Sabtu, 31 Agustus 2013

Kendaraan atau Rumah?

Kendaraan atau Rumah?
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Saya tiga kali meliput Pilpres Amerika Serikat saat Bill Clinton menang tahun 1992, George W Bush menang lagi tahun 2004, dan Barack Obama terpilih tahun 2008. Tak mudah meliput Pilpres AS karena berlangsung dalam periode Februari-November pada tahun yang sama.
Setiap kandidat mengumumkan pencalonan beberapa bulan sebelum awal tahun sebelumnya. Saat pengumuman mereka telah menyiapkan misi-visi, platform, timses pribadi, dan juga timses partai di setiap negara bagian.
Selama sekitar enam bulan sejak Februari berlangsung pemilihan-pemilihan awal/kaukus di semua negara bagian. Ini tahap paling menantang dan melelahkan bagi setiap kandidat karena mereka ”terjun ke lapangan”.
Hal itu menantang karena capres bertemu, bersalaman, berbasa-basi ataupun berfoto bersama ratusan ribu calon pemilih. Dan, calon pemilih itu bukan hanya dari partai masing-masing, melainkan juga dari kalangan independen yang jumlahnya sekitar sepertiga dari pemilih terdaftar.
Ini melelahkan karena setiap capres mesti siap secara fisik menempuh perjalanan ribuan kilometer baik dengan pesawat, kereta api, maupun bus. Belum lagi ratusan kali pidato, puluhan kali debat lawan capres-capres dari partai yang sama di televisi, radio, dan seterusnya.
Dalam periode itu pula setiap capres memulai proses mencari cawapres yang cocok, membentuk ”kabinet bayangan”, dan lain-lain. Jangan lupa, setiap capres dalam periode itu ikut pula berkampanye untuk pemilihan anggota DPR, senator, dan gubernur-gubernur.
Di atas segala-galanya, setiap capres harus menyiapkan dana tak sedikit. Adalah Obama yang memecahkan rekor dana kampanye, mengumpulkan hampir 670 juta dollar AS–sekaligus mencetak rekor satu miliar dollar AS untuk semua capres Demokrat dan Republik.
Menjual capres sama dengan menjual produk baru yang disiapkan packaging-nya, pemasarannya, sampai etalasenya. Ini yang namanya branding, yang untuk satu kali spot iklan di televisi bisa mencapai ratusan ribu dollar AS.
Setelah mereka ”berdarah-darah” selama sekitar setengah tahun, tampaklah hasil elektabilitas masing-masing yang diukur oleh berbagai lembaga survei. Berpatokan dari hasil berbagai survei itulah setiap partai pada Agustus-September menyelenggarakan konvensi.
Konvensi Demokrat maupun Republik memakai predikat ”nasional”, yakni masing-masing DNC (Democratic National Convention) dan RNC (Republican National Convention). Itu bersifat nasional karena kerja keras selama kampanye melibatkan kerja mesin dan politisi partai dari tingkat pusat sampai daerah.
Konvensi adalah ”non-event” alias bukan acara penting lagi kecuali merayakan sukses kampanye capres/cawapres/anggota DPR/senator/gubernur, menobatkan secara resmi duet capres-cawapres, dan menetapkan platform partai. Ia perhelatan besar yang diselenggarakan di arena besar dan dihadiri puluhan ribu orang.
Acara penting lain adalah memberikan tempat untuk kader partai terpilih menjadi pembaca pidato kunci. Obama mendapat kehormatan ini, berpidato ketika konvensi meresmikan John Kerry-John Edwards tahun 2004.
Nah, apa yang dilakukan oleh Partai Demokrat (PD) agak terbalik. Saat ini mereka menyelenggarakan konvensi untuk menyeleksi (selection, bukan  election) capres-capres yang tahun depan akan mengerucut menjadi seorang capres pemenang konvensi.
Sudah satu orang capres yang menolak ikut konvensi, yakni mantan Wapres Jusuf Kalla. Tiga lainnya, salah satunya mantan Ketua MK Mahfud MD, mengundurkan diri.
Betapapun, the show must go on. Komite masih sibuk melakukan wawancara, pimpinan partai masih repot dengan perekrutan capres. Mereka yang lolos seleksi akan mulai ”terjun ke lapangan” selama beberapa bulan ke sejumlah daerah dan agak ganjil jika kelak elektabilitas mereka ditentukan hanya oleh tiga lembaga survei.
Kritik terhadap penyelenggaraan Konvensi PD adalah minimnya keterlibatan internal partai. Mesin politik kurang bekerja karena pengurus pusat sampai daerah, juga infrastruktur/organisasi partai, nyaris tidak bekerja.
Semua proses tampaknya berwatak ”Jakarta-sentris” yang cuma melibatkan elite partai di pusat. Maka, wajar jika muncul kekecewaan dari berbagai kalangan akar rumput partai.
Sebenarnya Konvensi PD dapat dikatakan mempunyai itikad luhur ingin memberikan peluang kepada orang-orang nonpartai yang berpotensi menjadi pemimpin. Namun, tampaknya hanya segelintir saja ”orang dalam” PD yang mendapat kesempatan tersebut.
Bahkan, sempat muncul dugaan jangan-jangan pemenang konvensi ini sudah disiapkan jauh-jauh hari. Jika benar begitu, bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka yang mungkin lebih baik tetapi sayang bukan ”orang dalam” PD.
Lalu, sempat pula muncul spekulasi tentang dari mana asal pendanaan penyelenggaraan konvensi yang tentu berbiaya mahal ini. Jangan sampai terjadi lagi karut-marut pendanaan seperti yang terjadi di Kongres Bandung 2010.
Konvensi jadi salah satu metodologi yang ideal untuk merekrut pemimpin. Jangan sampai konvensi ini mengulang yang dilakukan Golkar tahun 2004 yang terbukti kurang kompak mendukung duet Wiranto-Salahuddin Wahid.
Konvensi akan sukses jika setiap capres mulai berkampanye dengan teknik microtargeting yang lebih teknis dan analitis. Sekarang zamannya retail politics dan disiplin ini bisa dipelajari dari aneka sumber yang mudah didapat.
Di atas segala-galanya, setiap capres hendaknya ”dibaiat” sejak dini bergabung dengan PD. Sudah saatnya kita memulai lagi tradisi, partai itu bukanlah kendaraan, tetapi rumah yang aman dan nyaman untuk dihuni sepanjang masa.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar