsi. Sejarah itu kita baca kembali, berulang- ulang, hingga kita khatam membaca seluruhnya. Kita khatam membaca keluhan dan rasa kecewa yang tak terbendung di hati rakyat.
Di Jawa Tengah, Jumat(23/8), dilaksanakan upacara pelantikan gubernur baru, dan kita tahu gubernur lama bukan lagi gubernur, dan dia pergi dari sana entah ke mana. Apakah dia kembali ke desa membangun desa, seperti yang dikatakannya? Dari sejarah politik kota provinsi tadi, kita punya penggalan catatan mengenai pemimpin yang ”mengecewakan” dan bagian dari masyarakat yang ”dikecewakan”.
Pemimpin yang mengecewakan itu dengan semangat berkobar-kobar hendak memberantas dan menghancurkan tanaman tembakau di seluruh Jawa Tengah. Siapa di antara petani yang bersedia memenuhi perintahnya bakal disumbang duit pemerintah. Tapi sampai saat dia diganti, belum ada seorang pun petani yang bersedia melakukan perintah itu. Dia, seperti disebut di atas, memiliki gagasan kembali ke desa membangun desa.
Rakyat yang dikecewakan itu mengejeknya: kembali ke desa merusak desa. Namanya pun diplesetkan, dari Bibit Waluyo, menjadi ”bibit waton suloyo”. Betapa memalukan. Ketika dia berkunjung ke Temanggung, pusat tembakau Jawa Tengah, dia tak berani keluar dari kantor bupati karena para petani menanti dengan luapan amarah. Dia pun dianggap arogan karena mengejek kesenian kuda lumping sebagai kesenian yang tak memiliki nilai seni. Rakyat pun jengkel kepadanya.
Dia jenderal yang tak mengetahui bahwa kuda lumping itu memiliki kaitan sejarah dengan dunia tentara. Di zaman Pangeran Diponegoro melawan Belanda, rakyat berlatih militer dengan selubung seni kuda lumping itu agar telik sandi Belanda kehilangan jejak dan tak mengetahui sama sekali bahwa seni kuda lumping itu tak lain kecuali latihan kemiliteran untuk ”menggepuk” Belanda.
Pemimpin yang tak tahu kesenian, dan tak tahu sejarah lokal— apalagi tak tahu cara menaruh empati pada rakyat—jelas harus tersandung-sandung, ditolak dan didengki rakyat yang dipimpin. Sejarah mengenai ”yang mengecewakan” dan ”yang dikecewakan” dengan sendirinya menjadi warna politik yang penuh sumpah serapah. Mungkin bahkan dengan kutukan demi kutukan yang tak berakhir, sesudah gubernur baru berkuasa.
Apa yang dilakukan gubernur lama akan tetap diingat dan menjadi sejenis ”kaca benggala” di mana rakyat becermin memandang sejarah politik di kotanya. Mengajak gubernur baru untuk ”hijrah” dari keangkuhan politik macam itu. Sebelum dilantik, pada 19 Agustus lalu, gubernur baru yang belum dilantik itu datang ke Temanggung, disambut layaknya sahabat lama, atau warga desa yang lama merantau ke kota, dan kembali ke desa, bukan untuk merusak desa.
Dia ikut para petani Lamuk memanen tembakau, bersama tuan rumah, Ki Lurah Bakir, dan rakyatnya, dengan tamu-tamu dari kelurahan-kelurahan lain, pejabat provinsi, Pak Bupati dan para stafnya, Pak Polisi setempat yang ikut sibuk menjaga dan mengawal para pejabat tersebut. Juga para tokoh di bidang tembakau, dan kretek, dari tempat-tempat yang jauh. Jangan lupa, media di seluruh Jawa Tengah hadir pula.
Seperti biasa, mereka memberitakan apa yang terjadi. Gubernur Ganjar Pranowo memetik secara simbolis hasil panen mereka dan menyatakan kesediaan melindungi para petani. Gubernur ditunjuk sebagai wakil pemerintah pusat, untuk melindungi rakyat, mengapa tak melindungi? Ketika bertemu pihak pabrikan, yang pertama, sekitar jam sebelas siang, beramahtamah dengan para wakil pihak Djarum dan gubernur itu secara terbuka menyatakan sudah mendengar aspirasi para petani. Dia ingin mendengar bagaimana aspirasi pihak pabrikan.
Kedua pihak itu bukan saingan, bukan musuh, melainkan mitra, yang saling mengerti, saling memahami satu sama lain. Banyak yang disampaikannya secara kekeluargaan. Petani senang, dan wakil pihak Djarum senang. Seolah di sini kawan, di sana kawan, di mana-mana banyak kawan. Banyak kawan itu penting bukan hanya bagi politisi, tapi juga bagi petani, dan bagi pihak Djarum.
Di mana-mana banyak kawan itu terbukti dua jam kemudian. Sebelum acara makan siang di Gudang Garam, perkara yang sama dibicarakan lagi. Intinya, dia ingin menjembatani jarak antara petani dan pabrik demi kenyamanan bersama. Adapun mengenai peraturan pemerintah yang menghendaki tembakau dibunuh, gubernur baru berkata, ”Saya akan berunding dengan presiden yang menyuruh saya menjadi wakilnya di tingkat provinsi.” Apa yang dikatakannya, apa yang dijanjikannya, menjadi harapan.
Rakyat bangkit karena harapan. Rakyat gembira karena ”ayem” mendengar janji itu. Kalau itu dipenuhi, namanya tak akan diplesetkan, kebijakannya tak akan dilecehkan. Gubernur dan politiknya di bidang tembakau menjadi janji perlindungan bagi petani yang tak pernah dilindungi. ●
Rakyat tetap rakyat dan mereka tetap di rumah masing-masing. Gubernur demi gubernur, yang datang dan pergi itu, ada yang ternyata mengabaikan rakyat, tapi ada yang melindungi mereka. Dengan sendirinya, timbul akibat yang jelas: ada yang mengecewakan, ada pula yang memberi rakyat harapan. Rakyat memang gembira karena ada harapan, dan untuk sementara, ketika mereka hendak memilih gubernur baru, ukurannya harapan itu. Betapa baik hati rakyat di seluruh Nusantara ini.
Mereka cukup diberi harapan, yang memancar- mancar ke seluruh pelosok daerah: menyeberang sungai, menerabas hutan-hutan, melintasi gunung-gunung dan batas-batas samudera, dengan segenap gelombang-gelombangnya yang menderu, menembus dinding-dinding kota, lalu merayap ke dalam jiwa rakyat, yang menanti, kapan janji— yang hanya berupa katakata itu—menjadi tindakan nyata.
Gubernur tidak boleh hanya ”ngeyem-yemi”, yang membuat rakyat berharap, tetapi dia harus bisa betul-betul membuat rakyatnya merasa ”ayem tenterem” bukan oleh sebuah puisi dan janji, melainkan oleh tindakan demi tindakan, kebijakan demi kebijakan, yang mengayomi dan melindungi seluruh rakyat sebagaimana mandat ”suci” konstitusi kita.
Rakyat tidak boleh dibikin menjadi kecewa lagi, terus menerus, karena mereka yang kecewa bisa membakar isi seluruh kota dan mendengki para pemimpin— atau mantan pemimpin— yang kerjanya penuh dusta dan aniaya kepada rakyat yang hanya berharap agar hidupnya terlindung dan mata pencaharian pokoknya tak terganggu. Kemudian, pada tahap yang agak sedikit lebih tinggi, mereka berharap ”tradisi” yang mereka junjung tinggi tak dirusak dan tak diganggu oleh kebijakan yang berkiblat bukan pada kepentingan rakyat dan bukan aspirasi yang mereka junjung tinggi.
Di mana-mana rakyat berharap seperti ini. Di manamana hak-hak rakyat dilindungi konstitusi. Tapi di manamana kita dengar gubernur selingkuh dan rakyatnya kecewa. Relasi kekuasaan antara gubernur dan rakyatnya terekam di dalam sejarah politik di kota provinsi. Sejarah itu kita baca kembali, berulang- ulang, hingga kita khatam membaca seluruhnya. Kita khatam membaca keluhan dan rasa kecewa yang tak terbendung di hati rakyat.
Di Jawa Tengah, Jumat(23/8), dilaksanakan upacara pelantikan gubernur baru, dan kita tahu gubernur lama bukan lagi gubernur, dan dia pergi dari sana entah ke mana. Apakah dia kembali ke desa membangun desa, seperti yang dikatakannya? Dari sejarah politik kota provinsi tadi, kita punya penggalan catatan mengenai pemimpin yang ”mengecewakan” dan bagian dari masyarakat yang ”dikecewakan”.
Pemimpin yang mengecewakan itu dengan semangat berkobar-kobar hendak memberantas dan menghancurkan tanaman tembakau di seluruh Jawa Tengah. Siapa di antara petani yang bersedia memenuhi perintahnya bakal disumbang duit pemerintah. Tapi sampai saat dia diganti, belum ada seorang pun petani yang bersedia melakukan perintah itu. Dia, seperti disebut di atas, memiliki gagasan kembali ke desa membangun desa.
Rakyat yang dikecewakan itu mengejeknya: kembali ke desa merusak desa. Namanya pun diplesetkan, dari Bibit Waluyo, menjadi ”bibit waton suloyo”. Betapa memalukan. Ketika dia berkunjung ke Temanggung, pusat tembakau Jawa Tengah, dia tak berani keluar dari kantor bupati karena para petani menanti dengan luapan amarah. Dia pun dianggap arogan karena mengejek kesenian kuda lumping sebagai kesenian yang tak memiliki nilai seni. Rakyat pun jengkel kepadanya.
Dia jenderal yang tak mengetahui bahwa kuda lumping itu memiliki kaitan sejarah dengan dunia tentara. Di zaman Pangeran Diponegoro melawan Belanda, rakyat berlatih militer dengan selubung seni kuda lumping itu agar telik sandi Belanda kehilangan jejak dan tak mengetahui sama sekali bahwa seni kuda lumping itu tak lain kecuali latihan kemiliteran untuk ”menggepuk” Belanda.
Pemimpin yang tak tahu kesenian, dan tak tahu sejarah lokal— apalagi tak tahu cara menaruh empati pada rakyat—jelas harus tersandung-sandung, ditolak dan didengki rakyat yang dipimpin. Sejarah mengenai ”yang mengecewakan” dan ”yang dikecewakan” dengan sendirinya menjadi warna politik yang penuh sumpah serapah. Mungkin bahkan dengan kutukan demi kutukan yang tak berakhir, sesudah gubernur baru berkuasa.
Apa yang dilakukan gubernur lama akan tetap diingat dan menjadi sejenis ”kaca benggala” di mana rakyat becermin memandang sejarah politik di kotanya. Mengajak gubernur baru untuk ”hijrah” dari keangkuhan politik macam itu. Sebelum dilantik, pada 19 Agustus lalu, gubernur baru yang belum dilantik itu datang ke Temanggung, disambut layaknya sahabat lama, atau warga desa yang lama merantau ke kota, dan kembali ke desa, bukan untuk merusak desa.
Dia ikut para petani Lamuk memanen tembakau, bersama tuan rumah, Ki Lurah Bakir, dan rakyatnya, dengan tamu-tamu dari kelurahan-kelurahan lain, pejabat provinsi, Pak Bupati dan para stafnya, Pak Polisi setempat yang ikut sibuk menjaga dan mengawal para pejabat tersebut. Juga para tokoh di bidang tembakau, dan kretek, dari tempat-tempat yang jauh. Jangan lupa, media di seluruh Jawa Tengah hadir pula.
Seperti biasa, mereka memberitakan apa yang terjadi. Gubernur Ganjar Pranowo memetik secara simbolis hasil panen mereka dan menyatakan kesediaan melindungi para petani. Gubernur ditunjuk sebagai wakil pemerintah pusat, untuk melindungi rakyat, mengapa tak melindungi? Ketika bertemu pihak pabrikan, yang pertama, sekitar jam sebelas siang, beramahtamah dengan para wakil pihak Djarum dan gubernur itu secara terbuka menyatakan sudah mendengar aspirasi para petani. Dia ingin mendengar bagaimana aspirasi pihak pabrikan.
Kedua pihak itu bukan saingan, bukan musuh, melainkan mitra, yang saling mengerti, saling memahami satu sama lain. Banyak yang disampaikannya secara kekeluargaan. Petani senang, dan wakil pihak Djarum senang. Seolah di sini kawan, di sana kawan, di mana-mana banyak kawan. Banyak kawan itu penting bukan hanya bagi politisi, tapi juga bagi petani, dan bagi pihak Djarum.
Di mana-mana banyak kawan itu terbukti dua jam kemudian. Sebelum acara makan siang di Gudang Garam, perkara yang sama dibicarakan lagi. Intinya, dia ingin menjembatani jarak antara petani dan pabrik demi kenyamanan bersama. Adapun mengenai peraturan pemerintah yang menghendaki tembakau dibunuh, gubernur baru berkata, ”Saya akan berunding dengan presiden yang menyuruh saya menjadi wakilnya di tingkat provinsi.” Apa yang dikatakannya, apa yang dijanjikannya, menjadi harapan.
Rakyat bangkit karena harapan. Rakyat gembira karena ”ayem” mendengar janji itu. Kalau itu dipenuhi, namanya tak akan diplesetkan, kebijakannya tak akan dilecehkan. Gubernur dan politiknya di bidang tembakau menjadi janji perlindungan bagi petani yang tak pernah dilindungi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar