|
BENAR apa yang dikatakan ekonom Bank Pembangungun Asia
(ADB) Iwan Jaya Aziz bahwa pemerintah jangan menganggap enteng penurunan rupiah
saat ini karena bisa menjadi pintu masuk situasi krisis sebagaimana tahun 1998.
Merespons situasi tersebut, pemerintah mengeluarkan empat kebijakan ekonomi.
Beleid ekonomi itu mencakup pertama; mengerem laju
peningkatan defisit transakasi berjalan, termasuk penurunan pajak barang mewah,
penurunan impor migas seraya memperbesar biodiesel, dan meningkatkan pajak
barang mewah untuk mobil CBU. Kedua; menjaga iklim pertumbuhan ekonomi melalui
pengendalian defisit APBN dan insentif industri padat karya. Ketiga;
stabilisasi harga dan inflasi melalai impor daging dan hortikultura berbasis
harga. Keempat; mempercepat investasi, terutama infrastruktur. Cukup ampuhkah
paket kebijakan tersebut untuk mengatasi kemungkinan terjadinya krisis?
Turunnya nilai tukar rupiah saat ini bukan hanya karena
faktor psikologis pasar melainkan juga faktor fundamental. Tren penurunan
rupiah secara konsisten telah terjadi sejak kuartal II/2011. Posisi rupiah pada
Juli 2011 masih pada Rp 8.508 per dolar AS dan pada 23 Agustus 2013 turun
21,57% menjadi Rp 10.848. Pada periode yang sama cadangan devisa turun dari
122,67 miliar dolar AS menjadi 96,67 miliar dolar AS. Surplus transaksi
berjalan turun dari 5,14 miliar dolar AS pada akhir 2010 menjadi defisit 24,07
miliar dolar AS pada akhir 2012, dan masih berlangsung hingga saat ini.
Ada Anomali
Penurunan surplus bahkan defisit tersebut, disebabkan
menurunnya ekspor dan meningkatnya impor terutama sejak akhir tahun 2012. Ekspor
turun dari 200,78 miliar dolar AS menjadi 188,49 miliar dolar AS, sementara
impor meningkat dari 166,00 miliar dolar AS menjadi 179,88 miliar dolar AS.
Dari dambaran itu, kita bisa melihat ada anomali.
Secara teori, penurunan nilai tukar rupiah mestinya dikuti
meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, tapi kini yang terjadi sebaliknya.
Dari gambaran itu, tampak jelas penurunan secara konsisten dalam rentang waktu
panjang jelas bukan disebabkan faktor psikologis, walaupun dampak lanjutannya
juga memengaruhi psikologi pasar.
Faktor fundamental lain yang kemudian menjadi pemicu
kemelemahan rupiah adalah inflasi domestik yang sangat tinggi. Sampai Juli 2013
tingkat inflasi sudah 8,61% dari target 4,9%. Kenaikan harga BBM memicu
tingginya tingkat inflasi. Faktor eksternal juga menjadi pemicu lain
kemelemahan rupiah kali ini. Dolar AS menguat terhadap hampir semua mata uang
dunia. Penguatan dolar AS bukan hanya dipicu oleh isu tapering melalui
pengurangan secara bertahap pembelian obligasi dari 85 miliar dolar AS menjadi
sekitar 60 miliar dolar AS, melainkan juga karena menguatnya ekonomi AS.
Banyak negara lebih siap menghadapi perubahan kebijakan AS
tersebut, dibanding Indonesia. Sejumlah negara merespons dengan jurus yang sama
dengan AS, yakni dengan tetap mempertahankan suku bunga bank sentral mereka
pada posisi rendah dan cenderung menurun, atau setidak-tidaknya tidak
menaikkannya.
Selain AS, Uni Eropa menetapkannya pada 0,50%, Inggris
0,50%, bahkan Jepang hanya 0,10%. Untuk negara-negara Asia, China 6,00%,
Korsel 2,50%, Thailand 3,00%, dan Filipina 3,50 %. Beberapa negara Asia yang
lain memang lebih tinggi dari Indonesia, semisal India 7,25 %, tetapi cenderung
menurun.
Indonesia saat ini menetapkan BI rate 6,50% dan cenderung
meningkat. Respons Indonesia yang cenderung berbeda dari negara lain ini lebih
mencerminkan katidaksiapan kita secara fundamental dibanding negara lain.
Fundamental ekonomi kita cenderung lebih rawan dari beberapa negara tersebut.
Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah itu lebih
sebagai ’’obat turun panas’’, daripada mengobati penyakitnya. Pemerintah sudah
tahu permasalahannya sejak lama, hanya tak mau merumuskannya melalui
operasional kebijakan, menunggu sampai perekonomian menjelang bahaya.
Dalam jangka pendek, harus bisa dipastikan empat paket
kebijakan itu bisa diterapkan sampai tingkat operasional. Penyederhanaan dan
pengefektifan perizinan satu atap misalnya. Itu bukan hal baru, tetapi
praktiknya bisa berbeda. Mengurus izin usaha di Indonesia rata-rata butuh 47
hari —jauh lebih lama dari Malaysia yang hanya 6 hari (World Bank: Doing Business, 2013), walaupun praktiknya jauh lebih
lama dari 47 hari.
Demikian juga tata niaga daging sapi dan hortikultura.
Pemerintah sudah tahu penyebabnya sejak lama, hanya masalahnya tidak mampu
memperbaiki tata niaga tersebut karena terhambat dan mempertahankan birokrasi
yang buruk. Kasus korupsi terkait dengan impor daging sapi adalah sedikit
contoh dari kebobrokan birokrasi kita.
Konsisten dengan laporan WEF 2013, untuk mendongkrak daya
saing, pemerintah harus memperbaiki tiga faktor kunci, yakni birokrasi
yang tidak efisien, tingkat korupsi yang sangat tinggi, dan keminiman
ketersediaan infrastuktur, baik kuantitas maupun kualitas. Tiga faktor ini mendapat
penilaian paling buruk oleh WEF, dari 12 pilar daya saing yang mereka
survei.
Dalam jangka panjang, untuk mengurangi kerentanan ekonomi
nasional terhadap krisis, harus ada perubahan mendasar strategi
industrialisasi, khususnya pembangunan pada sektor dasar seperti pertanian dan
energi. Selain sangat memalukan, itu sekaligus menunjukkan kebodohan kita
mengingat hampir semua produk hasil pertanian kita harus impor.
Beras, kedelai, bawang merah, bawang putih, gula pasir,
bahkan garam pun harus kita impor. Petani produsen kita terkulai, sementara
importir berjaya. Apabila pemerintah tidak punya kemauan dan kemampuan
untuk melakukan penguatan industri-industri tersebut, jangan
berharap kita bisa terhindar dari situasi sulit seperti saat ini.
Karena goncangan krisis tersebut lebih karena kemelemahan
fundamental ekonomi kita, terutama pada sektor rill dan aspek kelembagaan maka
hanya langkah perbaikan fundamental ekonomi dan kelembagaan yang dapat menolong
untuk menjinakkan krisis yang sedang mengancam kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar