|
Saya tiga kali
meliput Pilpres Amerika Serikat saat Bill Clinton menang tahun 1992, George W
Bush menang lagi tahun 2004, dan Barack Obama terpilih tahun 2008. Tak mudah
meliput Pilpres AS karena berlangsung dalam periode Februari-November pada
tahun yang sama.
Setiap kandidat
mengumumkan pencalonan beberapa bulan sebelum awal tahun sebelumnya. Saat
pengumuman mereka telah menyiapkan misi-visi, platform, timses pribadi, dan
juga timses partai di setiap negara bagian.
Selama sekitar
enam bulan sejak Februari berlangsung pemilihan-pemilihan awal/kaukus di semua
negara bagian. Ini tahap paling menantang dan melelahkan bagi setiap kandidat
karena mereka ”terjun ke lapangan”.
Hal itu
menantang karena capres bertemu, bersalaman, berbasa-basi ataupun berfoto
bersama ratusan ribu calon pemilih. Dan, calon pemilih itu bukan hanya dari
partai masing-masing, melainkan juga dari kalangan independen yang jumlahnya
sekitar sepertiga dari pemilih terdaftar.
Ini melelahkan
karena setiap capres mesti siap secara fisik menempuh perjalanan ribuan
kilometer baik dengan pesawat, kereta api, maupun bus. Belum lagi ratusan kali
pidato, puluhan kali debat lawan capres-capres dari partai yang sama di
televisi, radio, dan seterusnya.
Dalam periode
itu pula setiap capres memulai proses mencari cawapres yang cocok, membentuk
”kabinet bayangan”, dan lain-lain. Jangan lupa, setiap capres dalam periode itu
ikut pula berkampanye untuk pemilihan anggota DPR, senator, dan
gubernur-gubernur.
Di atas
segala-galanya, setiap capres harus menyiapkan dana tak sedikit. Adalah Obama
yang memecahkan rekor dana kampanye, mengumpulkan hampir 670 juta dollar
AS–sekaligus mencetak rekor satu miliar dollar AS untuk semua capres Demokrat
dan Republik.
Menjual capres
sama dengan menjual produk baru yang disiapkan packaging-nya, pemasarannya, sampai etalasenya. Ini yang
namanya branding, yang untuk satu kali spot iklan di televisi
bisa mencapai ratusan ribu dollar AS.
Setelah mereka
”berdarah-darah” selama sekitar setengah tahun, tampaklah hasil elektabilitas
masing-masing yang diukur oleh berbagai lembaga survei. Berpatokan dari hasil berbagai
survei itulah setiap partai pada Agustus-September menyelenggarakan konvensi.
Konvensi
Demokrat maupun Republik memakai predikat ”nasional”, yakni masing-masing DNC (Democratic National Convention) dan RNC
(Republican National Convention). Itu
bersifat nasional karena kerja keras selama kampanye melibatkan kerja mesin dan
politisi partai dari tingkat pusat sampai daerah.
Konvensi adalah
”non-event” alias bukan acara penting
lagi kecuali merayakan sukses kampanye capres/cawapres/anggota DPR/senator/gubernur,
menobatkan secara resmi duet capres-cawapres, dan menetapkan platform partai.
Ia perhelatan besar yang diselenggarakan di arena besar dan dihadiri puluhan
ribu orang.
Acara penting
lain adalah memberikan tempat untuk kader partai terpilih menjadi pembaca
pidato kunci. Obama mendapat kehormatan ini, berpidato ketika konvensi
meresmikan John Kerry-John Edwards tahun 2004.
Nah, apa yang
dilakukan oleh Partai Demokrat (PD) agak terbalik. Saat ini mereka
menyelenggarakan konvensi untuk menyeleksi (selection,
bukan election) capres-capres
yang tahun depan akan mengerucut menjadi seorang capres pemenang konvensi.
Sudah satu
orang capres yang menolak ikut konvensi, yakni mantan Wapres Jusuf Kalla. Tiga
lainnya, salah satunya mantan Ketua MK Mahfud MD, mengundurkan diri.
Betapapun, the show must go on. Komite masih
sibuk melakukan wawancara, pimpinan partai masih repot dengan perekrutan
capres. Mereka yang lolos seleksi akan mulai ”terjun ke lapangan” selama
beberapa bulan ke sejumlah daerah dan agak ganjil jika kelak elektabilitas
mereka ditentukan hanya oleh tiga lembaga survei.
Kritik terhadap
penyelenggaraan Konvensi PD adalah minimnya keterlibatan internal partai. Mesin
politik kurang bekerja karena pengurus pusat sampai daerah, juga
infrastruktur/organisasi partai, nyaris tidak bekerja.
Semua proses
tampaknya berwatak ”Jakarta-sentris” yang cuma melibatkan elite partai di
pusat. Maka, wajar jika muncul kekecewaan dari berbagai kalangan akar rumput
partai.
Sebenarnya
Konvensi PD dapat dikatakan mempunyai itikad luhur ingin memberikan peluang
kepada orang-orang nonpartai yang berpotensi menjadi pemimpin. Namun, tampaknya
hanya segelintir saja ”orang dalam” PD yang mendapat kesempatan tersebut.
Bahkan, sempat
muncul dugaan jangan-jangan pemenang konvensi ini sudah disiapkan jauh-jauh
hari. Jika benar begitu, bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka yang
mungkin lebih baik tetapi sayang bukan ”orang dalam” PD.
Lalu, sempat
pula muncul spekulasi tentang dari mana asal pendanaan penyelenggaraan konvensi
yang tentu berbiaya mahal ini. Jangan sampai terjadi lagi karut-marut pendanaan
seperti yang terjadi di Kongres Bandung 2010.
Konvensi jadi
salah satu metodologi yang ideal untuk merekrut pemimpin. Jangan sampai
konvensi ini mengulang yang dilakukan Golkar tahun 2004 yang terbukti kurang
kompak mendukung duet Wiranto-Salahuddin Wahid.
Konvensi akan
sukses jika setiap capres mulai berkampanye dengan teknik microtargeting yang lebih teknis
dan analitis. Sekarang zamannya retail
politics dan disiplin ini bisa dipelajari dari aneka sumber yang mudah
didapat.
Di atas
segala-galanya, setiap capres hendaknya ”dibaiat” sejak dini bergabung dengan
PD. Sudah saatnya kita memulai lagi tradisi, partai itu bukanlah kendaraan,
tetapi rumah yang aman dan nyaman untuk dihuni sepanjang masa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar